GAGASAN Menteri Bustanil Arifin untuk mengimpor janin sapi perah diperbincangkan. Serangkaian seminar mengenai "embrio-transfer" itu diadakan Balai Penelitian Ternak Ciawi di Bogor dan Fakultas Kedokteran Hewanl(FlKH) IPB, sampai Januari lalu. "Teknologi embrio-transfer mirip bayi tabung," tutur drh. Sabdi Hasan, dosen FKH IPB. Malah lebih rumit. Pada 1890 di Cambridge, menurut Sabdi, Walter Heape sengaja mengambil telur yang sudah dibuahi dari rahim, uterus, kelinci Angora. Orang Inggris itu lalu memindahkannya ke rahim kelinci Belgia yang baru dikawinkan. Ternyata, dari cara itu lahir kelinci Angora murni, di samping kelinci Belgia. Penemuan Heape menjadi dasar teknik pemindahan embrio - cara reproduksi ternak yang lebih maju dibanding kawin alam dan inseminasi buatan. Ternak betina yang terseleksi sebagai donor dan penerima sama-sama disuntik dengan Prostaglandin F2 alfa, untuk menyerentakkan berahi. Donor juga disuntik dengan serum yang diambil dari kuda bunting (PMSG) atau hormon reproduksi (FSH) untuk superovulasi - meningkatkan jumlah telur yang dilontarkan. Dalam keadaan normal, sapi betina hanya melontarkan satu telur. "Dengan superovulasi, bisa mencapai sepuluh telur," ujar Sabdn. Donor lalu dikawinkan dengan pejantan unggul. Biasanya dengan inseminasi buatan. Sekitar empat sampai delapan hari setelah sel telur bertemu dengan sperma, larutan media disemprotkan ke rahim. Dengan kateter, bakal embrio yang biasanya tersusun 16-32 sel, yang disebut blastosis, dikeluarkan bersama dengan larutan media. Setelah diseleksi dengan mikroskop, bakal embrio dimasukkan ke rahim ternak penerima, yang kondisi rahimnya sama dengan donor. Ternak penerima pun bunting. Sementara itu, donor siap menyumbangkan telurnya lagi. Terkadang, bakal embrio yang diambil tidak langsung dipakai. Melainkan disimpan dulu. Bila demikian, larutan media organik (DMSO) atau kultur jaringan (TCM-199) harus ditambah dengan hormon yang sesuai dengan ternaknya. Juga dekstrosa sebagai makanan, dan atitibiotik. Lalu disimpan dalam keadaan beku sampai saat digunakan lagi. "Untuk mengambil embrio ternak kecil, harus dibedah," tutur Sabdi. Sepulang dari Cambridge, di IPB Sabdi membedah enam ekor kambing yang ditelitinya. Dia kecewa karena tak menemukan bakal embrio. "Mungkin jumlah kambingnya terlalu sedikit," kata Sabdi. Namun, dia juga meragukan kerja hormon yang dipakainya untuk superovulasi. Dosen itu pun berniat mengulangi, "agar tidak ketinggalan dengan negara lain." Keuntungan yang pasti dari cara embrio transfer: tak perlu impor sapi. Sapi betina unggul dapat terus-menerus menghasilkan keturunan unggul tanpa harus bunting. Generasi ternak unggul juga akan lebil cepat tercapai, lantaran tak ada persilangan dengan ternak lokal, seperti pada inseminasi buatan. Kemungkina memilih jenis kelamin anak, menurut Sabdi, lebih terbuka. Yakni dengan pengamatan DNA, tatkala embrio diperiksa. "Teknik clon juga dapat dikembangkan dengan embrio-transfer ini," tutur Dr. I. Putu Kompiang, peneliti senior di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Kini, pihaknya terus mempelajari kemungkinan pengembanpan embrio-transfer di Indonesia. "Namun, kami belum mengadakan penelitian," katanya lagi. Yang jelas, dengan harga Rp 3 juta per embrio dan Rp 10 juta per bulan biaya kursus, teknik yang secara komersial baru diterapkan di Amerika itu terlalu mahal. Apalagi inseminasi buatan di Indonesia belum mantap. "Kalau ilmu untuk ilmu, bolehlah," komentar Putu Kompiang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini