Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

'Hacker' Indonesia Tertangkap di Singapura

Seorang remaja Indonesia diadili di Singapura. Ia dituduh mengacak-acak sistem komputer National Singapore University.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA masih belia. Pada 5 Agustus nanti, usianya baru genap 16 tahun. Dialah Wenas Agus Setiawan, remaja asal Malang, Jawa Timur. Kendati belum cukup umur, Wenas sudah harus duduk di kursi terdakwa di Juvenile Court, pengadilan rendah Singapura, 20 Juli silam. Ia terlibat kasus penyusupan secara ilegal ke sistem komputer milik Data Storage Institute, National Singapore University (DSI NSU).

Wenas adalah orang asing pertama yang diadili di Singapura karena melanggar Penal Code Chapter 50A tentang perusakan sistem komputer milik orang lain. Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum David Chew membidik pemegang paspor Indonesia bernomor G 941974 ini dengan lima pasal pelanggaran. Menurut polisi yang khusus menangani bidang komputer, selama belum tertangkap, Wenas telah melakukan empat kali penyusupan. Jika terbukti, Wenas terancam hukuman tiga tahun atau denda S$ 10 ribu (sekitar Rp 55 juta).

Aksi Wenas dimulai pada Maret 2000. Waktu itu, dari tempatnya menuntut ilmu di Australia, untuk pertama kali ia melakukan penyusupan ke sistem komputer DSI. Ia sukses membobol sistem itu berkat informasi temannya. Pihak DSI sendiri saat itu tidak dapat berbuat banyak karena penyusupan dilakukan orang asing dari luar Singapura.

Kebetulan, dua bulan kemudian, Wenas datang ke Singapura bersama keluarganya. Tujuannya untuk belajar di sebuah sekolah swasta: Asher Success Centre. "Sejak umur delapan tahun, dia banyak membaca buku menyangkut komputer. Pada usia 12 tahun, hampir semua buku komputer habis dibacanya," ungkap sang ayah, yang keberatan disebut namanya.

Belum sepekan tinggal di Singapura, pada 2 Juni 2000, tangan Wenas sudah gatal ingin beraksi, apalagi setelah orang tuanya membelikan hacker muda itu seperangkat komputer. Lagi-lagi sasarannya server milik DSI. Menurut Khoo Beng Teck, senior network specialist di DSI, kerusakan yang ditimbulkan cukup serius. Aksi penyusupan itu merusak dan menghilangkan pelayanan jaringan komputer mereka. Untuk memperbaikinya, diperlukan sekitar 20 jam kerja dengan total biaya S$ 15.505 (sekitar Rp 80 juta).

Wenas juga menyerbu sistem komputer milik MTL Instruments Pte.Ltd., di KA Centre, 150 Kampong Ampat # 05-01, Singapura. Namun, serangan ini tidak merugikan MTL Instruments Pte.Ltd. Dia hanya menjadikan perusahaan ini sebagai batu loncatan untuk menembus server DSI.

Kali ini DSI tidak lagi berpangku tangan. Mereka segera melaporkan penyusupan itu ke Computer Crime Branch, Criminal Investigation Division (CID), yang berwenang mengurus soal semacam ini. Berdasarkan penelusuran CID, jejaknya mengarah ke apartemen Blk. 116 Lor 2 Toa Payoh # 17-166, yang ternyata dihuni Wenas. Singkat kata, satuan CID di bawah pimpinan Sersan Mark Koh akhirnya berhasil membekuk Wenas bersama semua barang bukti.

Dalam sidang yang dipimpin hakim Mark Tay Swee Keng, Wenas didampingi pengacara, penerjemah, dan kedua orang tuanya. Thony Saut P. Situmorang dan A. Guntur Setyawan serta beberapa staf dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura juga mengikuti jalannya sidang. Di sidang pertama itu, Wenas tampak mengenakan baju kaus putih dan celana warna gelap. "Dia itu benar-benar genius, pada usia belasan dapat mengoperasikan komputer serta masuk ke program komputer ternama," kata Renvyannis Gazali, Kepala Bidang Konsuler KBRI.

Dalam penjelasannya kepada hakim, Wenas menyatakan bahwa pertahanan sistem komputer di NSU itu lemah. Karena itu, ia mencoba melindungi NSU dari pihak lain yang merusak sistem. Tapi alasan ini oleh jaksa dianggap bohong dan tidak masuk akal.

Wenas kemudian meminta maaf kepada pihak NSU, yang telah dirugikan gara-gara perbuatannya. "Saya juga bersedia membantu NSU jika dibutuhkan," tuturnya. Namun, pihak NSU menolak permintaan maafnya, dengan alasan kerugian yang diderita universitas itu puluhan ribu dolar. Bahkan, aktivitas perguruan tinggi nasional Singapura jadi terhambat.

Sementara itu, penasihat hukum Wenas, Mimi Oh, meminta agar jaksa lebih bijak dalam melihat kasus tersebut. Soalnya, menurut Mimi, selain masih anak-anak, kecerdasannya juga jangan disia-siakan. Wenas mestinya hanya diminta mengubah perilaku buruk itu menjadi positif. Walhasil, sampai siang itu nasib Wenas belum jelas. Hakim memutuskan untuk menunda sidang sampai 22 Agustus 2000.

Wicaksono, Rumbadi Dalle (Singapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus