Mestinya aparat keamanan kini lebih mudah menelusuri penembak mahasiswa Universitas Trisakti dalam "tragedi Trisakti" setahun lalu. Asal peluru dan jenis senjata yang menewaskan empat mahasiswa yang tengah berada dalam demonstrasi menuntut reformasi itu kini telah terjawab. Pekan lalu, Koordinator Tim Uji Balistik Mahasiswa Universitas Trisakti, Hafiz Lubis, mengabarkan jawaban yang dibawa dari Kanada kepada wartawan. Menurut hasil uji balistik di Forensic Technology Incorporated (FTI) di Montreal, proyektil berbentuk metal jacket yang bersarang di tubuh para korban itu berasal dari senapan jenis Styer dan SS-1. Bukankah dari sini sedikitnya bisa ditelusuri kesatuan si penembak, mengingat Styer selama ini hanya dipakai pasukan elite Gegana Polri dan Kopassus?
Sebelumnya, dua kali pengujian yang dilakukan di dalam negeri memberikan hasil yang berbeda. Pengujian itu dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian Republik Indonesia (Puslabfor Polri) dan di Laboratorium Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut Puslabfor, proyektil berasal dari senjata jenis M16-A2 atau SS-1. Versi ITB: pecahan peluru itu berasal dari senapan SS-1 atau Styer.
Mengapa hasil uji balistik itu bisa berlainan? Padahal, peluru itu seperti ibu jari yang mempunyai tanda khas. Ada tanda unik, seperti sidik jari manusia, pada peluru yang dimuntahkan dari laras senjata. Tanda berupa goresan yang sangat unik itu terjadi sebagai akibat gesekan melintir antara proyektil dan bagian dalam laras senjata. Itu sebabnya, goresan peluru yang ditembakkan dari laras senapan yang berlainan polanya akan berbeda pula.
Pada prinsipnya, uji balistik mirip dengan pemeriksaan sidik jari: sama-sama melihat pola goresan. Pada uji balistik yang dilihat adalah pola goresan (alur) atau jejak yang terlihat pada kulit luar peluru. Karena pola itu biasanya sangat kecil, diperlukan mikroskop optik atau elektron yang bisa melakukan perbesaran 50-65 kali lipat.
Uji balistik bisa dilakukan secara manual baik yang sederhana maupun dengan sistem yang lebih canggih. Hasilnya mungkin bisa berbeda. Uji balistik yang dilakukan di Bandung, misalnya, menggunakan metode konvensional. Lewat metode ini, penguji membuat proyektil pembanding dengan cara menembakkan peluru dari semua jenis senjata yang digunakan di tempat kejadian. Peluru tadi kemudian diperiksa alur gesekannya menggunakan alat sederhana yang mereka miliki, yakni Scanning Electron Microscope. Penguji kemudian membandingkan alur gesekan yang ada di proyektil tadi dengan proyektil barang bukti, untuk melihat adanya kesamaan pola.
Apakah cara ini cukup akurat? "Senjata dan peluru yang digunakan ABRI itu buatan Pindad, karena itu, bagi saya, sangat mudah mengenalinya," ujar Peter Hermanus, ahli amunisi dari Pindad yang membantu tim ITB. Kendati demikian, Mardjono Siswosuwarno dari Laboratorium Metalurgi ITB mengakui bahwa uji balistik semacam ini sangat subyektif karena diteliti dan diolah oleh manusia. Metode ini—juga dilakukan Puslabfor Polri—mengandung kelemahan, mengingat kemampuan ketelitian manusia yang terbatas.
Itu berbeda dengan metode yang digunakan FTI. Di perusahaan yang mengkhususkan diri pada ilmu forensik ini, pengujian balistik dilakukan dengan memakai IBIS atau Integrated Ballistic Identification System. Ini merupakan sistem analisis gambar (image) untuk menemukan, menyimpan, dan menganalisis bekas atau jejak pada peluru dan selongsong. IBIS punya dua modul: Bulletproof (untuk memeriksa peluru) dan Brasscatcher (untuk menguji selongsong).
Dalam sistem ini terangkum data gambar video yang menyajikan secara lengkap garis-garis pada anak peluru dan bekas yang tertinggal pada selongsong peluru. Gambar-gambar itu tersimpan dalam suatu database. Sistem ini kemudian akan membandingkan secara otomatis gambaran anak peluru atau selongsong yang sudah ditembakkan dengan contoh peluru dan selongsong. Itu bisa pula diperbandingkan dengan seluruh data dari peluru dan selongsong yang sudah ditembakkan yang sudah ada dalam sistem.
Kemampuan sistem yang harga satu perangkatnya sekitar US$ 3 juta (Rp 24 miliar) ini luar biasa. Jika dilakukan dengan cara manual, uji balistik sebuah peluru bisa memakan waktu berjam-jam. Apalagi jika harus mengidentifikasi senjatanya, bisa memakan waktu satu tahun. Dengan IBIS, proses itu hanya dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam.
Sayangnya, pembuktian yang begitu singkat itu menjadi tidak berarti apa-apa karena tidak diikuti dengan pelacakan yang lebih serius. Sekarang terpulang pada aparat Indonesia: apakah bersedia memakainya sebagai bukti baru untuk mengungkap kasus Trisakti atau tidak.
Wicaksono, Arif A. Kuswardono, Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini