PANJI-panji Kekaisaran Romawi rontok di medan laga Carrhae, Syiria. Tentaranya, berkekuatan 40.000 prajurit di bawah komando Panglima Marcus Licinius Crassus, keok di tangan orang-orang Parthia, si Penguasa Persia, dalam perang sengit tahun 53 sebelum Masehi itu. Sejarah kemudian mencatat bahwa Crassus, sobat kental Julius Caesar, dijatuhi hukuman penggal kepala oleh orang Parthia. Hampir 10.000 prajurit Crassus menjadi tawanan. Yang lain tewas atau kabur. Para tawanan perang itu dijadikan budak. Tapi penguasa Parthia tak mau rugi. Prajurit taklukan itu dikirim ke Persia Utara, guna menjaga perbatasan dari ancaman orang Tartar. Setelah itu, kisah laskar Romawi tersebut gelap. Maklum, sejarah lebih suka mencatat kisah raja-raja daripada nasib prajurit pecundang. Belakangan muncul bukti kuat, sisa laskar Romawi itu hijrah sampai Cina. Perkampungan mereka ditemukan di Li-Jien, kota dekat tembok besar di Provinsi Gansu, Cina Barat. Penggalian di kota tua itu pun dilakukan sejak 1991, atas prakarsa tiga arkeolog Adelaide, Australia. Dan kini tim dari Adelaide telah siap lagi terjun ke Gansu untuk melakukan riset lebih mendalam. Mereka juga telah menyiapkan sebuah film dokumenter. Ihwal "pengembaraan" orang Romawi itu sudah lama menjadi spekulasi sejarah. Prof. J.J.L. Duyvendak, dari Universitas Leiden, Belanda, misalnya, menulis bahwa sisa laskar Romawi itu sempat menyeberang ke kubu pasukan Tartar sebelum ke Cina. Tak jelas betul motifnya. Duyvendak menduga, mereka dikalahkan oleh orang Tartar, dan dipakai sebagai jago aduan. Jenderal Cina Cheng Tang, seperti dikutip Duyvendak, sempat berurusan dengan orang Romawi itu, tahun 35 sebelum Masehi. Ketika prajuritnya menyerang kubu Tartar, mereka dihadapi pasukan infanteri bertubuh kekar berambut jagung, orang Romawi. Prajurit berambut jagung itu bertahan dengan formasi tulang ikan, dan memasang kayu-kayu runcing di depan barisan. Tapi, karena kalah jumlah, prajurit Roma itu keok lagi. Sebagian besar tertawan, dan diboyong Cheng ke Gansu. Gelar perang gaya tulang ikan itu khas prajurit Romawi. Di negeri aslinya, formasi itu disebut testudo alias tudung kura- kura: pasukan induk di tengah dengan sayap yang berlapis-lapis. Itulah formasi andalan Romawi. Di Cina para tawanan itu dijadikan legiun khusus. Mereka ditugasi menjaga satu sudut tembok besar di Gansu. Para veteran itu mendapat perlakuan baik, diberi tempat tinggal layak dan boleh beranak-pinak dengan wanita setempat. Untuk tempat tinggalnya, mereka membangun tangsi dengan tiang- tiang besar, di tepian sungai. Arsitekturnya khas Romawi. Di kemudian hari, orang Cina menyebut daerah tangsi itu Li-Jien, alias Roma. Kota Li-Jien pun dilindas sejarah. Yang tersisa adalah legenda bahwa Li-Jien ditempati oleh masyarakat berambut kuning-cokelat dan bermata biru. Di Li-Jien kemudian juga ditemukan barang pecah belah, pedang, dan perkakas pertukangan, yang setelah dibawa ke museum Lanzhao, kota utama di Provinsi Gansu, dikenali sebagai benda dengan corak Romawi. Pada zaman modern, Li-Jien nyaris tak tersentuh observasi arkeologi ilmiah. Pemerintah Cina menetapkan kota itu sebagai zone militer, tak boleh diintip. Arkeolog Cina sendiri pun tak berani memasukinya. Penyusun sejarah seperti Duyvendak hanya bisa mempelajari riwayatnya dari benda-benda di museum Lanzhao atau dari dokumen seperti yang ditulis Jenderal Cheng untuk Kaisar Yuan. "Misteri" Kota Li-Jien itu sempat menggoda David Harris, guru Sejarah dan pengarang dari Adelaide, Australia. Sejak 1981, ia mengumpulkan kajian-kajian tentang Li-Jien. Ia tak puas karena isi perut kota tua itu tak terkuak. Ia pun terbang ke Cina, 1988, untuk ke Li-Jien. Upayanya mentok di laci birokrasi. Harris tak putus asa. Dengan bantuan Kedutaan Australia, dan dukungan para arkeolog Cina sendiri, Harris bisa membentuk tim gabungan untuk datang ke Li-Jien walau geraknya terasa sempit. Harris tak diizinkan melakukan penggalian. Tak banyak bukti baru yang terungkap. Kendati di situ terlihat sisa bangunan model Romawi, Harris tak berani menyimpulkan kota itu pernah dihuni orang Eropa. Harris terus penasaran. Bantuan kemudian datang dari dua arkeolog Adelaide yang kebetulan punya nama depan David pula: Dr. David Trent dan Dr. David Wyatt. Ketiga David itu berinisiatif mengundang Prof. Ma Hong-liang, arkeolog kondang dari Lanzhou, ke Adelaide untuk sebuah seminar. Sebagai balasannya, ketiga David itu kemudian diundang ke Lanzhou untuk seminar soal konservasi tanah dan air 1991. Kesempatan itu mereka pakai untuk mengintip Kota Li-Jien. Tidak hanya itu. Ketiganya melakukan lobi kanan kiri. Walhasil, pemerintah Cina setuju. Benteng Li-Jien roboh. Penggalian pun dilakukan oleh para ahli Cina, dan ketiga David itu menikmati temuannya. Dari fondasi dan detail bangunan, ketiganya yakin bahwa Li-Jien dibangun oleh orang Romawi. Model arsitekturnya juga membuktikan bahwa kota itu dibangun menjelang abad Masehi. Disimpulkan, tukangnya adalah sisa-sisa pasukan Crassus. David Harris, David Trent, dan David Wyatt melangkah lebih jauh. Mereka siap melakukan ekskavasi lanjutan sembari membuat film dokumenter. Bahkan, mereka juga akan mengambil sampel darah penduduk asli Li-Jien, untuk melihat sisa-sisa DNA dari moyang penduduk itu yang dari Roma. Putut Trihusodo (Jakarta) dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini