Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menciutkan Ongkos, Hutan pun Hangus

Dua gugatan terhadap perusahaan pembakar hutan dikabulkan hakim. Tapi itu baru secuil dari 176 perusahaan yang diduga meludeskan hutan Nusantara.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA nasional berupa kebakaran hutan pada 1997 sulit terlupakan. Ketika itu, asap tebal si jago merah amat mengganggu kesehatan, transportasi, dan sekolah-sekolah pun ditutup. Bahkan asap tersebut sampai menyeberang ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Hampir 264 ribu hektare hutan berikut sumber plasma nuftah hangus terpanggang api. Menurut perhitungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kebakaran itu telah menimbulkan kerugian Rp 10,25 triliun. Namun, siapa pelaku pembakaran hutan, waktu itu masih simpang-siur. Mula-mula, sang musim alias El Nino?penyebab kemarau panjang?dituding sebagai biang keladi. Lantas para peladang berpindah juga dituduh karena mereka membakar hutan untuk membuka lahan pertanian. Belakangan, Departemen Kehutanan mengumumkan 176 perusahaan di Sumatra dan Kalimantan selaku pembakar hutan. Rupanya, cara gampang untuk membuka lahan, dengan membakar hutan, seperti yang dilakukan peladang berpindah, ditiru oleh para pengusaha hutan serta penyedia lahan transmigrasi dan perkebunan. Tentu saja skala pembakarannya jauh lebih besar ketimbang yang dilakukan peladang berpindah. Rentetan kebakaran hutan bisa jadi lantaran sikap bisnis para pengusaha hutan yang mengakali ongkos minimum. Lagi pula, mekanisme pengawasan pemerintah terhadap ulah para pengusaha hutan terhitung longgar. Belum pula ada kepastian siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap bencana tersebut, ternyata pada awal 1998 terjadi kebakaran hutan yang lebih dahsyat. Hutan seluas hampir 515 ribu hektare ludes dilalap api, sebagian besar berupa hutan produksi dan taman nasional di Kalimantan. Setelah musim reformasi bergulir, barulah dugaan pengusaha hutan sebagai pembakar hutan semakin kuat. Buktinya, Senin pekan lalu, Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan, memvonis tujuh cucu perusahaan kelompok bisnis Salim, antara lain PT Laguna Mandiri dan PT Langgeng Muara Makmur. Ketujuh anak perusahaan PT Indoagri Inti Plantation itu dihukum untuk membayar ganti rugi Rp 150 juta kepada 106 kepala keluarga suku Dayak Samihim. Mereka juga diharuskan membuat manajemen pengendalian kebakaran hutan. Tujuh perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit itu dipersalahkan telah membakar hutan sehingga hutan dan kebun milik suku Dayak Samihim ikut hangus termakan api. Areal bisnis tujuh perusahaan yang mengantongi hak guna usaha seluas 60 ribu hektare itu rupanya tumpang tindih dengan hutan sumber mata pencaharian dan permukiman masyarakat adat Dayak Samihim. Sebelumnya, November silam, Pengadilan Negeri Palembang juga menyalahkan dua perusahaan yang dituding sebagai pembakar hutan, yakni PT Musi Hutan Persada dan PT Inti Remaja Concern. Sayangnya, hakim tak menghukum kedua perusahaan itu untuk membayar ganti rugi, melainkan hanya mengharuskan mereka membuat manajemen dan barikade pemadam kebakaran hutan. Tentu saja vonis itu sangat ringan dibandingkan dengan kerugian akibat ulah tergugat. Toh, hukuman ringan itu masih pula dibanding oleh Yusuf Fani Andin Kasim, kuasa hukum ketujuh perusahaan di Kotabaru tadi. Menurut Yusuf, bukti-bukti untuk menyimpulkan ketujuh perusahaan tersebut sebagai pembakar hutan sangat lemah. Ia sendiri merasa yakin bahwa penyebab kebakaran hutan, ya, sang El Nino. "Bayangkan, pada kebakaran itu, ribuan hektare kebun kelapa sawit milik tujuh perusahaan itu, yang sebentar lagi panen, ikut musnah terbakar. Masa, mereka sengaja membakar?" katanya. Sanksi rendah dan sangat sedikitnya pengusaha hutan yang divonis pengadilan sebagai pembakar hutan agaknya menggambarkan penegakan hukum lingkungan yang lemah. Faktor ini, ditambah dengan minimnya pengawasan pemerintah terhadap para pengusaha hutan, tak mustahil bisa membuat para pengusaha tetap bersikap sesukanya terhadap hutan. Padahal, hutan bukan hanya milik pengusaha, tapi juga milik semua warga negara, termasuk generasi mendatang. Happy S., Hardy R. Hermawan (Jakarta), dan Almin Hatta (Banjarmasin)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus