BANYAK mobil yang pekan lalu sempat memasuki arena Pekan Raya
Jakarta, mendapat tambahan sticker promosi salah satu produk,
entah itu televisi, kipas angin atau perangkat Hi-Fi. Upaya
promosi para peserta pameran Electroni '82 di sana memang
hebat. Di hampir semua stand para petugas tak hentinya
mendemonstrasikan kehebatan dan kemampuan berbagai peralatan.
Alat pengisap debu, kotak es mini, mesin cuci, alat perajang
dan peremuk bahan makanan, komputer ataupun mesin fotokopi. Yang
tak sabar menanti berbagai keterangan itu, cukup minta brosur,
daftar harga dan daftar kredit, yang disebarkan setiap stand
kepada tangan yang terulurkan.
Yang tampak merajai pameran barang elektronika itu tak ayal lagi
ialah pesawat televisi berwarna. Tak kurang 9 penyalur
menyajikan pesawat televisi berwarna bermacam ukuran dan model.
Menumpuk, bersusun, melintang atau tersendiri, tak satu pun di
antaranya yang tak menampilkan citra di layarnya. Acara resmi
TVRI, maupun film video, semua dalam tatawarna yang indah
cemerlang. Tak satu pun pesawat tv hitam putih tampak di
antaranya.
Semua penampilan itu tentu saja amat merangsang mata dan
telinga. Di atas bentangan karpet di muka tumpuk an pesawat
televisi sejumlah bocah kecil tekun mengikuti petualangan Tom
dan Jerry. Di tempat lain puluhan remaja terpukau kedahsyatan
pendekar silat dari Taiwan atau pahlawan marinir Amerika Serikat
yang menaklukkan tentara Jepang yang kerdil. Sementara para oom
leluasa menyaksikan grup disko dari Jerman Barat lengkap dengan
cewek yang menggiurkan dan tante terhibur oleh film pernikahan
Charles yang menggiring Di yang tersenyum menawan.
Stand Sony yang menyajikan film perkawinan Charles itu juga
punya hiburan lain. Sebuah layar videoscreel/berukuran diagonal
6 feet (180 cm) memantulkan sorotan citra yang terdapat di layar
televisi biasa. Yang menarik tanpa sadar penonton yang
menyaksikan citra di layar itu tiba-tiba menemukan gambar
dirinya atau anaknya. Ternyata seorang petugas tanpa hentinya
mengarahkan kamera sistem CCTV (Closed Circuit Television)
kepada suasana pameran, mengutamakan cewek cakep tentunya.
Di tengah hiruk-pikuk pameran itu tampak tak banyak dikunjungi
orang, sebuah meja dekat pintu masuk. Di situ diperagakan
beberapa jam meja elektronik. Jam ini.erhiaskan gambar masjid
dan memang ternyata ia khusus untuk memberitahukan saat salat
masuk. Melalui speaker kecil setiap masuk waktu salat,
berkumandang azan yang direkam pada kaset. Pada layar kecil
tampak waktu dalam bentuk angka (digital), dan. waktu salat bisa
diprogram sesuai waktu yang berlaku. Sayangnya lagu azan yang
dikumandangkan produksi Jepang itu agak janggal di telinga. Tapi
menurut penjualnya, lagu azan itu bisa digantikan dengan yang
lebih nyaman di telinga orang Indonesia. Kasetnya serupa dengan
kaset lagu biasa hanya jalan pitanya berlainan.
Satu stand yang juga tampak sepi menampilkan produksi nasional
yang bukan memamerkan alat elektronika, melainkan mebel. lpa
kebijaksanaan menghadirkan industri mebel di tengah fair itu tak
jelas. Produksi benda listrik dalam negeri juga muncul dalam
bentuk aneka ragam lampu hias, gantung maupun berdiri. Yang
menarik justru produk seorang wanita asal Argentina. Ia membuat
kap lampu yang sangat artistik, menggunakan isain dari bunga
dan daun yang dipres.
Organ Mini
Sudah tentu sebagian terbesar perangkat elektronika diproduksi
di dalam -negeri, paling tidak dalam bentuk perakitan. Ini
terutama untuk produk seperti televisi. Tak diduga bahwa juga
organ Yamaha yang cukup terkenal sudah diproduksi di dalam
negeri, bahkan enam model sudah diproduksi, meski sifatnya
perakitan. Yamaha juga menampilkan produknya yang terbaru yang
masih diimpor. Yaitu perangkat organ mini. Organ mini ini tak
kalah kemampuannya dengan organ besar. Perkembangan pengecilan
itu, menurut Haryono, ahli teknik Yamaha, dimungkinkan karena
digunakan komponen IC (Integrated Circuit), lC ini mencakup satu
auu beberapa lingkaran elektronis pada sebidang teramat kecil.
Mini organ juga umpil di stand Casio yang menjangkau dunia musik
melalui berbagai jenis Casiotone. Tapi bukan itu rupanya yang
membuat stand itu penuh sesak. Kebanyakan pengunjung berjejal di
muka, tempat peragaan puluhan jenis kalkulator dan jam digital
yang beraneka ragam kemampuannya. Keadaan serupa ditemukan di
stand Sharp, di mana orang desak-mendesak menyaksikan produk
kalkulator yang terbaru.
Dan Sharp memanfaatkan betul pameran ini--seperti halnya
produsen dan penyalur lainnya--untuk mempromosikan produk mereka
yang terbaru. Misalnya Sharp menampilkan kalkulator yang bisa
menyimpan dan mencetak kata. Ini diprogram dengan serangkaian
tombol mirip mesin IBM. Kalau perlu memo pendek --atau panjang
-- bisa ditulis dengan alat ini yang tak lebih besar dari kotak
pensil anak sekolah. Kenyamanan lain ditemukan pada sebuah
kalkulator kecil yang mampu menjumlah, mengali, membagi dan
mengurangi. Tentu saja.
Tapi seluruh proses kalkulasi itu tersimpan dan bisa diulangi
tahap demi tahap. Ini memungkinkan meninjau kembali proses
kalkulasi itu tadi dan mengadakan perubahan atau koreksi jika
perlu.
Meski kedua stand itu selalu penuh sesak, sebuah stand kecil
lebih penuh lagi terutama oleh para remaja. Stand itu
diselenggarakan oleh Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI),
organisasi yang menghimpun para penggemar CB (Citien Band
Tranceiver). Alat komunikasi "swasta" ini di Indonesia diberi
julukan resmi KRAP (Komunikasi Radio Antar Penduduk). Apa yang
menarik banyak orang agaknya penggunaannya dan persyaratannya
yang sangat mudah. Beli perangkat KRAP dengan mike-nya, pasang
antena, bayar kewajiban pada Telekom dan RAPI, dan boleh
langsung mengudara, bergabung dengan ribuan KRAP lainnya di
negeri ini, anpa banyak cing-cong seperti ujian atau memahami
teknik elektronika.
Harganya? Beli dua perangkat masih jauh lebih murah timbang
pasang telepon," komentar seorang calon pengemar. "Apalagi tak
perlu antre ." Harganya memang relatif murah. Tak sampai Rp 300
ribu dan sudah bisa mengudara. Asal jangan beli perangkat
bikinan luar negeri. Bea impor yang dikenakan melipatkan
harganya sampai dua kali dan memasukkannya dalam koper tak lagi
boleh. Setidaknya tak diberi izin mengudara. Seperti ditandaskan
Kol. Harsono,
Ketua RAPI, "Setiap pendaftar harus bisa menunjukkan asal usul
pera-ngkatnya." Zaman pemutihan perangkat "gelap" itu sudah
lampau.
Itu sebabnya kini pemerintah merangsang produsen nasional untuk
memproduksi perangkat KRAP itu. Dan hasilnya pertama kali
diperkenalkan dalam pameran elektronika pekan lalu itu. Dua
perusahaan nasional tampil memelopori produksi perangkat KRAP
di dalam negeri. PT Dipta Aries Komunika dan PT Rico. "Bukan
berarti kami memonopoli produksi itu," ujar Anthoni Huraj,
Direktur PT Aries. Bidang produksi itu terbuka bagi setiap
pengusaha dalam negeri. "Impor (perangkat KRAP) sebetulnya
dilarang," ujar Harsono. Karena itu "RAPI mengadakan kerjasama
dengan sektor swasta yang bisa memenuhi kebutuhan RAPI kelak."
Mengatasi Kekaburan
PT Rico tampil dengan dua model. Ricom MK I dan Ricom MK Il,
yang terakhir dengan modulasi SSB (Single Side Band). Ini
memberi keuntungan terutama jika jalur frekuensi yang dipakai
sedang ramai. Tapi di Indonesia penyediaan jalur cukup banyak,
sampai 40 cbannel. "Ini jauh lebih banyak dari pada yang
disediakan di banyak negeri lain," ujar Anthoni.
Mungkin itu sebabnya produksi pertama PT Aries berupa Super 40,
bermodulasi AM-DSB (Double Side land).
Model ini lebih ditekankan pada kestabilan frekuensi. Ini
dicapai dengan Digital Phase Locked Loop Synthesizer Circuit
yang mengontrol ketepatan frekuensi. "Ini penting," ujar
Anthoni. Ia menjelaskan bahwa kebanyakan pemakai KRAP menaikkan
power perangkat mereka dengan mengunakan booster. misalnya,
untuk mengatasi kekaburan yang terjadi akibat bergesernya
frekuensi. "Padahal power untuk perangkar KRAP tak boleh
melebihi 4 watt."
Beberapa keunggulan lain menandakan Super 40 itu, antara lain
terdapat lampu indikator yang memungkinkan mengontrol kekuatan
isyarat pemancaran. Yang agaknya penting dalam disain nasional
ini ialah ketahanannya rerhadap suhu. Semakin tinggi suhu
semakin berkurang kemampuan perangkat KRAP. "Saya pernah
mengujinya sampai suhu 45 derajat," tutur Ris,lulusan Sekolah
Tinggi Teknik di Jakarta yang turut mendisain Super 40 itu.
"Nyatanya tetap baik performance-nya:" Di bagian lain, Trenggono
yang membantu promosi perangkat PT Rico mengataian: "Entah
karena masih baru, suaranya tetap bersih." Mahasiswa ekonomi ini
tertarik pada bidang KRAP karena memungkinkan meluaskan
pergaulan. Sejak 1979 ia punya perangkat KRP dengan callsign
JZ09CFQ atau Juliet Zulu Kosong Sembilan Charlie Foxtrot
Bravo. CQ, CQ, CQ!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini