Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung lotus putih raksasa mengapung di kolam. Atmosfer taman menyergap bagian depan bangunan Museum of Contemporary Art di Bangkok, Thailand. Bangunannya kotak berdiri kokoh mirip sebongkah besar batu granit. MOCA—demikian nama populer tempat itu—berada di tepi jalan tol menuju bandar udara lama Bangkok, Don Muang. Jalan ini berdampingan dengan Vibhavadi-Rangsit Road. Untuk mencapai museum ini hanya perlu waktu sekitar 20 menit dari Jalan Rama 1 Wangmai Pathumwan, jantung belanja ibu kota Negeri Gajah Putih.
Gedung berlantai lima ini memiliki luas 20 ribu meter persegi. Suasana taman juga menjadi gerbang untuk masuk museum. Dari halaman bernuansa kebun ini, pengunjung bisa sekadar melepas lelah sambil minum teh Thai, teh hitam campur susu yang legit sehingga warnanya menjadi kecokelatan. Tempo, bersama sejumlah jurnalis dari Asia Tenggara, Hong Kong, dan Tiongkok, berkunjung ke museum ini pada Rabu pekan lalu. Kunjungan ini untuk memenuhi undangan pengelola dua hotel dalam satu gedung: Mercure Bangkok Siam dan Ibis Bangkok Siam.
Bagi orang dewasa umum, sekali masuk cuma dikenai tiket 180 baht atau kalau dikonversi ke rupiah sekitar Rp 60 ribu. Mahasiswa dikutip ongkos 80 baht atau sekitar Rp 25 ribu. "Museum ini tidak memungut ongkos terhadap pelajar di bawah 15 tahun, biarawan-biarawati, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas," kata Bongkoch Sanwong, Asisten Direktur Pengembangan MOCA. Perempuan yang tampang dan penampilannya tak banyak beda dengan eksekutif muda Jakarta ini menjadi pemandu rombongan wartawan untuk menjelaskan hal-ihwal museum.
Pada 23 Maret ini, MOCA genap berusia setahun. Upacara pembukaan museum berlangsung setahun lalu. Putri Kerajaan Thailand, Maha Chakri Sirindhorn, membuka peresmian ini. Menurut Bongkoch, museum dibangun untuk merakit kembali perjalanan seni kontemporer Thailand. MOCA dibangun dari duit seorang miliarder bernama Boonchai Bencharongkul.
Ia bos perusahaan raksasa telekomunikasi Thailand, Total Access Communication. Pada 2009, Boonchai menjadi orang terkaya di Thailand dengan kekayaan US$ 410 juta. Dia mengguyurkan duit 600 juta baht atau sekitar Rp 200 miliar untuk membangun museum ini. "Buat dia, uang segitu kecil. Dia orang kaya seperti Thaksin (Shinawatra, bekas Perdana Menteri Thailand)," ujar Vasu Thirasak, profesional muda warga Bangkok.
Bonchai Bencharongkul, 59 tahun, pada Oktober tahun lalu membuat heboh Thailand karena menikahi artis muda dan cantik, Tak Kongmalai, 27 tahun, yang punya nama populer Bongkot. MOCA merupakan museum pribadi terbesar dan pertama di Thailand yang mempunyai koleksi karya seni modern dan dibuka untuk umum. Bonchai membangun museum ini sebagai bentuk kecintaannya kepada Raja Thailand yang bertakhta sekarang, Raja Rama IX atau Bhumibol Adulyadej, 85 tahun.
Bongkoch Sanwong mengatakan museum juga didedikasikan untuk menghormati bapak seni modern Thailand, Profesor Silpa Bhirasri (1892-1962). Dia memainkan peran kunci dalam melakukan perubahan banyak aspek dalam karya seni di Thailand. Silpa punya nama asli Corrado Feroci. Dia pematung sekaligus pelukis berkebangsaan Italia yang selama 40 tahun bekerja untuk pemerintah Kerajaan Thailand.
Feroci kemudian menjadi warga negara Thailand. Dia memberi pelatihan membuat patung dan melukis di Praneet Silpa School. Belakangan tempat kursus ini berganti nama jadi Silpakorn University. Silpa dijuluki bapak seni kontemporer Thailand. Ia banyak melahirkan seniman besar Thailand. Untuk mengenang Silpa, di lantai dasar museum ini terdapat patungnya sedang berkarya membuat lukisan. "Itulah patung Silpa Bhirasri, bapak seni kontemporer Thailand," kata Bongkoch seraya menunjuk patung replika Silpa.
Feroci memulai perjalanan pertamanya ke Siam pada 27 Februari 1923. Dia meneken kontrak sebagai pematung kerajaan. Dia menjadi pematung resmi pemerintah Kerajaan Siam hingga 1930. Setelah tak lagi bekerja untuk kerajaan, ia mendirikan kursus seni, yang kelak menjadi cikal-bakal universitas bidang seni di Thailand. Nama Silpa diabadikan sebagai nama universitas. Januari 1944, ia mengubah kewarganegaraan menjadi warga Thailand. Ia diberi nama Silpa (artinya seni) Bhirasri. Silpa wafat pada 14 Mei 1962 akibat gagal jantung. Ia meninggal pada usia 69 tahun.
Di MOCA, setidaknya ada 400 karya seni dipajang, baik lukisan, patung, maupun instalasi. Koleksi paling banyak adalah karya seniman besar Thailand yang namanya telah mendunia, Thawan Dhucane. Ia murid Silpa. Setidaknya ada 100 karya Thawan sehingga mengambil porsi ruang museum paling banyak. Doktor di bidang metafisika dan estetika lulusan Amsterdam National College of Art di Belanda ini menjadi orang penting dan berpengaruh di bidang seni dunia karena pendekatan holistik dalam berkarya. Karyanya merangsang imajinasi dan emosi. Karya-karyanya membangkitkan interpretasi filosofi yang dalam.
Karya Thawan berukuran jumbo, 2 x 4 meter, berjudul Untitled sungguh magis. Lukisan yang menggunakan cat dominan merah-kuning emas di atas kanvas ini memancarkan efek seram. Wajah berkarakter perempuan yang lembut, tapi juga bisa bermata amarah seperti raksasa. Belitan ular kobra mengingatkan pada Nagin, siluman ular betina.
Di lantai empat museum, pengunjung disuguhi tiga lukisan kontemporer ukuran raksasa yang dipajang berjajar tiga. Lukisan ini karya Sompop Budtarad, Panya Vijinthanasarn, dan Prateep Kochabua. Mereka seniman besar Thailand. Ketiganya memberi tema lukisan itu The Three Kingdom. Ini semacam penggambaran surga, dunia semesta, dan neraka. Pada lukisan di tengah digambarkan manusia yang hidup di alam semesta.
Di sana ada wajah Barack Obama, Mao Zedong, Elvis Presley, dan Madonna serta segala hal tentang kenikmatan dunia. Dalam lukisan ini digambarkan sebaik-baik manusia di dunia adalah mereka yang mendekatkan diri pada Tuhan. Buah dari perbuatan di dunia ini bisa masuk surga. Pelukis menggambarkan surga layaknya lelaki yang dikelilingi banyak bidadari cantik. Sebaliknya, jika selama di dunia berbuat jahat, dia harus pergi ke neraka. Lukisan neraka penuh karakter seram dan jahat. "Jadi, silakan pilih, masuk surga atau neraka," ujar Beau, perempuan Bangkok yang ikut memandu kami menikmati MOCA.
Sunudyantoro (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo