Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERING telepon itu datang berulang kali. Suaranya memecah pagi yang baru merekah di sebuah rumah di Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Si empunya rumah, Bambang Setiadji, tampak cekatan menjawab panggilan-panggilan itu. Tiap kali gagang telepon diangkat, suara dari seberang bertanya hal yang sama: soal asap cair. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari juga menanyakan hal serupa.
Belakangan ini, nama Bambang Setiadji memang sedang moncer. Doktor yang mengepalai Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, itu diburu banyak orang, dihujani dengan serentetan pertanyaan soal zat pengawet yang aman buat tubuh, yakni asap cair.
Itu terjadi sejak Badan Pengawas Obat dan Makanan melansir berita: banyak tahu, ikan asin, dan mi basah yang dibubuhi bahan pengawet mayat, formalin, agar awet. Padahal, cairan yang tampak jernih ini bila dikonsumsi dalam jangka panjang akan bisa mengundang kerusakan hati, ginjal, dan jantung.
Pemberitaan itu memicu demam baru, yakni antimakan tahu, ikan asin, dan mi basah. Penjualan ketiga jenis makanan itu pun anjlok, nyaris ke titik nol.
Walhasil, bahan pengawet makanan alternatif pun mulai jadi pembicaraan. Dari Bogor, para peneliti di Institut Pertanian Bogor menawarkan pengawet alami dari kepala udang, kitosan (lihat Banyak Jalan Mengganti Formalin). Di Yogyakarta, ya, itu tadi, Mas Bambang sampai kebanjiran pertanyaan melalui telepon. Ada yang sekadar menanyakan khasiat asap cair. Ada yang ingin kaya dengan menjadi distributor. Ada pula panggilan resmi untuk ke Jakarta seperti yang dilakukan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Rabu pekan lalu.
Kisah asap cair ini sebenarnya bermula dari skripsi seorang mahasiswa yang dibimbing Bambang pada 1980-an. Saat itu, si mahasiswa meneliti tempurung kelapa. Tapi skripsi itu tak dipedulikannya sampai 1987, saat ia mulai menggeluti penelitian seputar kelapa.
Mulanya Bambang hanya berkonsentrasi pada pembuatan minyak kelapa murni (virgin coconut oil). Lelaki ini memang salah satu pionir usaha vico di Indonesia. Penelitiannya terus berkembang hingga ke batok kelapa.
Adapun ide soal asap, kata dia, datang setelah ia melongok dapur-dapur di pedesaan Yogyakarta. ”Di sana, warga biasa mengasapi jagung dan padi untuk pengawetan,” ujarnya. Maka, Bambang bersama tim peneliti dari beberapa fakultas di UGM mengajukan proposal. Baru pada 1997 proposal asap kelapa ini disetujui oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan dinyatakan sebagai salah satu riset unggulan terpadu.
Sejak itulah Bambang bersama timnya melewati hari-harinya di laboratorium bersama ratusan batok kelapa. Ternyata hasil di laboratorium menunjukkan bahwa ada 20 senyawa yang bercokol di dalam asap cair itu. ”Dari seluruh senyawa, ada tiga senyawa pokok, yaitu alkohol, aldehida, dan senyawa asam,” katanya. Setelah ditelaah, alkohol dan aldehida dari batok kelapa mempunyai gugus kimia rantai panjang yang tidak beracun dan justru membunuh bakteri pembusuk.
Hasil itu membuat Bambang kian bersemangat meneliti, apalagi setelah ia tahu bahwa pengawetan dengan asap cair juga lazim dipakai di Amerika Serikat dan Kanada. Bedanya, kata dia, asap cair yang dipakai di sana tak melulu berasal dari batok kelapa.
Bambang kemudian membuat alat sederhana penangkap asap yang terdiri dari tungku, pipa, drum, dan ember. Semua alat itu ditempatkan di Desa Galur, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Proses pengolahannya sederhana saja. Awalnya, batok kelapa yang kering dimasukkan ke dalam tungku. Tapi batok tak dibakar, cukup dipanasi. ”Tujuannya agar tempurung menghasilkan asap yang banyak,” katanya.
Asap ini ditampung dan dengan pipa disalurkan ke drum yang berisi air. Di dalam drum, pipa dibuat melingkar-lingkar seperti kumparan. Pipa besi melingkar ini, menurut Bambang, berfungsi sebagai pendingin. Alhasil, asap yang melewati pipa melingkar ini akan menjadi embun. Embun yang inilah yang disebut asap cair.
Dalam ember penampungan, embun akan berwarna hitam pekat karena masih bercampur dengan ter. Agar ter dan asap cair terpisahkan, maka dilakukan penyulingan. Hasilnya, cairan jernih tanpa bau. Setiap 100 kilogram batok kelapa bisa menghasilkan 25 liter asap cair, hanya dalam tiga jam.
Asap cair ala Kulonprogo itu terbukti cespleng mengawetkan ikan bandeng dan tahu sehingga bisa tahan hingga 25 hari. ”Setengah liter asap cair itu bisa untuk mengawetkan seribu bandeng,” kata Bambang. Sejak 2002, bahan pengawet ini sudah dipasarkan. ”Tapi baru peternak tambak di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menggunakannya,” katanya.
Harga asap cair itu lebih murah ketimbang formalin, yakni cuma Rp 6.000 per liter. Bandingkan dengan harga pasaran formalin yang mencapai Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per liter.
Meski di dalam negeri belum populer, asap cair buatan Bambang sudah melanglang buana. Sejak Oktober 2005, asap cair ini dijual ke Malaysia dan Kanada. Bahkan, dari kedua negara itu, sertifikat aman pemakaian sudah dikantonginya.
Meski sudah dilirik banyak pengusaha, para penjual mi basah di Yogyakarta masih bersikap hati-hati. ”Kami masih menunggu rekomendasi dari BPOM karena kami tidak mau disalahkan lagi,” kata Hani Purbonegoro, Ketua Paguyuban Mi Basah Mataram Indonesia.
Hani, produsen Mi Patangpuluhan Yogyakarta itu, mengaku memakai formalin untuk produksi mi sebanyak 800 kilogram hingga 1 ton per hari. Pemakaian itu, kata dia, justru atas sepengetahuan BPOM. Kini, ”Sudah dua minggu kami berhenti produksi.” Katanya terdengar mengeluh.
Saatnya beralih ke batok kelapa atau kepala udang.
Yandhrie Arvian, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Pengawet Dari Batok Kelapa
- Batok kelapa kering dibakar di tungku.
- Asapnya ditampung dan disalurkan lewat pipa.
- Di pipa melingkar-lingkar asap mengalami pendinginan menjadi embun.
- Embun hitam pekat menetes.
- Cairan hitam ini disuling lagi agar ternya terpisah.
- Hasilnya cairan jernih tanpa bau.
- 100 kilogram batok akan menjadi 25 liter asap. Prosesnya butuh waktu tiga jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo