Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan 3 x 3 meter di sudut Fakultas Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada itu mirip gudang penampungan barang bekas. Berbagai perangkat elektronik yang tidak terhitung jumlahnya berserakan memenuhi hampir setiap jengkal. Oksigen terasa tipis, membuat pendatang tak betah berlama-lama di dalamnya. Tapi tidak demikian dengan empat mahasiswa penghuni ruangan itu. Selasa siang pekan lalu, seperti hari-hari lain, mereka ngariung di sana layaknya eksekutif muda nongkrong di Starbucks. Topiknya berat, tapi didiskusikan sambil bercanda: membuat robot.
Mereka adalah anggota Komunitas Robot UGM, yang berdiri sejak tahun lalu. Komunitas ini leburan dari empat kelompok pembuat robot di kampus tertua di Indonesia itu. Jumlah anggotanya 125 orang. Dari ruangan sumpek itu, ide-ide cemerlang lahir. Robot ciptaan mereka menang dalam berbagai lomba, mulai tingkat daerah sampai yang terbaru, Trinity College Fire Fighting Home Robot Contest di Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, bulan lalu.
Barang-barang yang sekilas mirip rongsokan itu dianggap sakral. ”Tidak ada yang boleh dibuang,” ujar Noer Aziz Ismail, 20 tahun, mahasiswa teknik elektro semester keempat. Sebab, dari tumpukan barang berdebu itu mereka bisa membuat robot sampai puluhan unit. Saban ingin mewujudkan ide, jadilah mahasiswa-mahasiswa itu seperti pemulung yang mengais tumpukan sampah.
Sekitar 500 kilometer ke arah barat dari gudang lusuh itu, kelompok mahasiswa lain larut dalam kesibukan yang sama—membuat robot. Tepatnya di Ruang Unit Robotika Kampus Universitas Komputer Indonesia (Unikom) di Jalan Dipati Ukur, Bandung. Belasan mahasiswa terpaku di meja masing-masing. Ada yang mengerjakan program dan algoritma robotik di komputer. Ada juga yang memperbaiki robot DU 99 RWE, jawara kategori Robowaiter di ajang yang sama di Connecticut.
Unit ini ibarat pasukan khusus di militer. Peminatnya harus lulus tes elektro dasar dan wawancara. Dari sekitar 50 peminat per tahun, hanya 20 yang diterima. Ridyan Ardiyan, pembuat DU 99 RWE, bergabung saat masih mahasiswa baru pada 2008. Lebih dari setahun dia hanya boleh jadi kenek, sebutan untuk pembantu mekanik. Mekanik biasanya terdiri atas mahasiswa senior, tingkat tiga atau empat.
Pilihan lain untuk para senior adalah pembuat program. Tahun lalu, Ridyan naik pangkat jadi mekanik dan mulai membuat robot. Kreasi pertamanya, Robot Battle, berhasil menjuarai Kreasi Robot Cerdas Indonesia di tingkat regional.
Bersama rekan-rekannya, dia kerap bermalam di ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu. Sebab, siang harinya mereka disibukkan tugas reguler kuliah. Sajadah dan matras tipis yang berserakan di antara komponen elektronik jadi alas tidur mereka. Saban malam sepeda-sepeda motor terparkir di belakang ruangan, pertanda pemiliknya tidak pulang, melebihi kewajiban hadir minimal 50 jam dalam sebulan.
Menjadi penjaga malam di kampus, mereka mendapat keistimewaan fasilitas Internet tanpa batas, yang tak ada di kos-kosan. ”Walaupun jadinya pacaran cuma bisa lewat telepon,” kata Ridyan, 23 tahun. Militansi seperti ini jarang ditemukan. Dari 20 teman seangkatan Ridyan, hanya tersisa tiga. Mereka cabut entah karena bosan, takut keteteran kuliah, atau tak tahan harus terjaga sepanjang malam memelototi mekanisme yang njelimet.
Selain kengototan anggotanya, bimbingan dosen dan alumni jadi kunci sukses kelompok-kelompok pencinta robot ini. Unikom beruntung punya dosen pembimbing yang veteran di bidang pembuatan robot, seperti Yusrilla Kerlooza, Taufik Nuzwir Nizar, dan Rodi Hartono. Menurut Ridyan, mereka juga tak segan-segan membantu tugas kuliah. Jika dosen tak di tempat, selalu ada senior yang bisa memberikan solusi, seperti di UGM dan Institut Teknologi Bandung.
Soal biaya, Ridyan cs tak perlu pusing. Kampus menyediakan semua kebutuhan unit tersebut, dari komponen sampai sensor. Anggota, dia melanjutkan, tak perlu mengeluarkan isi kantong. Namun tetangga mereka di ITB tak begitu beruntung. Dana dari kampus sering kurang, sehingga anggota tim robot harus patungan. ”Tabungan saya pernah terpakai Rp 5 juta,” kata Fuady Samratul, mahasiswa teknik elektro yang ikut menggagas Unit Robotika ITB. Untungnya, uang itu tergantikan setelah mereka menggaet sponsor.
Bersama dua rekannya, dia menciptakan Yaqut, robot pemadam api yang jadi kampiun di Kreasi Robot Cerdas Indonesia 2010 dan Trinity College bulan lalu. Bentuknya seperti laba-laba, memiliki enam kaki, dan menghabiskan biaya Rp 40 juta.
Meski sering dipusingkan biaya, Fuady mengaku telanjur cinta kepada robot, yang proses membuatnya kompleks dan membutuhkan gabungan banyak disiplin ilmu. ”Bayangkan serunya menggabungkan komponen yang mati, lalu diberi kecerdasan, sehingga bisa bergerak,” katanya. ”Sangat mencengangkan.”
Kenikmatan itu bertambah ketika robot berlomba di mancanegara dan menang. Aziz dan rekan-rekan menghabiskan hampir seluruh Februari dan Maret tahun ini di ruangan Komunitas Robot UGM, merancang dan membuat robot Ironfire, yang tampil dalam kontes di Trinity College. Mereka mendesain robot yang mampu mendeteksi api dan memadamkannya. Robot itu sebenarnya sudah jadi dan pernah dilombakan, tapi disempurnakan dari roda dua jadi roda empat. ”Ke kos hanya kalau baju habis,” ujarnya.
Siang-malam di ruangan sumpek itu membawa berkah. Robot bikinan tangan-tangan UGM ini memborong dua penghargaan di divisi senior wheeled unique robot, mengalahkan kontestan dari 41 negara, termasuk Kanada, Cina, dan Amerika.
Ketua delegasi Indonesia, Jamasri, mengatakan Ironfire mencatat waktu tercepat, 10 detik, di tiga konfigurasi labirin. Mereka bahkan minta tambahan rintangan berupa tiang di tengah ruangan. Bukannya nyombong, kata Aziz, akibat terlalu sering berlatih dan ikut kejuaraan tingkat nasional, kemampuan Ironfire mendeteksi api melewati tingkat kesulitan labirin panitia lomba di negeri Barack Obama itu.
Meski dompet berisi hadiah US$ 500 atau sekitar Rp 4,5 juta raib saat pesawat transit di Dubai, Uni Emirat Arab, Aziz tak menyesal. Sebab, dia memperoleh banyak pengalaman berharga bersama rekan-rekannya dari ITB dan Unikom di Amerika. Juga menikmati New York di suhu satu derajat Celsius dan hangatnya pesisir barat di California.
Satu hal yang tak mereka sukai adalah makanan. Perut anak kos Yogyakarta, yang terbiasa melahap mi instan dan nasi kucing, menolak kelezatan makanan koki-koki Amerika. Jadi, di seberang benua pun mereka mengandalkan mi instan. Habis makan, kemasan Pop Mie mereka simpan untuk digunakan sebagai ciduk saat mandi dan buang hajat.
Pulang membawa kemenangan, mereka tak punya waktu berleha-leha. Aziz, Fuady, dan Ridyan langsung balik kandang untuk mempersiapkan diri, juga robotnya. Kontes Robot Cerdas Indonesia, yang seleksi regionalnya dimulai bulan ini, sudah di depan mata. Setelah sama-sama mengusung bendera Indonesia, kini Yaqut dari ITB, DU 99 RWE dari Unikom, dan Ironfire dari UGM akan beradu jadi yang terbaik.
Untuk itu, pemiliknya kembali berhadapan dengan malam-malam panjang.
Reza M., Bernada Rurit (Yogyakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo