Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bak seorang koboi, pilot pesawat microlight Mainair Quick GT 450 itu berteriak begitu mendarat di Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta, dua pekan lalu.
”Tiger! Yi haa!” serunya gembira. Sang pilot kemudian turun dengan menggunakan tongkat pemandu. Tangannya meraba-raba ke depan. Ia memang buta.
Pilot yang mengemudikan pesawat gantole bermesin itu baru saja tiba dari penerbangan Palembang-Jakarta. Lima kota lagi telah menunggu, yaitu Semarang, Surabaya, Denpasar, Bima, dan Kupang. Ia terbang dari London, Inggris dan mengakhiri penerbangan di Sydney, Australia, pekan lalu.
Miles Hilton-Barber, lelaki 58 tahun itu, adalah pilot tunanetra pertama di dunia yang berani terbang sejauh 20 ribu kilometer. Ia terbang selama 55 hari untuk membuktikan bahwa seorang buta bisa melakukan apa pun sebagaimana orang yang memiliki pancaindera lengkap.
Hilton-Barber telah mendaki hingga 17 ribu kaki di Gunung Himalaya dan menaklukkan puncak Kilimanjaro di Afrika dan Mount Blanc di Eropa. Dia juga ikut lomba maraton tersulit di du-nia sepanjang 150 mil menyeberangi Gurun Sahara dan menyelesaikan maraton es di Liberia. Hilton-Barber bahkan menjadi pengendara tunanetra yang menyelesaikan putaran Grand Prix Malaysia dengan kecepatan 200 kilometer per jam.
Meski sudah mencoba berbagai olahraga menantang itu, Hilton-Barber yang menderita kebutaan sejak usia 21 tahun itu tetap mendapat cemoohan ketika memutuskan belajar pesawat empat tahun silam. ”Saya dianggap gila,” katanya kepada Tempo.
Tak ada yang mau mengajarinya. Akhirnya Richard Meredith-Hardy datang. Dengan bantuan Meredith-Hardy, Hilton-Barber menjadi pilot buta pertama yang melintasi Kanal Inggris dengan gantole bermesin pada Agustus 2003. Kini dia memperbaiki rekornya dengan melintasi 19 negara.
Petualangan melewati 19 negara itu dimulai dari London sejak 7 Maret lalu. Terbang melewati negara Eropa seperti Prancis, Italia, Yunani, Rhodes, dan Siprus. Setelah itu ke Timur Tengah dari Saudi, Yordania, Qatar, Dubai, dan Oman. Hilton-Barber melanjutkan perjalanan ke Asia: Pakistan, India, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Australia.
Selama perjalanan, Hilton-Barber ditemani kopilot Brian Milton dan Meredith-Hardy yang bertugas secara bergiliran. Gantole bermesin ini memang hanya menyediakan tempat buat dua orang. Kopilot hanya menemani di belakang dan melakukan koreksi kalau ada kesalahan yang dilakukan pilot. ”Tugas kopilot di situ memang biasanya sebagai tandem atau pengoreksi,” kata Ketua Persatuan Olahraga Dirgantara Microlight Federasi Aerosport Indonesia, Wunwun Mauludi.
Hilton-Barber memang hanya mengandalkan alat pendengarannya selama perjalanan. Untuk itu pesawatnya menggunakan sistem navigasi yang mengeluarkan data berupa suara yang dirancang Software Express. Data yang didengar Hilton-Barber meliputi ketinggian, kecepatan angin, arah dan sudut kemiringan. Dia juga bisa mengecek bahan bakar pesawat yang kapasitasnya hanya 65 liter per jam. Pesawat ini bisa menghabiskan 13 liter per jam dengan kecepatan rata-rata 120 kilometer per jam.
Ia mendengarkan input data suara itu melalui tombol yang diletakkan di paha sebelah kanan. Tapi Hilton-Barber tetap mengendalikan gantole ini secara manual dengan panduan suara mesin. Kedua tangannya memegang kemudi, kaki kanannya menginjak gas dan kaki kiri rem. ”Mekanismenya seperti gantole biasa, tapi untuk menguasainya tetap perlu latihan keras,” ujar Wunwun.
Sinyal suara diterima melalui headset di helm yang dikenakannya. Headset ini menghubungkan Hilton-Barber dengan Air Traffic Control di setiap pelabuhan udara. Gantole dengan berat kosong 217 kilogram ini juga dilengkapi dengan tiga kamera yang merekam semua perjalanan.
Komputer sudah memandu Hilton-Barber sejak hendak lepas landas. Jika pesawat melenceng bergerak ke arah 294 derajat dari yang semestinya arah 290 derajat ke selatan, maka komputer akan mengingatkan dalam beberapa detik. Hilton-Barber bisa mengarahkan pesawatnya ke kiri.
Ketika hendak mendarat di pelabuhan udara El Tari, Kupang, Kamis siang dua pekan lalu, misalnya, komputer memberi tahu Hilton-Barber, pesawat terlalu miring ke kanan. Pesawat itu pun sempat terombang-ambing sebelum akhirnya berhasil dibelokkan ke kiri. ”Ini pendaratan luar biasa. Saya tak akan melupakannya. Saya sangat bahagia bisa mengatasi situasi menegangkan,” tulis Hilton-Barber dalam blog pribadinya.
Saat melayang di udara, peta Global Positioning System (GPS) di gantole bermesin itu dirancang bersuara. Komputer akan mengingatkan bila pesawat berada di luar garis peta. Ketika mendekati Bandara Halim, GPS memberi tahu koordinat bandara secara lengkap. Hilton-Barber tinggal berancang-ancang mendarat.
Dalam soal kecepatan, pesawat mini buatan Pegasus & Mainair Aviation, Inggris, itu sudah disetel tak akan melebihi kecepatan maksimum 152 kilometer per jam. Hilton-Barber juga bisa sesaat mendengarkan lagu atau buku audio melalui fasilitas hiburan dalam perangkat lunak Guide Software Express.
Saat mendarat, Hilton-Barber mendapat panduan suara yang mengukur ketinggian, altimeter. Komputer mengukur ketinggian dengan menggunakan teknologi gelombang mikro sehingga lebih akurat. Teknologi ini biasa dipa-kai untuk kepentingan militer ketika mengarahkan peluru kendali ke sasarannya. ”Semuanya menyenangkan,” kata Hilton-Barber.
Yandi M.R., Ninin Damayanti (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo