I Komang Gede Sudarsana lahir pada tanggal 1 April 1965 dari
keluarga petani. Kini ayahnya sudah tiada. "Saya sekarang
tinggal dengan ibu tiri saya," ucapnya pelan.
Siswa SMP ini datang dari Tabanan, Bali. Ia tertarik untuk
meneliti tanaman benalu Tali Putri terutama karena ada seruan
bupati agar rakyat berusaha membasmi tumbuhan itu. "Tulisan saya
kirim juga untuk bupati," ujarnya. Ia mengaku cukup banyak
dorongan dari guru. Bahkan sekolahnya yang mengirim karya
tulisnya. "Ini pengalaman pertama," katanya, "saya tidak
menyangka saya dipanggil. Dewan juri dalam suatu lomba
penelitian tahunan bagi remaja yang diselenggarakan Departemen
P&K sekali ini bukan hanya memanggil Sudarsana, tapi juga
menilai karyanya termasuk baik sekali untuk seorang murid SMP.
Dan ia menggondol hadiah pertama pekan lalu.
Menurut Sudarsana, Tali Putri sangat merugikan, karena tanaman
yang ditumbuhinya pasti mati. "Mungkin tumbuhan Tali Putri ini
mempunyai prinsip: tempel terus sampai mati," tulis Sudarsana
dalam karya tulisnya.
Ekologi
Tumbuhan itu menyerupai tali berwarna kuning. Mungkin karena itu
ia disebut "Tali Putri". Ia tidak mempunyai akar yang sampai ke
tanah, tidak berdaun dan tidak berklorofil. Semua batangnya yang
seperti tali itu terdapat di atas tumbuhan inang.
Sudarsana menyimpulkan bahwa Tali Putri berkembang biak secara
generatif dengan bijinya dan secara vegetatif dengan batangnya.
Dalam penelitiannya ia juga memberikan gambaran hidup tentang
keparasitan Tali Putri ini. Yaitu dengan menanamnya pada pot
yang ada tanamannya, sekaligus menanamnya pada pot kosong.
Penelitian lain dalam bidang biologi sekaligus menyentuh ilmu
lain, ekologi. Ini dilakukan pemenang ke-2, Asril Astaman, yang
datang dari SMA Bangkinang, 60 km dari Pakanbaru.
Ketika Asril masih di kelas 2 SD, suatu hari ia menangguk ikan
sepat di pinggiran kolam yang terdapat di halaman luas rumah
orang tuanya. Ia menemukan amat banyak anak ikan gurami di kolam
itu.
Dua tahun berselang ia tak lagi menemukan anak ikan gurami yang
banyakitu. "Ah, tentu ikan buas telah memberikannya," Tapi
beberapa bulan kemudian "secara kejutan kami menemukan lagi anak
ikan gurami itu," ceritanya kepada TEMPO. Dan ia mempertanyakan
kesimpulannya terdahulu. "Sebab ketika anak gurami terdapat
dalam kolam, ikan buas juga terdapat di situ," timbangnya.
Ia coba menghubungkan fakta banyak tldaknya anak Ikan gurami
dengan keadaan fisik kolam dan sekitarnya. Selama beberapa
tahun ia biarkan semak itu dan rumput tumbuh tinggi. "Saya pun
jadi takut membersihkan pematang kolam, sebab terdapat sarang
tawon dan berbagai ular berbisa." ujarnya.
Tapi dalam lingkugan penuh semak dan rumput ia memerlukan lagi
banyak anak ikan gurami. "Selalu tertangkap di bawah akar pohon
Gelinggang Gajah yang tumbuh lebat sekali di pematang kolam,"
ceritanya lagi.
Karena pemilik tanah yang berbatasan dengan kolam itu
membersihkan pematangnya karena hendak membangun rumah, "pohon
Gelinggang Gajah ikut ditebas," ujarnya. "Sejak itu anak gurami
tak pernah lagi kami temukan."
Lambat laun Gelinggang Gajah tumbuh kembali. seiring dengan
itu. anak gurami pun tampak kembali di kolam itu. "Sejak saat
itu kami berkeyakinan tentulah ada hubungan antara tumbuhan
Gelinggang Gajah itu dengan perkembangan ikan urami," tutur
Asril.
Induk gurami ternyata selalu memhllat sarangnya di sela-sela
akar Gelinggang Gajah Akar itu berada dalam ail dan bercabang
demikian banyaknya. "Hingga seperti serabut ijuk yang diletakkan
di pinggir kolam," ucap Asril. Akar-akar ini membuat sarang
terjaga. "Bila ada ikan buas, anak gurami itu menyuruk di
sela-sela akar Gelingang Gajah."
Tapi ayahnya, pensiunan kepala Kanwil P&K Kabupaten Kampar,
suatu hari bertindak. "Ayah khawatir kalau di sana nanti
bersarang tawon dan ular," cerita Asril. Kemudian tumbuhan di
pematang kolam itu sekali lagi terbabat bersih. "Sejak itu anak
ikan gurami tidak lagi tampak dalam kolam itu," kata Asril.
"Keyakinan kami jadi bertambah tentang adanya hubungan antara
Gelinggang Gajah dan perkembangan ikan gurami.
Selain karya Sudarsana dan Asril tadi, dewan juri juga tertarik
pada hasil penelitian Yohan Boedianto (pemenang ke-2) siswa SMA
Frateran, Surabaya. Mengajukan karya berjudul Modernisasi Lalu
lintas di Inonesia Secara Ekonomis, Yohan menyarankan
penggunaan suatu alat pengukur kecepatan kendaraan bermotor
secara otomatis. Alat itu cukup kompleks, karena selain
menggunakan elektronika digital juga ada bagi yang memproses
data pengukuran.
Mulai tahun ini nama Lomba Karya Ilmu Pengetahuan diubah menjadi
Lomba Karya Penelitian Ilmiah. "Ini untuk memperjelas yang
dilombakan adalah hasil penelitian," ujar Ketua Dewan Juri,
Prof. Dr. Andi Hakim Nasution. Jadi tidak sekedar review" Usul
perubahan nama sudah sejak tahun lalu berhubung sejak 1977 lomba
ini diada kan banyak peserta yang salah tafsir tenang apa itu
karya ilmu pengetahuan.
Sebagian terbesar karya yang masuk adalah dalam bidang ilmu
pengetahuan alam. Dari 388 karya hanya 69 (18%), yang di bidang
ilmu sosial. Dari ke-69 karya itu tak satu pun berhasil masuk
final.
Di bidang ekonomi/manajemen, misalnya, Prof. J. Bar menilai
sebagian besar karya yang masuk masih bersifat "menggambarkan"
(deskriptif) dan belum samlai pada tingkat karya penelitian.
Juga di bidang sosiologi, Dr. Astrid S. Susanto berpendapat
belum ada karya yang cukup mantap. Sedang Prof. Dr. Harsja W.
Bachtiar, menilai kebanyakan karya di bidang sejarah/kebudayaan
belum merupakan hasil penelitian.
Harsja W. Bachtiar berpendapat bahwa ini disebabkan kesalahan
pendidikan di sekolah. "Bahkan kesalahan ini juga menimpa
universitas," ucapnya.
Tidak Overlapping
Hampir bersan.aan waktunya, ada pula Lomba Karya yang
diselenggarakan oleh LIPI bersama TVRI. Berjudul Lomba Karya
Tulis dan Cipta, ini merupakan kelanjutan acara LIPI di TVRI
sejak 1971. Lomba yang ditutup 31 Juli mengikutsertakan 1035
remaja (721 pria dan 314 wanita). Dari jumlah ini tampil 19
finalis.
Peminat matematika merupakan yang terbanyak (66%). Ini mungkin
karena bidang yang dilombakan oleh LIPI-TVRI tidak mencakup
ilmu sosial, dan terbatas pada Fisika, Kimia, Biologi dan
Matcmatika, sedang topik untuk setiap bidang ditentukan.
Sedang dalam lomba karya yang diselenggarakan P&K terdapat 12
bidang ilmu. Yaitu 7 IPA dan 5 IPS. Topiknya pun bebas bagi
setiap peserta, bahkan boleh diikuti setiap orang asalkan masuk
dalam rentang umur 12 sampai 21 tahun. Tapi LIPI-TVRI membatasi
ini ala murid sekolah saja.
Pernah ada gagasan agar kedua lomba yang paralel ini disatukan
saja. Tapi, seperti dikemukakan Ketua LIPI, Prof. Dr. Ir.
Bachtiar Rifai pekan lalu, makin banyak kesempatan untuk ikut
serta, makin baik bagi pelajar itu untuk mengembangkan diri.
Tidak terdapat overlapping atau duplikasi, katanya dalam jumpa
pers pekan lalu. "Saudara kan tidak keberatan membaca berbagai
surat kabar. Makin banyak membaca macam-macam koran, makin
mantap, bukan?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini