Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Si Anak Muda Dan Tali Putri

Sebagian terbesar karya yang masuk adalah dalam bidang ilmu pengetahuan alam, mulai thn ini diubah menjadi lomba karya penelitian ilmiah, disamping lomba yang diselenggarakan oleh p & k ini, lipi & tvri juga.(ilm)

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I Komang Gede Sudarsana lahir pada tanggal 1 April 1965 dari keluarga petani. Kini ayahnya sudah tiada. "Saya sekarang tinggal dengan ibu tiri saya," ucapnya pelan. Siswa SMP ini datang dari Tabanan, Bali. Ia tertarik untuk meneliti tanaman benalu Tali Putri terutama karena ada seruan bupati agar rakyat berusaha membasmi tumbuhan itu. "Tulisan saya kirim juga untuk bupati," ujarnya. Ia mengaku cukup banyak dorongan dari guru. Bahkan sekolahnya yang mengirim karya tulisnya. "Ini pengalaman pertama," katanya, "saya tidak menyangka saya dipanggil. Dewan juri dalam suatu lomba penelitian tahunan bagi remaja yang diselenggarakan Departemen P&K sekali ini bukan hanya memanggil Sudarsana, tapi juga menilai karyanya termasuk baik sekali untuk seorang murid SMP. Dan ia menggondol hadiah pertama pekan lalu. Menurut Sudarsana, Tali Putri sangat merugikan, karena tanaman yang ditumbuhinya pasti mati. "Mungkin tumbuhan Tali Putri ini mempunyai prinsip: tempel terus sampai mati," tulis Sudarsana dalam karya tulisnya. Ekologi Tumbuhan itu menyerupai tali berwarna kuning. Mungkin karena itu ia disebut "Tali Putri". Ia tidak mempunyai akar yang sampai ke tanah, tidak berdaun dan tidak berklorofil. Semua batangnya yang seperti tali itu terdapat di atas tumbuhan inang. Sudarsana menyimpulkan bahwa Tali Putri berkembang biak secara generatif dengan bijinya dan secara vegetatif dengan batangnya. Dalam penelitiannya ia juga memberikan gambaran hidup tentang keparasitan Tali Putri ini. Yaitu dengan menanamnya pada pot yang ada tanamannya, sekaligus menanamnya pada pot kosong. Penelitian lain dalam bidang biologi sekaligus menyentuh ilmu lain, ekologi. Ini dilakukan pemenang ke-2, Asril Astaman, yang datang dari SMA Bangkinang, 60 km dari Pakanbaru. Ketika Asril masih di kelas 2 SD, suatu hari ia menangguk ikan sepat di pinggiran kolam yang terdapat di halaman luas rumah orang tuanya. Ia menemukan amat banyak anak ikan gurami di kolam itu. Dua tahun berselang ia tak lagi menemukan anak ikan gurami yang banyakitu. "Ah, tentu ikan buas telah memberikannya," Tapi beberapa bulan kemudian "secara kejutan kami menemukan lagi anak ikan gurami itu," ceritanya kepada TEMPO. Dan ia mempertanyakan kesimpulannya terdahulu. "Sebab ketika anak gurami terdapat dalam kolam, ikan buas juga terdapat di situ," timbangnya. Ia coba menghubungkan fakta banyak tldaknya anak Ikan gurami dengan keadaan fisik kolam dan sekitarnya. Selama beberapa tahun ia biarkan semak itu dan rumput tumbuh tinggi. "Saya pun jadi takut membersihkan pematang kolam, sebab terdapat sarang tawon dan berbagai ular berbisa." ujarnya. Tapi dalam lingkugan penuh semak dan rumput ia memerlukan lagi banyak anak ikan gurami. "Selalu tertangkap di bawah akar pohon Gelinggang Gajah yang tumbuh lebat sekali di pematang kolam," ceritanya lagi. Karena pemilik tanah yang berbatasan dengan kolam itu membersihkan pematangnya karena hendak membangun rumah, "pohon Gelinggang Gajah ikut ditebas," ujarnya. "Sejak itu anak gurami tak pernah lagi kami temukan." Lambat laun Gelinggang Gajah tumbuh kembali. seiring dengan itu. anak gurami pun tampak kembali di kolam itu. "Sejak saat itu kami berkeyakinan tentulah ada hubungan antara tumbuhan Gelinggang Gajah itu dengan perkembangan ikan urami," tutur Asril. Induk gurami ternyata selalu memhllat sarangnya di sela-sela akar Gelinggang Gajah Akar itu berada dalam ail dan bercabang demikian banyaknya. "Hingga seperti serabut ijuk yang diletakkan di pinggir kolam," ucap Asril. Akar-akar ini membuat sarang terjaga. "Bila ada ikan buas, anak gurami itu menyuruk di sela-sela akar Gelingang Gajah." Tapi ayahnya, pensiunan kepala Kanwil P&K Kabupaten Kampar, suatu hari bertindak. "Ayah khawatir kalau di sana nanti bersarang tawon dan ular," cerita Asril. Kemudian tumbuhan di pematang kolam itu sekali lagi terbabat bersih. "Sejak itu anak ikan gurami tidak lagi tampak dalam kolam itu," kata Asril. "Keyakinan kami jadi bertambah tentang adanya hubungan antara Gelinggang Gajah dan perkembangan ikan gurami. Selain karya Sudarsana dan Asril tadi, dewan juri juga tertarik pada hasil penelitian Yohan Boedianto (pemenang ke-2) siswa SMA Frateran, Surabaya. Mengajukan karya berjudul Modernisasi Lalu lintas di Inonesia Secara Ekonomis, Yohan menyarankan penggunaan suatu alat pengukur kecepatan kendaraan bermotor secara otomatis. Alat itu cukup kompleks, karena selain menggunakan elektronika digital juga ada bagi yang memproses data pengukuran. Mulai tahun ini nama Lomba Karya Ilmu Pengetahuan diubah menjadi Lomba Karya Penelitian Ilmiah. "Ini untuk memperjelas yang dilombakan adalah hasil penelitian," ujar Ketua Dewan Juri, Prof. Dr. Andi Hakim Nasution. Jadi tidak sekedar review" Usul perubahan nama sudah sejak tahun lalu berhubung sejak 1977 lomba ini diada kan banyak peserta yang salah tafsir tenang apa itu karya ilmu pengetahuan. Sebagian terbesar karya yang masuk adalah dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Dari 388 karya hanya 69 (18%), yang di bidang ilmu sosial. Dari ke-69 karya itu tak satu pun berhasil masuk final. Di bidang ekonomi/manajemen, misalnya, Prof. J. Bar menilai sebagian besar karya yang masuk masih bersifat "menggambarkan" (deskriptif) dan belum samlai pada tingkat karya penelitian. Juga di bidang sosiologi, Dr. Astrid S. Susanto berpendapat belum ada karya yang cukup mantap. Sedang Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, menilai kebanyakan karya di bidang sejarah/kebudayaan belum merupakan hasil penelitian. Harsja W. Bachtiar berpendapat bahwa ini disebabkan kesalahan pendidikan di sekolah. "Bahkan kesalahan ini juga menimpa universitas," ucapnya. Tidak Overlapping Hampir bersan.aan waktunya, ada pula Lomba Karya yang diselenggarakan oleh LIPI bersama TVRI. Berjudul Lomba Karya Tulis dan Cipta, ini merupakan kelanjutan acara LIPI di TVRI sejak 1971. Lomba yang ditutup 31 Juli mengikutsertakan 1035 remaja (721 pria dan 314 wanita). Dari jumlah ini tampil 19 finalis. Peminat matematika merupakan yang terbanyak (66%). Ini mungkin karena bidang yang dilombakan oleh LIPI-TVRI tidak mencakup ilmu sosial, dan terbatas pada Fisika, Kimia, Biologi dan Matcmatika, sedang topik untuk setiap bidang ditentukan. Sedang dalam lomba karya yang diselenggarakan P&K terdapat 12 bidang ilmu. Yaitu 7 IPA dan 5 IPS. Topiknya pun bebas bagi setiap peserta, bahkan boleh diikuti setiap orang asalkan masuk dalam rentang umur 12 sampai 21 tahun. Tapi LIPI-TVRI membatasi ini ala murid sekolah saja. Pernah ada gagasan agar kedua lomba yang paralel ini disatukan saja. Tapi, seperti dikemukakan Ketua LIPI, Prof. Dr. Ir. Bachtiar Rifai pekan lalu, makin banyak kesempatan untuk ikut serta, makin baik bagi pelajar itu untuk mengembangkan diri. Tidak terdapat overlapping atau duplikasi, katanya dalam jumpa pers pekan lalu. "Saudara kan tidak keberatan membaca berbagai surat kabar. Makin banyak membaca macam-macam koran, makin mantap, bukan?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus