BALI adalah sebuah mantra. Dan ketika mantra itu digoyang untuk menciptakan yang disebut Pesta Kesenian Bali minggu pertama Juni lalu, kemeriahan pun melimpah ruah dari lapangan Puputan Badung. Mengawali rangkaian acara pertunjukan kesenian Bali selama sebulan penuh itu, kontingen kesenian dari 8 kabupaten se-Provinsi Bali berpawai menampilkan berbagai keterampilan dalam warna dan gaya, manaburkan gemerincing Adi Merdangga (marching band khas Bali) sepanjang jalanan Denpasar. Tari Topeng, Barong, Rangda, Kecak, dan Baris Tombak melintasi jalanan utama Denpasar sepanjang 1,5 km. Bahkan jajan cacal (sesaji berbentuk hiasan), yang biasanya dipakai dalam upacara agama, turut diarak. Pada malam pertama, di pentas Wantilan Werdi Budaya Abian Kapas ditampilkan sendratari kisah Bhomantaka garapan Akademi Seni Tari Indonesia, Denpasar. Penonton membludak. Turis lokal, turis bermata biru atau sipit, sibuk ikut bersorak, dan kemudian jepret-jepret, bikin foto kenangan. Dan tak usah malu-malu untuk mengakui bahwa Pesta ini memang, antara lain, buat meningkatkan turisme di Bali. Maka, seorang seniman dan budayawan seperti Dr. Made Bandem, ketua Akademi Seni Tari itu, menyayangkan bahwa Pesta Kesenian Bali Kesepuluh ini seolah sekadar memutar rekaman pesta-pesta yang lalu. "Perlu ada terobosan. Pengulangan berarti kemunduran," katanya. Bagi penonton, sebagian besar orang Bali sendiri, mungkin pendapat sang budayawan tidak penting. Mereka tetap bersorak, mengikuti dengan antusias gemerlapnya pakaian para penari, ingarnya tetabuhan, serta gagah dan cantiknya para penari berkiprah. Cita rasa memang berbeda-beda. Dan ini memang sebuah pesta. Terobosan, kreativitas, karya empu, adalah soal lain. Burhan Piliang, Joko Daryanto, I N. Wedja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini