Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiang itu tingginya sekitar 4-5 meter. Di puncaknya bertengger kotak kecil. Orang-orang di Libo Estate, Kabupaten Siak, Riau, menyebutnya sebagai gupon atau kandang.
Di tiap gupon yang tersebar di seluruh perkebunan inti seluas 50.054 hektare itu terlihat sepasang burung hantu serak jawa atau Tyto alba javanica.
Siang itu, burung hantu memang hanya diam. Bahkan terlelap. Maklum, mereka tergolong hewan nocturnal atau lebih aktif pada malam hari. Ketika matahari tenggelam, mereka baru sibuk.
Kesibukan yang mereka lakukan tak lain mencari mangsa di perkebunan sawit milik kelompok usaha Sinar Mas. Sang mangsa, ya itu-itu juga, yakni tikus yang telah sekian lama menjadi hama atau hewan pengganggu di perkebunan tersebut.
Dua hewan ini benar-benar berjodoh dalam sebuah rantai makanan. Tikus dan burung hantu sama-sama nocturnal. Mereka beredar pada malam hari.
Nah, sepanjang malam menjadi saat yang menyenangkan bagi serak jawa. Meski sebaliknya mereka benar-benar menjadi hantu bagi hewan pengerat itu.
Tikus memang menjadi mangsa favoritnya. Hampir 95 persen burung ini hanya menyantap tikus. Selebihnya berupa serangga. Semalaman, mereka biasanya mendapat 4-5 ekor tikus. Kenyang.
Tentu ini menjadi hubungan yang saling menguntungkan alias simbiosis mutualisme. Si serak jawa dapat makan gratis, sedangkan pemilik perkebunan senang karena hama-hama pengganggu tak pernah melebihi dari batas normal yang ditentukan.
Hubungan harmonis ini bukanlah hal baru di sana. Sudah hampir 25 tahun perkebunan ini mempekerjakan burung serak jawa untuk menekan populasi tikus yang menjadi salah satu hama sawit. Sejauh ini, dalam 15 tahun terakhir, mereka berhasil menjalankan tugasnya sebagai agen biokontrol yang menggantikan penggunaan pestisida kimia.
"Sebisa mungkin pembasmian hama kami lakukan dengan memanfaatkan musuh alaminya," kata Muhammad Naim, awal Oktober lalu.
Menurut Kepala Departemen Crop ProtectionPerkebunan Sinar Mas (PSM) V itu, burung hantu tersebut dipilih setelah pihaknya melihat kebiasaan burung itu di Simalungun, Sumatera Utara. "Mereka sangat aktif dan makanannya spesifik, hampir 100 persen tikus," katanya.
Tyto alba, keluarga besar si burung hantu ini, bisa ditemukan di seluruh Indonesia. Namun, khusus serak jawa, hanya menyebar di gugus Sunda Besar atau wilayah Indonesia barat yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
"Secara taksonomi, di Indonesia ada dua sampai tiga anak jenis Tyto alba. Hanya, serak jawa yang umum untuk biokontrol," ujar Naim.
Selain itu, mereka dikenal sebagai pemburu tikus yang sangat aktif. Intensitasnya dalam memangsa pun cukup tinggi.
Sangat efektif tentu saja. Di kebun itu, sepasang serak jawa saja dipercaya mengawal 30 hektare ladang sawit. Dengan demikian, mereka pun dijadikan patokan dalam penggunaan pestisida pengerat atau rodentisida.
"Kita punya pengendalian hama terpadu yang diukur dari persentase serangan tikus. Kalau serangannya di bawah 5 persen, masih bisa ditoleransi tanpa penggunaan rodentisida," ujar Naim.
Pihak perkebunan Sinar Mas di Riau menyatakan, sejauh ini, dengan peran si serak jawa itu, intensitas hama tikus tak pernah melebihi batas yang membuat mereka harus memakai alternatif pembasmian lain.
Bila saja itu yang terjadi, tentu tidak menyenangkan bagi mereka. Bukan soal pengeluaran yang bertambah karena mereka memerlukan racun kimia dan biaya untuk tenaga kerja. "Lagi pula, kalau buah (sawit) kena racun kimia, kandungan asam lemak bebasnya (ALB) akan tinggi. Biasanya akan perlu durasi lebih lama untuk memprosesnya di pabrik," katanya.
Peneliti ekologi dan sistematika burung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mohammad Irham, menilai wajar jika tren penggunaan serak jawa merebak di kalangan pengelola sawit. Namun, kata dia, metode itu masih lebih mudah diterapkan di wilayah Jawa dan Sumatera.
Populasi burung hantu cenderung bertambah saat makanannya melimpah. "Pemanfaatan serak jawa lebih mudah karena pakannya (hama tikus) lebih banyak," ujar Irham saat dihubungi Tempo, pekan lalu.
Serak jawa menjadi pelindung yang sempurna. Mereka yang mengalami dua kali musim kawin dalam setahun setidaknya bisa menghasilkan 12 telur.
Meski tidak semua telurnya menetas karena tidak mengalami proses pengeraman yang sempurna, induk serak jawa kerap memaksa anaknya mencari sarang sendiri, setelah hidup bersama selama tiga bulan.
Hasilnya, tentu menguntungkan. Mereka bisa lebih tersebar dan area pembasmian tikus pun meluas. YOHANES PASKALIS PAE DALE
Serak Jawa (Tyto alba javanica)
Pola Hidup:
Berhabitat di hutan dan bersarang di lubang pepohonan hingga ketinggian 1.600 mdpl, tapi tak jarang mendiami bangunan tua dan menara. Cenderung hidup jauh dari lingkungan manusia lantaran adanya ketersediaan makanan.
Makanan spesifik: 99 persen tikus dan sisanya serangga.
Memangsa dengan cara mengejar dan menyambar tikus di atas tanah.
Mampu mendeteksi suara pengerat hingga jarak 500 meter pada malam hari.
Daya jelajah terbangnya mencapai 12 kilometer.
Bisa berkembang biak dengan cepat dan bertahan hingga usia 4,5-5 tahun.
Habitat:
Ditemukan hampir diseluruh lokasi di lima benua Di Asia Tenggara umum dijumpai di Indonesia, Malaysia, Filipina, Laos, Myanmar, dan Thailand. BERBAGAI SUMBER
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo