Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Sel Tandan Penghalau Keburaman

Penderita kerusakan mata yang parah kini bisa ditolong dengan teknik baru transplantasi kornea. Teknologi ini kelak bisa pula diterapkan untuk jaringan tubuh lain.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK 1973, George Norman hanya melihat keburaman. Matanya terkena amonia dalam suatu kecelakaan sehingga korneanya rusak. Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan bungkus luar dari mata, yang berfungsi melindungi selaput pelangi (iris) dan manik mata (pupil). Norman, yang kini berusia 69 tahun, selama dua dasawarsa berikutnya menjalani operasi transplantasi kornea. Tapi tak satu pun yang sukses. Musim gugur tahun lalu, ia kembali menjalani operasi pada mata kirinya, kali ini dengan penambahan sel tandan (stem) kornea yang diambil dari mata anak laki-lakinya. Setelah operasi, peruntungan Norman pun berubah. Penglihatannya memang belum sempurna, tapi matanya kini tak lagi cuma menyapa gulita.

Penggunaan sel tandan adalah rekayasa biologi terbaru yang dikembangkan para ilmuwan di UC Davis School of Medicine and Medical Center, California, Amerika Serikat. Seperti termuat dalam Journal of Cornea edisi Juli ini, dari 14 pasien yang diterapi dengan cara ini, 10 orang menjumpai kesembuhan, termasuk Norman. Teknik ini dipelopori sepuluh tahun lalu oleh Dr. R. Rivkah Isseroff dan Dr. Ivan R. Schwab. Isseroff adalah guru besar demartologi yang selama ini menekuni bidang penggantian kulit, sementara Schwab adalah guru besar oftalmologi yang menggiati bidang kerusakan kornea.

Dalam teknik baru ini, langkah pertama adalah mengambil beberapa sel tandan dari kornea yang masih sehat lewat pembedahan ringan. Bila si pasien masih memiliki satu mata yang sehat, sel diambil dari mata ini. Namun, bila keduanya rusak, sel donor diperoleh dari kerabat pasien. Pengambilan sel donor ini hanya membutuhkan waktu lima menit, tidak menimbulkan rasa sakit, serta tak berpengaruh terhadap penglihatan.

Sel tandan ini lantas dibagi dalam beberapa cawan. Di tiap cawan, sel memproduksi lapisan transparan yang rapuh yang tebalnya tak lebih dari ukuran sel itu sendiri. Lapisan ini kemudian dipindahkan ke permukaan selaput ketuban (amniotik) yang steril. Di tempat baru ini, sel kornea tumbuh lima sampai sepuluh kali lipat dari ukuran sel semula. Alhasil, terbentuklah jaringan liat yang memiliki kelenturan dan kekenyalan, sekaligus dengan kelengkapan biologis jaringan kornea. Jaringan inilah yang ditanamkan pada mata pasien setelah kornea lama yang rusak diangkat.

Kunci keberhasilan teknik ini adalah kombinasi pemakaian sel tandan dan selaput ketuban. Sel tandan yang terletak di dalam bagian yang terlindung ini adalah "ibu" dari sel-sel kornea. Sel ini secara terus-menerus memproduksi sel-sel kornea baru untuk menggantikan sel yang uzur ataupun rusak. Namun, kemampuan sel tandan kornea ini terbatas karena hanya bisa memproduksi sel kornea. Berbeda halnya sel tandan fetal (janin), yang memiliki kemampuan untuk menjadi "lahan" bagi jaringan tubuh yang mana saja untuk tumbuh. Sementara itu, selaput ketuban sudah lama dipakai dalam teknik penggantian jaringan tubuh. Selaput ini menjadi sarana ideal karena tak memicu penolakan pada jaringan penerima.

Kerja bareng Isseroff dan Schwab ini selangkah lebih unggul ketimbang hasil para peneliti dari Taiwan. Di Taiwan, rekayasa biologi yang dilakukan adalah memindahkan sel tandan dari kornea langsung ke selaput ketuban. Cara ini juga sudah berhasil diterapkan pada pasien. Keterbatasannya, cara ini hanya bisa dipakai pada pasien yang masih memiliki satu mata yang sehat. Adapun penggunaan sel donor dari kerabat pasien belum bisa dilakukan.

Menurut Schwab, ada keunggulan lain dari proyeknya. "Kami bisa menyimpan sel-sel yang belum terpakai pada pendingin, sehingga jika transplantasi gagal, atau kami ingin menerapi mata yang satunya, prosedur pengambilan sel donor tak perlu diulangi," kata Schwab.

Teknik ini memang masih perlu waktu untuk direkomendasikan sebagai pengobatan termutakhir untuk kerusakan kornea. Namun, prospek yang dijanjikan lebih luas dari wilayah pengobatan mata. Kornea, seperti halnya kulit, termasuk jaringan epithelial (selaput lendir). Fakta ini menjadi penting mengingat 60 persen sel tubuh manusia adalah sel epithelial. Dengan demikian, kelak setelah keberhasilan transplantasi kornea—dan sebelumnya kulit—teknik ini bisa dipakai dalam terapi kerusakan paru-paru, kandung kemih, ataupun organ tubuh lainnya yang memiliki jaringan epithelial.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus