Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Dosen dan peneliti dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), James Nobelia Isnania Wardhana, merancang sebuah teknologi filter aktif untuk menyaring air tanah. Inovasi penyaring air ini dibuat untuk membantu warga Desa Guwa Lor di Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga sebelumnya telah menemukan sumber air baru dengan alat pendeteksi mata air. Setelah melewati filter, air yang disedot dari tanah akan disaring. Air yang semula mengandung besi, terasa asin, bahkan bau, menjadi bersih dan layak minum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program penyediaan air bersih berbasis komunal itu merupakan bantuan untuk warga yang disokong oleh Rumah Amal Salman dan YBM Brilian. Masyarakat lokal itu memanfaatkan sumber air dangkal, dengan mengadaptasi program Water, Sanitation, and Hygiene (WASH).
Pengurus Rumah Amal Salman ITB, Mipi Ananta Kusuma, mengatakan air yang melewati filterisasi aktif akan ditampung oleh dua tangki berkapasitas total 80 meter kubik. “Selanjutnya air bersih didistribusikan ke rumah warga,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Kamis 21 November 2024.
Warga Desa Guwa Lor mendistribusikan air lewat pipa untuk menjaga kadar dan kebersihannya. Pada tahap awal, bantuan air bersih ini menghabiskan dana sebesar Rp 600 juta. Air hasil sulingan dialirkan ke 350 rumah yang dihuni total 1.600 orang. Rumah-rumah yang dialiri air masih dalam radius 500 meter dari titik pusat instalasi air bersih.
Mipi memperkirakan bantuan air bersih yang mulai digarap baru-baru ini akan rampung empat bulan lagi. Pengguna air bakal membayar iuran untuk kebutuhan perawatan. sekaligus pendanaan untuk penerapan program serupa di sekitarnya.
Salah satu warga Desa Guwa Lor, Syafrudin, mengatakan mayoritas masyarakat di wilayah tempat tinggalnya bekerja sebagai petani. Selama puluhan tahun, mereka menghadapi masalah akses air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Selain keruh, kandungan besi dalam air melampaui ambang batas. sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
“Kami mengalami kesulitan air bersih selama 70 tahun, kurang lebih sejak desa ini berdiri,” ucap Syafrudin.