Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Penyengat Bakteri Penderita Diabetes

Kakak-adik dari Malang mengklaim menemukan alat listrik yang mampu membunuh bakteri resistan antibiotik penyebab infeksi. Masih perlu uji klinis.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INSPIRASI bisa datang dari mana saja, sering kali tak terduga. Itu pula yang terjadi pada Syahrul Chilmi. Ketika mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, ini mulai putus asa lantaran tugas akhir pendidikan dokternya tak kunjung rampung, ide itu tiba-tiba tercetus. Voila!

Adalah kilatan cahaya petir yang ia lihat dari balik jendela kamarnya yang menyulut ide itu. Peristiwa ini terjadi pada medio 2006. Syahrul pun lantas berpikir untuk membuat alat listrik pembunuh bakteri.

Setelah ide itu tebersit, ia langsung melalap aneka jurnal ilmiah bertema bioelektrik. Yang ia cari: cara membunuh bakteri dengan sengatan listrik. Sialnya, beragam jurnal sudah dibaca, tapi metode itu tak kunjung ditemukan.

Ia terbentur pada kenyataan bahwa mayoritas cara membunuh bakteri dilakukan dengan metode biokimia. Tak ada satu pun jurnal yang membahas secara mendalam penggunaan metode listrik untuk membunuh bakteri. "Trennya menggunakan ekstraksi tanaman herbal," katanya Rabu pekan lalu.

Tak patah semangat, Syahrul merakit sendiri alat listrik yang ia yakini akan mampu membunuh bakteri. Percobaan sederhana dilakukan. Ia menyetrum koloni bakteri dengan listrik bertegangan 9 volt selama 10-20 menit. Koloni serupa, di wadah lain, diberi antibiotik. Hasilnya, koloni bakteri yang disetrum berkurang drastis. "Penelitian itu membawa saya meraih gelar dokter," ujarnya bangga.

Inovasi Syahrul belum final. Alat temuannya itu lantas dikembangkan dan disempurnakan adiknya, Anas Setiawan, mahasiswa semester akhir Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya. Kakak-adik ini lantas membikin Biomedic Pulse Electric Field (PEC). Peranti listrik pembunuh bakteri ini ditujukan untuk menyembuhkan infeksi pada luka pasien diabetes melitus alias kencing manis.

Luka pada kaki atau tangan penderita diabetes sulit sembuh. Tingginya kadar gula dalam darah menyebabkan aliran darah menurun, mempersempit pembuluh darah, dan memperkecil pasokan sari makanan serta oksigen. Akibatnya, kekebalan tubuh berkurang. Infeksi bakteri dan patogen lain bisa mempercepat pembusukan luka sehingga tangan atau kaki harus diamputasi. "Alat ini mencegah risiko amputasi pada pasien diabetes," kata Anas mengklaim.

Sekilas, PEC mirip mesin hitung kasir berwarna hitam seukuran buku tulis. Alat yang dihidupkan dengan listrik arus bolak-balik (AC) 220 volt ini dilengkapi beragam tombol untuk pengoperasiannya. Melalui rangkaian elektronik, listrik tegangan tinggi itu diubah menjadi listrik searah (DC) dengan tegangan 9 volt.

Dua untai kabel putih mencuat dari kotak itu. Satu kabel berujung pen merah menandakan anoda (kutub positif), satunya lagi pen hitam sebagai katoda (kutub negatif). PEC dilengkapi rangkaian pengatur frekuensi listrik yang bisa disetel pada kisaran 100-1.000 hertz. Tegangan listrik keluaran dipertahankan pada angka 9 volt. Sedangkan frekuensinya bisa disetel sesuai dengan kebutuhan dan angkanya dapat dilihat pada layar monitor kecil.

Anas dan Syahrul menguji keampuhan PEC terhadap methicillin-resistant Staphylococcus aureus, bakteri gram positif yang resistan terhadap antibiotik methicillin dan amoxicillin. Bakteri ini dikenal sebagai patogen utama penyebab infeksi.

Penyembuhan infeksi menjadi semakin sulit karena S. aureus mudah kebal terhadap antibiotik. "Butuh dosis yang lebih tinggi (untuk membunuh bakteri)," ujar Syahrul, kini anggota staf Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Uji coba dilakukan secara in vitro menggunakan tabung reaksi yang sudah dipasangi dua elektroda. Satu untuk anoda, lainnya katoda. Suspensi bakteri S. aureus dimasukkan ke tabung reaksi itu, lalu dialiri­ listrik bertegangan mini lewat dua elektroda. Penyetruman listrik arus searah dilakukan dengan tegangan 9 volt dan frekuensi 900 hertz selama 5 menit. Metode ini, kata Syahrul, ampuh menghancurkan kumpulan bakteri S. aureus.

PEC bekerja menggunakan prinsip elektroporasi, yaitu melubangi membran sel bakteri lewat sengatan listrik. Membran yang diberi aliran listrik pada tegangan dan frekuensi tertentu akan menjadi tidak stabil. Akibatnya, terjadi kompresi elektrokimia.

Paparan listrik selama waktu tertentu menyebabkan membran sel bakteri hancur (lisis) sehingga, menurut kakak-adik itu, bakteri akan mati. Tegangan listrik yang dihasilkan PEC tidak cukup besar untuk merusak sel tubuh manusia karena perbedaan konduktivitas membran sel bakteri dan manusia.

Berpegang pada hasil penelitian laboratorium, Anas dan kakaknya sangat yakin alat temuan mereka ampuh untuk menyembuhkan infeksi luka yang dialami penderita diabetes tanpa asupan antibiotik.

Menurut mereka, hasil simulasi di laboratorium menunjukkan penyetruman secara rutin dengan PEC selama empat bulan dapat menyembuhkan luka penderita diabetes. Sedangkan pengobatan dengan antibiotik membutuhkan waktu penyembuhan enam bulan. "Luka lekas mengering dan menutup sempurna," ujar Syahrul. Menurut dia, PEC akan menjadi alat terapi yang murah.

Warsito Purwo Taruno, peneliti penemu kutang pembasmi kanker, tak terlalu terkesima oleh temuan yang telah diberitakan di sejumlah media ini. Menurut doktor lulusan Universitas Shizuoka, Jepang, itu, cara kerja PEC tidaklah baru karena sudah pernah ada yang mengembangkan alat dengan prinsip current injection, menyetrum langsung untuk membunuh bakteri—persis seperti PEC.

"Metode itu banyak dipakai untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, termasuk bakteri," kata Warsito mengomentari temuan Syahrul dan Anas. Efek serupa diperoleh saat bakteri disorot sinar ultraviolet.

Bakteri, menurut Warsito, secara alami merespons listrik. Sengatan listrik arus bolak-balik, misalnya, mampu mengganggu aktivitas mitokondria—organel penghasil energi—di dalam tubuh bakteri. Tegangan listrik juga mempengaruhi fungsi fisiologis bakteri yang bekerja lewat proses elektrokimia. "Kalau dikacaukan dengan listrik dari luar, fungsi fisiologis terganggu," ucapnya.

Aliran listrik juga dapat mengganggu proses sel memperbanyak diri dengan cara mitosis. Prinsip inilah yang digunakan Warsito saat membuat kutang pembasmi kanker. Ia tahu sel makhluk hidup dipengaruhi medan listrik. Pada sel kanker, medan listrik ternyata memberikan pengaruh terkuat saat fase mitosis. Begitu sel kanker akan membelah diri, Warsito memberondongnya dengan paparan medan listrik dengan frekuensi 50 kilohertz-5 megahertz. Pembelahan sel kanker seketika lumpuh.

"Saya belum yakin apakah PEC mampu mempengaruhi proses mitosis pada bakteri," kata Warsito, merujuk pada tegangan 9 volt yang dinilainya terlalu lemah. Sel bakteri akan bereaksi jika disorot medan listrik pada tegangan minimal 50 volt. Selain itu, gangguan terhadap proses fisiologis tubuh bakteri baru muncul jika paparan medan listrik dilakukan cukup lama.

Syahrul mafhum jika alat buatannya belum sempurna. Dibutuhkan waktu panjang untuk mengembangkannya menjadi alat terapi alternatif yang diproduksi massal. PEC masih perlu diuji coba ke tikus, kelinci, dan monyet ekor panjang. Juga perlu uji klinis untuk mengetahui setelan frekuensi yang tepat dan aman bagi manusia. "Sama seperti obat, dosisnya harus tepat."

Meski begitu, Syahrul tetap optimistis alat yang disempurnakan adiknya berprospek cerah. Apalagi alat berbiaya Rp 1,5 juta dan butuh waktu empat bulan untuk membuatnya ini diganjar peringkat pertama Entrepreneur Spirit (Espriex) di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Syahrul sudah menyiapkan proyek selanjutnya, yaitu mengembangkan PEC sebagai alat pembunuh sel kanker darah atau leukemia. Tapi, sebelum itu, ia jelas harus menjawab keraguan Warsito.

Mahardika Satria Hadi, Eko Widianto (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus