PENCIPTA lagu Rinto Harahap bercerita. Suatu hari ia menjumpai
dan menuntut Victor Wood, penyanyi Filipina, yang menyanyikan
banyali lagu ciptaannya. Rinto cuma menuntut keadilan. Karena
ketika pencipta Jangan Kau Sakiti Hatinya itu 'ngamen di salah
sebuah klub malam di Manila dan membawakan salah sebuah lagu
berbahasa Tagalog, honor yang diterimanya dipotong untuk
membayar si pencipta lagu.
Ternyata, begitu cerita Rinto Harahap, Victor Wood bukannya mau
main bajak lagu orang. Tapi sebuah lembaga yang mengurusi hak
cipta di Filipina, tidak tahu kepada siapa harus membayar bila
penyanyi mereka membawakan lagu-lagu Indonesia.Sama halnya
dengan lembaga yang sama di Jepang yang mengumpulkan royalti
lagu Bengawan Solo.
Menurut Rinto, lembaga hak cipta di Jepang telah mengumpulkan
royalti Bengawan Solo, jumlahnya tak sedikit: sekitar Rp 2,5
milyar. Soalnya lembaga hak cipta menarik keuntungan bagi si
pencipta yang lagunya tersebut hampir setiap malam dinyanyikan
di hampir setiap klub malam.
Gesang, pencipta Bengaqan Solo, menurut Rinto, setelah
diberitahu tentang "harta karunnya" yang tersimpan di Jepang
langsung mengklaim lembaga hak cipta Jepang. Tapi gagal. Sebuah
lembaga yang dituntut meminta Gesang membuktikan dirinya sebagai
pencipta Bengawan Solo. Hal itu, menurut Rinto, tak dapat
dilakukan Gesang tanpa bantuan lembaga yang sama di Indonesia.
Ada kemungkinan lembaga hak cipta --atau badan lain yang
sejenis--akan terbentuk di sini. Sebab awal bulan lalu
pemerintah telah mengajukan rancangan undang-undang (RUU)
tentang Hak Cipta ke DPR. Menurut Menteri Kehakiman Ali Said,
yang menyampaikan keterangan pemerintah di DPR 23 Januari lalu,
penyusunan undang-undang tersebut merupakan prakarsa pemerintah
dan organisasi nonpemerintah.
Dalam kesempatan itu Ali Said menunjukkan perbedaan antara RUU
dengan undang-undang lama. Auteurwet, yang sudah berumur 70
tahun. Perbedaan yang penting tentu saja dengan masuknya
macam-macam ciptaan berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi
ke dalam undang-undang tersebut. Misalnya karya sinematografi
dan fotografi.
UU Paten
Perbedaan penting lain, menurut Ali Said, undang-undang baru
tersebut lebih mengayomi kepentingan individu maupun masyarakat.
Meskipun hak cipta merupakan "hak khusus", menurut Menteri
Kehakiman, "hak cipta mempunyai fungsi sosial dalam arti ia
dapat dibatasi untuk kepentingan umum."
Bentuk pembatasannya macam-macam. Misalnya tentang masa berlaku
hak cipta. Auteurwet menentukan bahwa hak cipta masih berlaku
selama 50 tahun setelah penciptanya mati. Sedangkan RUU
menentukan hanya 25 tahun. Bila dianggap perlu, melalui
keputusan presiden, negara dapat mengambil-alih hak cipta
seseorang, dengan membayar gantirugi.
RUU Hak Cipta tersebut merupakan bagian terakhir dari usaha
penyusunan yang sudah dimulai sejak 1958. Dalam beberapa hal RUU
tersebut tak beranjak dari pokok-pokok pembicaraan para ahli
dalam sebuah pertemuan ilmiah di Fak. Hukum Udayana (Denpasar)
sekitar 7 tahun yang lalu.
Misalnya tentang ketentuan pidana. Sebuah pasal (pasal 45)
menyatakan bahwa pelanggaran hak cipta (yang disebut
"kejahatan") "tidak dapat dituntut kecuali atas aduan pemegang
hak cipta". Banyak ahli yang berpendapat, sebaiknya kasus
pelanggaran hak cipta termasuk delik pidana biasa, yang dapat
diperkarakan yang berwajib tanpa menunggu pengaduan si pencipta.
Ketua Umum Ikapi (organisasi penerbit), Rachmad M. Adi Subrata,
juga berpendapat demikian. Sebab banyak pembajak yang beroperasi
jauh dari jangkauan mata penerbit. Tapi sebaai delik pidana
biasa pun, menurut Rachmad, pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta
memerlukan sesuatu: "Kita harus teriak 'maling!' keras-keras
agar didengar telinga penegak hukum." Kalau tak begitu,
tentunya, kesibukan penegak hukum tak mudah terganggu oleh
kegiatan bajak-membajak.
Seorang dosen hukum dagang dari Fak. Hukum UI, T. Mulya Lubis,
lebih mengharapkan lahirnya UU Paten. Hal itu dia hubungkan
dengan mengalirnya teknologi dan merek dagang ke mari. Bahkan
kelahiran UU Hak Cipta dikhawatirkannya akan merupakan
"bumerang": menghambat masuknya karya cipta dari luar negeri.
Apalagi, katanya, bila kemudian undang-undang tersebut
mengaitkan diri dengan konvensi internasional.
Namun, menurut Menteri Kehakiman Ali Said, telah cukup banyak
hal yang mendorong pemerintah segera mengajukan RUU Hak Cipta ke
DPR. Antara lain, katanya, "sering terdapat pelanggaran hak
cipta, khususnya terhadap pencipta lagu yang belum mendapat
perlindungan hukum."
Entah sudah berapa ratus kali terjadi sidang pengadilan mengenai
pembajakan lagu. Pembuktian mengenai pelanggaran hak cipta tak
mudah dilakukan tanpa Undang-Undang Hak Cipta. Kebanyakan
pengacara "bermain" di sekitar pasal persaingan dagang secara
curang untuk menyeret si pembajak ke muka hakim. Kasus Si Unyil,
salah satu contohnya (libat box).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini