Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Cina sedang menghadapi lonjakan kasus Human Metapneumovirus (HMPV), yang menyebabkan kekhawatiran global. Meski demikian, pihak berwenang menegaskan bahwa HMPV bukanlah ancaman pandemi yang mendesak. Virus ini, yang pertama kali ditemukan pada 2001, menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas dan bawah dengan gejala seperti batuk, demam, dan sakit tenggorokan, yang mirip dengan flu atau pilek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HMPV menyebar melalui tetesan pernapasan dari batuk atau bersin, serta kontak dekat dan permukaan terkontaminasi. Walaupun virus ini dapat menginfeksi siapa saja, kelompok yang lebih rentan adalah anak-anak, orang lanjut usia, dan mereka dengan sistem kekebalan tubuh lemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun memiliki gejala yang mirip dengan COVID-19, HMPV punya perbedaan signifikan. Dikutip dari laporan The Economic Times, keduanya dapat menyebabkan masalah pernapasan dan menyebar melalui tetesan pernapasan, namun COVID-19 dapat menyebar sepanjang tahun karena adanya varian yang terus berkembang. HMPV, di sisi lain, umumnya meningkat selama musim dingin dan musim semi. Selain itu, COVID-19 dapat menyebabkan kasus yang lebih parah dan memerlukan perawatan intensif lebih sering dibandingkan HMPV.
Studi menunjukkan bahwa kasus HMPV meningkat tiga kali lipat di beberapa wilayah setelah pembatasan COVID-19 dicabut. Penurunan paparan terhadap virus selama lockdown kemungkinan telah melemahkan kekebalan, sehingga menyebabkan lonjakan infeksi saluran pernapasan ketika langkah-langkah pencegahan dilonggarkan.
HMPV juga tidak seperti COVID-19, karena virus ini sudah ada selama beberapa dekade dan ada tingkat kekebalan di populasi global akibat infeksi sebelumnya, kata para ahli. Sementara COVID-19 adalah penyakit baru yang sebelumnya belum pernah menginfeksi manusia, sehingga menyebabkan penyebaran pada tingkat pandemi.
Penyebabnya pun berbeda. HMPV disebabkan oleh virus dari keluarga Paramyxoviridae, yang biasa menyerang anak-anak, lansia, dan individu dengan imunitas lemah. Sementara COVID-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2 dari keluarga Coronavirus, dengan spektrum gejala yang lebih luas, mulai dari anosmia hingga komplikasi berat seperti sindrom distres pernapasan akut (ARDS).
“Saya rasa kita tidak perlu terlalu khawatir tentang pandemi dengan virus ini, tapi lonjakan kasus dan dampak yang ditimbulkannya memang cukup signifikan,” kata Prof. Paul Griffin, direktur penyakit menular di Mater Health Services di Brisbane, dikutip dari The Guardian, Selasa, 7 Januari 2025. “Pelajaran penting yang dapat diambil [dari pandemi] adalah bagaimana mengurangi penyebaran, terutama karena kita tidak memiliki vaksin atau obat antiviral untuk HMPV.”
“Saya tentu tidak menyarankan kita kembali ke pembatasan yang ketat seperti COVID, tapi tetap di rumah, menerapkan etika batuk dan bersin yang baik, serta menjaga kebersihan tangan sangat penting selama musim dingin ini,” kata Griffin.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga menekankan HMPV berbeda secara signifikan dari virus COVID-19. “Sistem imunitas manusia sudah lama mengenal HMPV, dan tubuh dapat meresponsnya dengan baik. Berbeda dengan Covid-19 yang baru muncul beberapa tahun lalu, HMPV tidak menyebabkan masalah besar selama ini,” kata Budi dalam keterangan resmi, Senin, 6 Januari 2025.
Budi juga menjelaskan, meskipun virus ini terdeteksi pada anak-anak di beberapa laboratorium, masyarakat tidak perlu panik karena HMPV adalah virus yang sudah lama dikenal dalam dunia medis. “HMPV sudah lama ditemukan di Indonesia. Kalau dicek apakah ada, itu memang ada. Saya sendiri melihat data di beberapa lab, ternyata beberapa anak terdeteksi HMPV.”