JALAN paling "mewah" di Indonesia, kini, mungkin di Sulawesi Selatan - terbentang sepanjang 18 km antara Soroako, Wawondula, dan Wasuponda. Jalan itu dilapisi slag, bahan buangan pengolahan nikel dari pabrik International Nickel Indonesia (Inco) di Soroako. Ketika bijih nikel dilebur di dalam tungku, dan nikel murni dipisahkan, tinggallah cairan panas bersuhu lebih dari 1.000C. Dengan truk-truk khusus, selama ini, cairan "neraka" itu dituangkan ke lembah-lembah yang terdapat di sekitar pabrik. Dibuang percuma, dengan akibat samping rusaknya lingkungan, terutama hutan. Setelah membeku, cairan itu membentuk batuan berkadar besi (Fe) sekitar 30%. Sehari semalam, tungku-tungku Inco menghasilkan 2.400 ton batuan, yang disebut slag ini. Nilai ekonominya hampir nihil, karena pabrik modern hanya memerlukan bahan baku dengan kadar besi tak kurang dari 50%. Sementara itu, Inco sudah lama berniat meningkatkan jalan produksinya. Tetapi, pemecahan yang tepat belum ditemukan. Penggunaan hotmix untuk pengaspalan dianggap tidak menggembirakan. Sebab, selain mahal, metode ini juga memerlukan waktu lama. Untunglah, dua tahun lalu, seorang Australia bernama Mike Nichols datang ke pabrik Inco di Soroako. Berpengalaman dalam konstruksi jalan, Mike juga pernah bekerja di proyek jalan ruas Palopo-Malili. Ia menawarkan metode pengaspalan yang tidak laim di sini, yaitu prime seal, atau multiple pase surface treatment, terutama karena slag banyak menumpuk di Soroako. "Metode ini sudah umum di Australia dan Selandia Baru," kata Mike kepada TEMPO, pekan lalu. Caranya? Mula-mula, slag diremukkan di dalam mesin pemecah batu. Yang bergaris tengah 2 cm dipakai untuk dasar jalan (base course), yang 0,7 cm untuk permukaan. Untuk sub-base, bagian paling bawah, dipakai kerikil atau batu pecah setebal 25 cm sampai 75 cm, tergantung pada kepadatan tanah. Barulah kemudian dituangi slag untuk base course setebal 15 cm. Setelah padat, aspal panas disemprotkan dengan ukuran 0,75 liter per meter persegi. Selang satu atau dua minggu, penyemprotan diulangi dengan ukuran 1,25 liter aspal panas per meter persegi. Terbentuklah kini lapisan aspal setebal 2 mm. Dalam keadaan panas itu, slag berukuran 0,7 cm tadi ditaburkan selapis, lalu dilindas. Lapisan aspal panas di bawahnya langsung mengisi celah antara slag, dan merekatnya. Hasilnya, kata Nichols, "Cengkeraman ban pada jalan terasa lekat, dan setir mobil tidak goyah." Ia juga menganggap metode ini paling murah. Secara keseluruhan, Inco menghablskan US$ 3,5 per meter persegi jalan. Sementara itu, konon, pasaran untuk pengaspalan hotmix kini berkisar antara Rp 7 ribu dan Rp 8 ribu per meter bujur sangkar. "Dengan metode ini, tidak perlu membeli mixer untuk pengaduk hotmix," kata Mike. Kelemahannya, jalan ini tidak sekuat hotmix dalam menghadapi air. Untuk itu diperlukan selokan di kedua sisi jalan. Juga diperlukan pengalaman dalam membuat base course, yang harus betul-betul mulus. Daya tahannya juga tidak layak bila digunakan, misalnya, di Jawa. "Jalan jenis ini dirancang untuk kepadatan kurang dari 2.000 kendaraan per hari," Mike mengaku. Di lingkungan seperti Soroako, manfaatnya langsung terasa. "Saya tidak perlu lagi memikirkan pembuangan slag," kata A.R. Sopamena, asisten reka yasa lingkungan Inco. "Penyakit mata dan penyakit tenggorokan pun berkurang," sahut Dr. Sukarno, kepala laboratorium kesehatan masyarakat di pabrik itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini