Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKTIVITAS di Sriwijaya Sport Centre hari-hari ini selalu ramai. Kondisinya berbeda jauh dibanding dua bulan lalu, yang selalu sepi. "Setelah manajemen ganti, ada renovasi sedikit," kata Adit, penjaga pusat olahraga tersebut, Rabu pekan lalu. "Sekarang ramai lagi." Tapi, di balik keramaian itu, terpendam sengketa yang belum terselesaikan.
Pusat kebugaran di Jalan Merdeka, Bukit Kecil, Palembang, ini menjadi sorotan setelah diambil alih Komando Daerah Militer II Sriwijaya pada Januari lalu. Pengelola sebelumnya, PT Luwiwan Megah Perkasa, sempat melawan dengan memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Palembang pada awal Februari lalu. Namun gugatan itu dicabut karena ada negosiasi.
Cerita perebutan Sriwijaya Sport Centre bermula saat Luwiwan Megah mendapat tawaran merenovasi pusat kebugaran di bekas kantor Jasmani Daerah Militer (Jasdam) Sriwijaya pada akhir September 2006. "Kawan saya yang mengenalkan kepada Kodam," kata Agus Harianto, Direktur PT Luwiwan Megah. Nilai kontrak proyek renovasi itu sekitar Rp 6,411 miliar. Agus pun setuju.
Berdasarkan perjanjian kerja sama nomor KKP/18/Z/X/2006, Luwiwan Megah berkewajiban merenovasi beberapa item. Misalnya, lapangan futsal luar-dalam ruangan, lapangan tenis, pusat kebugaran, pusat jajanan serba ada, dan lapangan basket.
Agus bercerita, perusahaannya mengebut renovasi setelah kontrak diteken pada akhir Oktober 2006. Kodam Sriwijaya kala itu memberi tenggat 180 hari. Luwiwan Megah pun menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Masalahnya, menurut Agus, biaya renovasi membengkak dari Rp 6,411 miliar menjadi Rp 15,5 miliar. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, termasuk kenaikan harga material. Kodam Sriwijaya tak melunasi biaya renovasi gedung itu. Gantinya, mereka menawari Luwiwan Megah hak mengelola Sriwijaya Sport Centre dengan skema bangun-operasi-transfer (BOT). Luwiwan Megah menerima tawaran itu. "Daripada enggak dibayar-bayar," kata Agus. "Apalagi saya melihat prospeknya bagus."
Pada akhir September 2007, Kodam Sriwijaya dan Luwiwan Megah meneken perjanjian BOT. Dalam kontrak nomor PKS/009/IX/2007 itu, disebutkan Luwiwan Megah akan mengoperasikan Sriwijaya Sport Centre selama 20 tahun, terhitung mulai Januari 2008.
Perjanjian itu juga menyebutkan Kodam Sriwijaya menarik "uang sewa" dari Luwiwan Megah, yang perhitungannya naik setiap tiga tahun. Pada 2015-2017, misalnya, Luwiwan Megah harus setor Rp 3 juta per bulan ke Kodam Sriwijaya. Selain itu, Kodam Sriwijaya mendapat waktu khusus tiap Selasa dan Jumat untuk memakai fasilitas di sana.
Baru berjalan setahun, pengunjung pusat olahraga itu menurun. Agus berhitung, jika diteruskan, Luwiwan Megah akan merugi. "Penyewaan lapangan futsal tidak terlalu ramai," kata Agus. Karena itu, Luwiwan Megah mengajukan proposal untuk membangun hotel dan balai agung di tempat yang sama. Kodam Sriwijaya setuju. Luwiwan mulai membangun hotel bintang tiga dan aula pertemuan.
Pada Maret 2009, tim penilai dari Kementerian Pertahanan datang ke lokasi Sriwijaya Sport Centre. Saat itu pembangunan hotel dan aula sedang berjalan. Tim tersebut kemudian merekomendasikan agar Kodam Sriwijaya mengubah skema BOT menjadi skema tukar guling (ruilslag). Alasannya, Kodam Sriwijaya lebih membutuhkan kantor dan rumah dinas anggota Tentara Nasional Indonesia.
Kodam Sriwijaya meminta Luwiwan membangun kompleks rumah dinas anggota TNI untuk ditukar dengan kompleks Sriwijaya Sport Centre. Untuk ketiga kalinya kontrak kerja sama berubah. "Saya oke saja karena melihat peluang bisnis yang lebih lebar," ujar Agus.
Untuk memuluskan skema ruilslag, Agus beberapa kali bertemu dengan perwakilan Kodam Sriwijaya. Untuk membahas nilai tanah dan bangunan, kedua pihak mendatangkan tim penilai. Hasilnya, tanah seluas 10.162 meter persegi plus bangunan di kompleks Sriwijaya Sport Centre dihargai Rp 35,2 miliar.
Luwiwan Megah lalu menyiapkan tanah untuk 108 unit rumah dinas plus asrama dan sarana olahraga di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Perusahaan itu menyiapkan dana Rp 35,5 miliar. "Rugi sedikit enggak jadi masalah karena nilai sport centre juga pasti naik," ucap Agus. Pada Juni 2009, Luwiwan Megah resmi mengirim surat permohonan tukar guling ke Kodam Sriwijaya.
Pada medio Januari 2012, Kementerian Pertahanan melayangkan surat ke Kementerian Keuangan. Dalam surat tersebut, Kementerian Pertahanan menyatakan menyetujui ruilslag dengan alasan Sriwijaya Sport Centre tak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh Kodam Sriwijaya.
Pilihan tukar guling, masih menurut surat tersebut, akan lebih menguntungkan Kodam Sriwijaya karena mendapat bangunan pengganti yang bisa digunakan oleh TNI. Ruilslag itu juga disebutkan untuk mendukung anggaran TNI yang belum semuanya dicukupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Masalah baru muncul ketika Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mengirim surat ke Kementerian Pertahanan pada Mei 2013. Surat bernomor B/1105-09/27/58/Set itu meminta Kementerian membatalkan rencana tukar guling Sriwijaya Sport Centre. Alasannya, Kodam Sriwijaya tak berkoordinasi dulu dengan Kostrad. Mereka pun menganggap taksiran ruilslag Sriwijaya Sport Centre tidak memperhitungkan kenaikan harga tanah sehingga merugikan TNI.
Kementerian Pertahanan menindaklanjuti surat Kostrad dengan mengirim surat ke Kementerian Keuangan pada medio Oktober 2014. Isinya, meminta rencana tukar guling Sriwijaya Sport Centre dibatalkan.
Pembatalan tersebut jelas memukul telak Luwiwan Megah. "Tidak pernah ada pembicaraan sebelumnya," kata Agus. Padahal Luwiwan Megah sudah mengeluarkan uang Rp 14 miliar untuk membeli dan menyiapkan tanah di Pangkal Pinang. "Kami rugi besar," ucap Agus.
Agus dan perwakilan Kodam Sriwijaya kembali bertemu untuk membicarakan penyelesaian pembatalan tukar guling. Namun kedua pihak kali ini punya pandangan berbeda. Agus beranggapan, jika tukar guling batal, kerja sama kembali ke skema BOT. Sebaliknya, Kodam Sriwijaya berkukuh kerja sama dalam bentuk apa pun batal sehingga aset harus balik ke TNI.
Setelah bernegosiasi, pada Maret 2015 Kodam Sriwijaya dan Luwiwan Megah meneken kesepakatan kewajiban bersama. Kodam Sriwijaya berjanji mengganti uang Luwiwan Megah sebesar Rp 34,9 miliar. Sedangkan Luwiwan Megah harus membayar Rp 592 juta sebagai "sewa" penggunaan aset.
Agus kembali terpukul ketika Kodam Sriwijaya menyatakan tidak akan melunasi kewajiban mereka karena menilai Luwiwan Megah wanprestasi. Pada Januari lalu, TNI menyegel Sriwijaya Sport Centre, termasuk bangunan hotel yang sudah berdiri di sana. Dua bulan kemudian, koperasi Kodam Sriwijaya mengelola pusat kebugaran tersebut.
Wakil Panglima Kodam Sriwijaya Letnan Kolonel Infantri Paiman mengatakan TNI tidak serta-merta menyita Sriwijaya Sport Centre. "Kami sudah mengirimkan tiga kali surat peringatan, tapi tidak pernah digubris," ujarnya. Surat peringatan itu dikirim sepanjang 2016.
Dengan alasan tak mau berpolemik di media massa, Paiman menolak menjelaskan awal mula kerja sama Kodam Sriwijaya dengan Luwiwan Megah. Namun Paiman membenarkan bahwa pada Maret 2015 ada pertemuan dengan Luwiwan Megah. Kesepakatannya, kata dia, Kodam Sriwijaya akan memberikan aset pengganti senilai Rp 34, 997 miliar. Adapun Luwiwan harus membayar kewajiban Rp 592 juta. Faktanya, menurut Paiman, Luwiwan Megah belum menjalankan kewajibannya.
Paiman menambahkan, pada medio 2015, Badan Pemeriksa Keuangan merilis temuan tentang kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 11,6 miliar dari pengelolaan Sriwijaya Sport Centre. "Belakangan kami, tahu ada masalah perizinan, tunggakan pajak, dan kredit bank," kata Paiman. Dia mempersilakan PT Luwiwan Megah membawa perkara ini ke jalur hukum jika tidak puas atas keputusan Kodam Sriwijaya.
Agus mengatakan sama sekali tidak tahu tentang temuan BPK karena Luwiwan Megah tidak pernah diaudit. Soal utang ke bank, menurut Agus, wajar karena Luwiwan Megah perlu modal untuk berbisnis. "Bagaimana saya bisa melunasi kalau terus dirusuhin? Ujung-ujungnya saya yang rugi," ucapnya.
Syailendra Persada (jakarta), Ahmad Supardi (palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo