KONSTRUKSI mesinnya tak terlalu rumit. Silindernya berasal dari as meriam Sekutu yang banyak berserakan di Jayapura, ibukota Irian Jaya. Sedang lagernya diambil dari rongsokan tank buatan Amerika yang bangkainya banyak bergelimpangan di Pantai Hamadi, juga di Jayapura. Silinder itu kemudian dilapisi lempengan besi yang diberi gerigi bak alat parut kelapa para ibu rumah tangga. Tapi ukurannya memang cukup raksasa panjang 1,5 meter dengan garis tengah 50 cm. Sebuah drum atau tong yang juga terbuat dari lempengan besi dan berukuran raksasa pula (panjang 2 meter, garis tengah 1 meter) melengkapi mesin itu. Dengan begitu drum itu bisa berfungsi sebagai mollen (pengaduk). Penggeraknya? Dengan mesin merk Sunny berkapasitas 1.000 cc, silinder parutan dan tong pengaduk itu beroperasi. Mesin Sunny ini berasal dari mobil Datsun mini buatan 1969 yang sudah empat kali pindah tangan (terakhir berharga Rp 650.000) dan tak bisa berkutik lagi. Itulah mesin pemarut batang sagu. Lettu S.P. Hutasoit, penciptanya, memperkenalkannya pada masyarakat Irian Jaya Desember lalu. Ia dengan begitu memelopori satu revolusi teknologi yang mendobrak pengolahan sagu secara tradisional. "Dengan ditemukannya mesin pemarut ini, sagu bisa didayagunakan sebagai makanan komersial, tak hanya makanan pokok," komentar Brigjen TNI R.K. Sembiring Meliala, Pangdam XVII/Cenderawasih. Ia memang patut merasa bangga, karena Lettu Hutasoit adalah anak buahnya yang sehari-hari bertugas di Kesatuan Administrasi dan Personil (Minpers). Dengan mesin itu enam batang sagu dapat diparut hanya dalam tempo 10 jam. Hasilnya pun cukup meyakinkan: 2-3 ton sagu kering. Harganya pun dapat ditekan paling tinggi Rp 3.000 per tumang (kesatuan jumlah tradisional, sama dengan 18 kg). Bila diproses secara tradisional, sebatang pohon sagu (minimal sekitar 3 meter) memerlukan waktu 8 jam. Itu hanya untuk menebang, menguliti dan menokok bagian dalamnya. Belum lagi meremas-remasnya, menyaring serta kemudian mengendapkannya. Bahkan sebatang sagu yang sudah berumur, dan biasanya panjangnya mencapai 11 meter, memerlukan waktu pengolahan sedikit nya seminggu. Dengan tenaga 2-3 orang, pohon sagu yang diolah secara tradisional seperti itu bisa menghasilkan dua tumang. Harga penjualannya biasanya tak kurang dari Rp 8.000 per tumang. Batang sagu yang layak dibuat sagu biasanya bila sudah berumur 6-12 tahun. Cara kerja mesin Huso -- begitu ia dibaptis dengan singkatan nama penciptanya -- cukup sederhana. Batang sagu yang sudah dikelupas kulitnya disorongkan melalui tangga terbuat dari lager bekas tank Sekutu itu. Dengan suara krees . . . krees, batang sagu itu terparut oleh silinder yang berputar teratur. Hasilnya serbuk halus baaikan serbuk gergaji. Serbuk ini kemudian diangkat dan dimasukkan ke tong yang berfunsi sebagai mollen tadi. Batang-batang besi dalam drum atau tong itu pun mengaduk-aduk serbuk parutan. Air sesekali dimasukkan ke dalamnya. Tak berapa lama kemudian adukan dituang ke dalam sebuah saringan. Dari sini melalui pipa dialirkan ke bak penampungan. Ada dua bak penampungan. Satu menampung hasil saringan dan lainnya menampung air endapan sagu. Dari bak berukuran 4 x 2 x 1 meter yang terakhir itulah tepung sagu diambil lalu dikeringkan. Masalah air tak ada kesulitan karena mesin Huso itu berlokasi di tepi Sungai Nolokla, Kampung Harapan, Sentani. Kini banyak bahan baku sagu yang bertebaran di Irian Jaya dapat diolah secara besar-besaran. Dan pemasarannya pun tak jadi masalah. Sagu jadi makanan pokok penduduk setempat. Pangdam Cenderawasih mengatakan "anak-anak batalyon harus berlatih juga makan sagu." Medan tugas Irja yang cukup berat, katanya, mengharuskan prajurit mampu memanfaatkan potensi seperti sagu sebagai bekal logistik. Mesin ciptaan anak buahnya itu tentu saja, akan dijadikan salah satu pola pembinaan territorial. Mesin itu jelas akan dapat membantu rakyat memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pangan di pedesaan. "Dikaitkan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (sishankamrata), mesin sagu itu besar artinya dalam mendukung logistik wilayah," ujar Mayor Mardhi Rahardjo, Kepala Humas Laksusda Ir-Ja. Masyarakat sekitar Kampung Harapan pun sempat mencicipi mudahnya memproses sagu dengan mesin Huso secara gratis dalam suasana Natal dan Tahun Baru yang lalu. Lahir di Panigoran, Sumatera Utara, 8 Oktober 1953, Sutan Panusunan Hutasoit ternyata tak berlatar belakang pendidikan sekolah teknik. Dari jurusan IPA SMA XXI di Jakarta, ia masuk Akabri Darat dan lulus tahun 1977. Ayahnya adalah kontraktor bangunan perkebunan di Sum-Ut. "Saya sejak kecil biasa melihat tukang bekerja dan sering menggantikannya bila tak masuk," tuturnya. Kebiasaan itu rupanya menyebabkan Hutasoit gemar mengutak-atik sesuatu. Suatu hari, liburan Idul Adha 1981, Lettu Hutasoit sedang dalam perjalanan Sentani-Abepura dengan Datsun mininya. Tiga wanita Irian menyetopnya karena ingin menumpang. Kemudian di tempat tujuan mereka, Entrop, Hutasoit melihat para wanita mengolah sagu. Ia merasa sangat prihatin, katanya, melihat betapa beratnya menokok sagu. "Sejak itu pikiran saya selalu ditantang mencoba mencari cara memudahkan proses pembuatan sagu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini