Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Skenario Synestia Asal Muasal Bulan

Bulan diyakini terbentuk di dalam bumi ketika masih berupa awan batu panas.

2 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bulan kerap disebut sebagai sisa pecahan bumi yang dihantam obyek berukuran besar. Meski begitu, asal-usul terbentuknya satelit alami bumi itu masih misterius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim peneliti dari University of California Davis dan Harvard University, Amerika Serikat, memberikan petunjuk baru soal masa lalu bulan. Menurut Sarah Stewart, peneliti dari UC Davis, secara kimiawi bulan mirip dengan bumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam laporan risetnya di Journal of Geophysical Research-Planet, bulan disebut terbentuk di dalam bumi ketika planet ini masih berwujud awan batu panas yang disebut synestia. "Ini model pertama yang bisa menyesuaikan pola komposisi bulan," ujar Stewart, pekan lalu.

Synestia terbentuk ketika dua obyek seperti planet bertabrakan yang memicu massa awan batu panas dan berpilin. Obyek ini, bersama bagian-bagian dari planet yang tersisa, mengorbit dan membentuk gugus batuan seperti donat raksasa.

Namun wujud synestia tak bertahan lama, hanya beberapa ratus tahun, hingga ia menyusut seraya memancarkan radiasi panas. Awan batu perlahan mendingin, mulai terbentuk cairan dan berubah menjadi planet.

Nah, bulan terbentuk di dalam planet yang masih panas dengan suhu diperkirakan mencapai 3.300 derajat Celsius. "Tekanannya puluhan kali lebih tinggi," kata Simon Lock dari Harvard University.

Teori populer sebelumnya menyebutkan bulan tercipta ketika ada obyek raksasa menghantam bumi primitif yang tengah terbentuk. Ukuran benda raksasa itu diperkirakan sekitar 10 persen massa bumi atau nyaris sebesar Mars.

Fenomena inilah yang diduga menjadi alasan kemiripan komposisi bumi dan bulan. Tabrakan itu diperkirakan terjadi sekitar 95 juta tahun setelah tata surya terbentuk. Tata surya itu sendiri diprediksi berusia 4,6 miliar tahun.

Hasil studi pada 2015, berdasarkan simulasi orbit planet di tata surya awal, memperkuat teori ini. Meski demikian, ada juga perbedaan besar di bumi dan bulan yang masih sulit dijelaskan.

Sejumlah elemen volatil mudah berubah menjadi gas atau uap seperti potasium, sodium, dan tembaga, banyak terdapat di bumi. Namun, di bulan, komposisinya sangat sedikit. "Tak ada yang bisa membuktikan mengapa hal ini bisa terjadi," kata Lock.

Menurut Lock, teori hantaman besar yang bertahan dalam dua dekade terakhir itu sebenarnya menarik, tapi memiliki kelemahan. Sangat sulit mendapatkan obyek dengan massa besar ke dalam orbit bumi. Peluang terjadinya tabrakan juga kecil.

"Hanya ada beberapa derajat sudut tabrakan dengan obyek-obyek kecil," kata Lock. "Beberapa hantaman yang terjadi pun tidak berpengaruh."

Skenario synestia yang diajukan Stewart dan Lock mengisi kekosongan yang muncul dalam teori hantaman besar. Ukuran obyek itu bisa mencapai 10 kali lipat bumi. Tabrakan antara dua obyek raksasa juga memicu energi ledakan dahsyat yang membuat sekitar 10 persen batu bumi menguap. Sedangkan sebagian lain mendingin.

Dalam fenomena ini, Lock menyebut ada benih berupa gugus batu cair yang berkumpul di tengah struktur serupa donat. Ketika struktur itu mulai mendingin, awan batuan panas terkondensasi memicu hujan di tengah synestia. Curah hujannya diprediksi bisa 10 kali lebih tinggi dari badai terbesar di bumi. SPACE | SCIENCEDAILY | NASA | FIRMAN ATMAKUSUMA


Skenario Synestia Asal Muasal Bulan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus