ADA sebuah soal yang membuat Tjokorda Raka Sukawati berhari-hari tak nyenyak tidur: bagaimana membangun tiang-tiang penyangga tubuh jalan tol Cawang-Tanjungpriok, tanpa memacetkan arus lalu lintas. Raka Sukawati, salah satu eksekutif di PT Hutama Karya, memang tengah terlibat dengan urusan pembangunan jalan tol itu. Hutama Karya, perusahaan BUMN milik Departemen PU, adalah kontraktor yang menang tender untuk menangani pekerjaan konstruksinya. "Sebagai kontraktor, kami bisa saja bersikap masa bodoh dengan urusan lalu lintas," ujar Raka, 57 tahun, "tapi sebagai warga masyarakat pemakai jalan, saya tak mungkin bisa memasabodohkannya." Kala itu Hutama Karya memang hanya punya dua pilihan dalam teknik pembangunan tiang penyangganya. Keduanya dianggap kurang menguntungkan, baik dari segi teknis maupun biaya. Pilihan pertama, risikonya lalu lintas bisa macet berat. Pilihan kedua, mahal jatuhnya. Tiang penyangga tengah-lah yang dipikirkan Raka. Sesuai dengan rancangan yang telah disepakati, tiang ini berbentuk seperti huruf T. Batang vertikalnya (pier shaft) berbentuk oktagonal (segi enam), dengan garis tengah 4 meter. Pier shaft yang terbuat dari beton berangka besi itu berdiri tegak di tengah jalur hijau, diapit dua tubuh jalan. Tiang horisontal (pier head) hampir 22 meter lebarnya. Artinya, bentangan tubuh pier head ini hampir sama lebarnya dengan jalan by pass itu sendiri. Jika pier head itu dibangun secara konvensional -- dengan membuat "cetakan" yang ditahan batang-batang besi penyangga (bekesting) -- jalur lalu lintas akan terganggu. Bekesting itu akan malang-melintang di tengah Jalan, setidaknya selama satu bulan. Pilihan kedua adalah membuat bekesting gantung, seperti dilakukan untuk membuat jalan layang di Singapura. Untuk membuatnya, perlu batang-batang besi yang dipancang di seputar piershaft. Lantas cetakan pier head dan besi perancahnya itu digantungkan pada besi-besi pancang itu. Untuk merakit bekesting gantung ini diperlukan biaya ekstra Rp 160 juta per unit. Padahal, "Kami punya target menyelesaikan 20 buah sebulan," kata Raka, lulusan Teknik Sipil ITB 1962 ini. Artinya, untuk bekesting saja diperlukan investasi ekstra Rp 3,2 milyar "Terlalu mahal," pikir Raka. Bukan itu saja. Cetakan pier head yang 6 meter tingginya dari aspal itu harus pula disangga oleh pelat besi berkerangka yang tebalnya sampai 1,5 meter. Maka, jaral bekesting ke permukaan aspal tinggal 4, meter, hingga bis tingkat tak bisa lewat. Repot, bukan? Tak mengherankan Raka puyeng memikirkannya. Seperti biasanya, suatu hari di pertengahan 1987, untuk menghilangkan kepusingan, putra raja Ubud, Bali, itu bermain-main dengan mesin mobil Mercy 1974-nya. Di tengah keasyikan mengutak-utik mesin, tiba-tiba tubuh mobil bagian depan yang disangga dengan dongkrak itu bergeser, memutar, dengan tiang dongkrak sebagai sumbu. Dua roda belakang yang menyangga tubuh belakang mobil itu memang bertumpu pada ubin yang tergenang oli. Rupanya, gaya gesek antara ban dan lantai begitu kecil, sehingga mobil bisa bergerak hanya karena sentuhan ringan. Fenomena kecil itu serta-merta mengingatkan Raka pada masalah tiang penyangga tubuh jalan layang Cawang-Priok yang akan digarap. Dalam benaknya terbayang, dia bisa membuat pier head itu membujur, searah dengan jalan by pass, agar tak mengganggu lalu lintas. Lantas, setelah tubuh pier head beton itu kering, bisa diputar melintang. Ide yang muncul di garasi itu kini telah naik pangkat menjadi teknologi yang siap pakai. Raka berhasil membuat sebuah landasan putar, yang memungkinkan batang pier head seberat 488 ton itu berputar di atas kepala pier shaft. Teknik yang ditemukan Raka itu diberi nama "landasan putar bebas hambatan" (LPBH). Raka mengklaim bahwa teknik temuannya itu sama sekali baru dalam khazanah ilmu konstruksi. "Orisinil," kata Ir. Wiratman Wangsaatmaja, ahli konstruksi yang juga dosen luar biasa di ITB, membenarkan. Belum satu negara pun, atau perusahaan pun, di dunia ini yang pernah menggunakan teknik itu. Keunggulan LPBH, "Praktis aman, dan murah," kata Raka. Kini ayah satu anak, yang punya hobi ngebut dengan mobil Mercedes setengah baya, itu tengah menunggu hak patennya dari Departemen Kehakiman. Alat pemutar beton ratusan ton ciptaan Raka itu berupa dua buah piring besi, bergaris tengah 80 cm, yang saling menangkup (lihat gambar). Kedua piring itu bisa bebas berputar satu sama lain, lantaran di antara keduanya disekat dengan minyak pelumas. Piring bawah melekat pada kepala pier shaft. Sedangkan piring atas melekat pada perut pier head, dan sekaligus menjadi bantalan bagi beton 488 ton itu. Tentu saja sepasang piring besi itu harus kukuh betul. Raka memesan piringan itu dari PT Bakrie Tosanjaya, yang memiliki pabrik pengecoran besi di Bekasi. Piringan yang digunakan, menurut Ir. Azmi Sahupala, Direktur Pelaksana Bakrie Tosanjaya, adalah besi cor FCD-50. "Piring itu mampu menahan beban 625 ton," ujarnya. Pesanan Raka mulai dikerjakan oleh Bakrie sejak September tahun lalu. Serangkaian pengujian telah dilakukan oleh Azmi. Dalam uji coba di bengkel, besi dengan campuran karbon 3 persen itu mampu menahan beban tarik sebesar 5.000 kg per cm2. "Ditanggung tak bakal remuk oleh beban pier head itu," kata Azmi, alumni Teknik Industri ITB 1983 in. Kunci keunggulan LPBH itu ada pada sistem hidrolis dan rancangan karet penyekat (seal). Ketika tubuh pier head usai dicetak dan besketing selesai dilepas, beban batang beton itu telah bekerja penuh. Tebal lapisan minyak di antara keduanya sekitar 3 mm. Lapisan minyak itu tentu saja menerima tekanan besar lantaran digencet beton hampir 500 ton. Raka membuat seal karet dengan desain khusus untuk menahan agar minyak pelumas itu tak meluber keluar oleh tekanan beton pier head tadi. Bentuknya? "Wah, maaf, rahasia perusahaan," katanya sambil terkekeh. Harap maklum, Raka masih khawatir bentuk seal-nya dijiplak orang, sebelum hak patennya keluar. Ada sebuah saluran kecil untuk mengalirkan atau menyedot minyak dari piring besi itu. Pipa itu dihubungkan dengan pompa tangan hidrolis. Sistem aliran minyak pada landasan putar bebas hambatan (LPBH) itu boleh disetarakan dengan sistem pompa hidrolis pada dongkrak mobil. Selama pengecoran beton berlangsung, tentu saja beban beton yang ada berangsur meningkat. Seiring dengan penambahan beban itu, tekanan hidrolis atas minyak dalam sistem LPBH diperbesar, setahap demi setahap. Tekanan hidrolis pada cairan minyak itu memang senantiasa diupayakan bisa mengimbangi beban beton di atasnya. Di saat pier head rampung dicetak, dan bekesting telah dilepas, minyak dan piringan itu mulai menerima beban maksimum. Pada saat itu, tekanan terhadap cairan minyak yang tersekap dalam dua piring itu sudah cukup besar, sehingga beban beton di atasnya tak mampu mendesak keluar minyak itu lewat mulut pipa, yang bermuara di permukaan atas pier head. Tekanan dari beton dan pompa pada keadaan seimbang. Ketika batang pier head hendak diputar, jumlah minyak yang mengisi ruang di antara dua piring besi itu ditambah. Maka, jarak antara kcdua piring membesar, dari 3 mm menjadi 5 mm. Artinya, tubuh beton pier head itu diangkat setinggi 2 mm dengan sistem pompa tangan itu. Penambahan minyak itu dimaksudkan agar diperoleh gesekan yang minimum. Pekerjaan berikutnya adalah memutar batang pier head 90 derajat, agar posisinya melintang terhadap tubuh jalan. Untuk memutar beton -- panjang 22 meter, lebar 9 meter, dengan tebal 2,3 meter (bagian tengah) dan sekitar 1,7 meter di bagian tepi tak perlu bantuan alat berat. "Peragawati pun bisa memutarnya," tutur Raka, menggambarkan betapa ringannya pemutaran itu. Setelah posisi pier head itu pas, piring hidrolis itu "dimatikan". Minyak yang menjadi media pelicin itu dipompa keluar, sampai akhirnya kedua piring itu bersinggungan. Pada posisi demikian, batang pier head sudah sulit digeser. Tapi, masih ada kemungkinan batang beton itu "lari" dari posisi semula. Maka, pier head itu "dipaku" dengan delapan buah batang baja bergaris tengah 3,6 cm. Batang besi itu dimasukkan lewat permukaan pier head melalui lubang yang telah disediakan, lantas menembus tubuh pier shaft hingga beberapa meter dalamnya. Di ujung lubang itu terdapat mur yang bisa mengikat batang besi itu. Raka menjamin bahwa ikatan itu cukup mampu melawan tekanan putar berkekuatan 16 ton per cm2. Keandalan teknik LPBH sudah dicoba. Di bekas taman sekitar jembatan layang Jatinegara, Raka memasang piring putar itu pada sebuah fondasi beton. Lantas piring hidrolis itu dibebani dengan beton sebesar 120 ton. Ternyata, batang beton besar itu leluasa berputar cukup dengan tenaga satu orang. Sebetulnya, "Idealnya, percobaannya dalam skala satu banding satu," ujar Wiratman Dirut PT Wiratman & Assosiates Consulting Engineers, yang menjadi konsultan proyek jalan tol sepanjang 15,65 km itu. Kendati begitu, "Secara teknis, metode LPBH itu bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya. Soal putar-memutar beton itu sebetulnya sudah ada pendahulunya, di Swedia. Di negeri itu, orang memutar batang beton ratusan kilo dengan menggunakan bahan plastik teflon sebagai pelicin. Tapi pelaksanaannya tak mudah. Landasan teflon yang diperlukan untuk memutarbeton hampir 500 ton itu paling bergaris tengah 18 meter. Permukaan teflon tentu saja tak selicin minyak oli. Selain tak praktis, untuk menyediakan teflon sebesar itu diperlukan dana Rp 4,8 juta. Lebih mahal dibanding harga LPBH-80 cm, yang seperti dikatakan oleh Azmi Sahupala dari Bakrie Tosanjaya, "Harga setiap unitnya tak lebih dari Rp 1,2 juta. Jalan tol Cawang-Priok mempunyai panjang ruas 15,65 km. Dua belas kilometer di antaranya merupakan jalan layang. Jarak antara satu tiang penyangga dan tiang yang lain 30 meter. Lantas setiap dua tiang itu dihubungkan dengan 10 buah gelagar beton, yang tingginya 1,85 meter dan lebarnya 0,8 meter. Kelak, tubuh jalan akan berbaring di atas gelagar-gelagar itu. Proyek ini itu menelan biaya sekitar Rp 300 milyar. Nantinya, jalan tol ini akan dikelola oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Hutama Karya termasuk salah satu pemilik saham di CMNP. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini