Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggusur tanah bayangan

Puluhan warga jelambar, jak-bar, mengadu ke pemda. pengadilan mengeksekusi tanahnya atas nama gunawan setiadi, 52, padahal mereka memiliki sertifikat ibm. ma memerintahkan penghentian eksekusi.

9 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 200 kepala keluarga yang menempati 44 hektar tanah di bilangan Jelambar, Jakarta Barat, sampai pekan ini kebingungan. Sebab, tanpa pernah merasa bersengketa, tiba-tiba mereka pertengahan bulan lalu didatangi petugas pengadilan yang hendak mengeksekusi tanah yang mereka diami. Rupanya, tanpa mereka ketahui, tanah di kawasan itu sudah diputuskan pengadilan sebagai milik Gunawan Kurniadi. Padahal, selain telah bertahun-tahun di situ, sebagian besar penduduk itu sudah memiliki sertifikat tanah dan IMB. Eksekusi itu memang bisa terhenti setelah petugas berhasil memagar sekitar 10 hektar tanah milik 50 warga di situ, dengan seng -- berkat protes warga. Selain memprotes, warga juga mengadu ke DPRD, Wali Kota, dan Gubernur DKI. Apalagi aparat keamanan yang mengawal eksekusi itu belakangan ditarik Kapolda. Namun, sampai pekan lalu warga di situ masih waswas, karena pengadilan masih menganggap tanah itu bukan milik mereka. Menurut Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Sorta Edwin Simanjuntak, eksekusi itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung, Desember 1985. Dalam putusan itu, Gunawan Kurniadi dinyatakan sebagai pihak yang menang bersengketa dengan Moch. Bahtiar atas tanah seluas 14 hektar di wilayah itu. Selain itu, sesuai dengan penetapan Pengladilan Negeri Jakarta Pusat Juli 1979, Gunawan dinyatakan sebagai pemilik tanah seluas 44 hektar, termasuk tanah 14 hektar yang tersangkut perkara dengan Bahtiar. Pada November 1984, areal itu juga sudah dikenai sita jaminan. Karena itu, kata Sorta, pengadilan melakukan eksekusi atas tanah seluas 44 hektar itu. "Demi kepastian hukum hingga orang benar-benar terjamin bila memiliki sesuatu," ujar Sorta Edwin. Ternyata, penduduk di areal tersebut memprotes eksekusi pengadilan. "Kami sama sekali tak tahu-menahu perkara tanah itu, apalagi rencana eksekusinya," kata H. Husni Rustam, pensiunan karyawan BNI 1946, yang memiliki tanah seluas 476 m2 di situ. Selain itu, para warga juga khawatir eksekusi nantinya melebar tak keruan, mungkin bisa meliputi areal seluas 86 hektar. Sebab, tanah yang akan dieksekusi tak jelas batas-batasnya. Padahal, "tanah kami sah dan jelas batas-batasnya," ujar Husni Rustam. Karena itu, penduduk setempat segera membentuk tim sepuluh, yang diketuai Husni Rustam, guna menangkal eksekusi itu. Mereka juga membawa kasus itu ke Wali Kota Jakarta Barat, Gubernur DKI Jakarta, DPRD, serta ke Kotak Pos 5000. Di samping itu, mereka sedang mempersiapkan upaya bantahan (verzet) atas eksekusi tersebut. Protes itu agaknya disambut baik oleh Pemda serta DPRD Jakarta. "Kami menjunjung tinggi putusan pengadilan. Namun, kami juga harus melindungi hak rakyat," kata Wali Kota Jakarta Barat Sudjoko Tirtowidjojo, yang merencanakan tanahJelambar itu hanya untuk permukiman biasa, bukan untuk real estate. Gubernur Wiyogo Atmodarminto juga mendukung kebijaksanaan bawahannya itu. "Tanah mana yang sebetulnya menjadi bagian Gunawan Kurmadi memang masih samar. Karena itu, Pemda akan memberikan data kongkretnya guna dipertimbangkan pengadilan," kata Wiyogo. Menurut Ketua Tim Perkaplingan Jelambar, H. Zaenuddin, areal itu semula tanah eigendom, beralaskan hak Barat. Pada tahun 1954, pemiliknya, Kong Kuan, menyerahkan tanah seluas sekitar 400 hektar kepada negara, sehingga menjadi milik negara. Sekitar 45 hektar lainnya diberikan Kong Kuan untuk lokasi permakaman Tionghoa. Pada April 1979, Gunawan Kurniadi memperoleh penyerahan hak atas seluas 30 hektar, yang berasal dari tanah untuk permakaman Tionghoa tadi. Tanah itu didapatnya dari Ali Abdul Salam, yang memperoleh hak garap dari camat Grogol Petamburan dan panitia permakaman Tionghoa. Tapi rupanya sebagian tanah itu, seluas 14 hektar, dikuasai Moch. Bahtiar. Sekitar tahun 1981, Gunawan menggugat Moch. Bahtiar. Sebab, kendati Gunawan telah membayar ganti rugi Rp 200 juta, tanah itu kembali diserobot Bahtiar. Hingga tingkat kasasi, Gunawan memenangkan sengketa ini. Persoalan muncul ketika putusan itu hendak dieksekusi. Itu karena tanah 30 hektar yang diklaim Gunawan tadi belakangan luasnya terus membengkak. Semula hanya satu bidang, kemudian menjadi tiga bidang, hingga meliputi sekitar 33 hektar. Bahkan dalam penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanah itu menjadi 44 hektar. Tanah seluas itu sejak Januari 1986 telah dialihkan Gunawan ke PT Loka Guna Sarana (LGS) -- ia menjabat komisaris di PT itu. Di situ PT LGS akan membangun real estate. Padahal, di atas tanah seluas 44 hektar itu, selain masih ada tanah-tanah kosong yang sempat dieksekusi, kini telah berdiri perumahan penduduk, kompleks BNI 1946, perumahan PPD, dan bahkan pertokoan. Ketua Pengadilan-Negeri Jakarta Barat Sorta Edwin Simanjuntak tetap beranggapan bahwa tanah itu sebenarnya milik Gunawan. Sewaktu tanah itu dieksekusi sebagai sita jaminan, katanya, keadaannya masih kosong. Baru setelah itu berdiri berbagai jenis bangunan. "Seharusnya, selama perkara berjalan, obyek dibiarkan status quo," ujar Sorta. Sebab itu, Sorta menyayangkan protes warga atas eksekusi itu. "Kalau memang mereka dirugikan dan merasa punya hak atas tanah itu, ya, ajukan saja bantahan eksekusinya. Bukannya menghalang-halangi eksekusi," kata Sorta, yang membenarkan eksekusi itu terpaksa dihentikan. "Tanpa bantuan apara keamanan, bagaimana mungkin bisa mengeksekusi?" sambungnya. Sementara itu, Gunawan Kurniadi hingga pekan ini belum diketahui berada di mana Setelah kericuhan eksekusi, lelaki berusia sekitar 52 tahun itu tampaknya menghindar "Dia sering berpindah dari hotel ke hotel. Sudah dicari, tapi tak ketemu. Mungkin dia ketakutan," kata Yance, dari PT (LGS). Pihak LGS sedianya tetap akan mengupayakan eksekusi atas tanah-tanah kosong di lokasi itu. Warga yang terkena eksekusi. kata Direktur Pemasaran LGS, Solihin, bisa saja tak digusur asalkan membayar ganti rugi sekitar Rp 30 ribu per m2. Harga tanah di situ kini sekitar Rp 120 ribu per m2. Tapi tentu tak segampang itu LGS membujuk warga. Pihak pengadilan pun sampai saat ini masih menunggu petunjuk Mahkamah Agung untuk meneruskan eksekusinya Menurut sumber TEMPO di Mahkamah Agung, untuk sementara eksekusi memang dihentikan. "Bagaimanapun juga, keputusan tetap akan dilaksanakan," kata sumber itu. Happy S., Linda Djalil (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus