Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

"PLN" Dari Cimara

Desa cimara, kuningan memanfaatkan air terjun sungai cipicung untuk pembangkit tenaga listrik lebih murah dari pln. sementara banyak orang mengeluh mengenai kenaikan tarif listrik.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBATNYA ini bukan usaha Perusahaan Listrik Negara (PLN) -melainkan sepenuhnya usaha perorangan Desa Cimara di Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan (Ja-Bar), kini mandi cahaya. Listrik memancar dari sebuah gardu yang dibangun di kaki tebing. Dari atas mengalir sebuah parit. Ada sebuah bak penampung air dan dilengkapi sebuah pintu. Kalau pintu ini dibuka, air akan menderas dengan kekuatan 400-500 liter/detik. Air terjun inilah yang menggerakkan turbin pada gardu pembangkit. Turbin, karena tekanan air, lantas menggerakkan dinamo. Melalui ban penghubung, dinamo ini menghasilkan daya 30 KVA. Gardu sederhana sebagai pembargkit listrik tenaga air (PLTA) ini kemudian disebut Pembangkit Listrik Cimara (PLC). "Seluruh peralatan, kecuali dinamo, saya kerjakan sendiri bersama anak saya," kata Soekartono, 60 tahun, pemilik PLC yang karyanya dinikmati lebih separuh dari 1.500 penduduk Cimara. Gagasan membangun PLC bermula ketika Soekartono mengunjungi rumah mertuanya pada 1967. "Malam hari desa ini sangat sepi dan gelap Penerangan hanya dari lampu patromaks atau lampu tempel," Soekartono memulai ceritanya. Hal itu menimbulkan keinginan membikin listrik buat mertuanya. "Tapi para tetangga 'kan juga memburuhkan listrik? " Soekartono lantas keliling desa mencari tempat untuk mendirikan gardu pembangkit listrik. Akhirnya ia menemukan aliran Sungai Sipicung yang berasal dari sumber mata air Cipannas, 3 km dari Cimara. Lalu ia mulai bekerja. Dari mana biayanya? "Saya menjual rumah dan truk." Tapi itu ternyata tidak mencukupi. Keuntungan dari pemborongan bangunan, itulah profesi Soekartono sebelumnya, "seluruhnya saya belikan peralatan PLC," tutur lelaki kelahiran Tegal yang berperawakan kecil ini. Sepuluh tahun kemudian, ia baru bisa membeli sebuah dinamo tua buatan Cekoslowakia, dan membuat kipas dari plat baja untuk turbin. "Saya memang terlalu berambisi untuk merampungkan pekerjaan ini sampai melupakan urusan rumah tangga. Hampir dua tahun bekerja sejak subuh sampai larut malam," katanya lagi. Untung anak sulungnya, Indraretno, 28 tahun, membantunya. Tamatan Akademi Teknik Industri Kimia di Semarang ini juga punya minat di bidang listrik. "Terkadang kami bertengkar dalam perhitungan teknis. Saya bekerja berdasarkan pengalaman, Indra berdasarkan teori. Tapi buahnya menggembirakan," kata Soekartono, pensiunan Serma TNI-AL dengan 3 anak dan 4 cucu ini. Juli 1978, segala sesuatunya siap bak penampung dibuka, turbin berputar dan listrik pun menyala. Kedua anak beranak itu pun berjingkrak kegirangan. Mertua pun ikut mencucurkan air mata. Dulu sang buyut pernah bilang: "Saya ingin menikmati listrik sebelum meninggal." Hitung punya hitung, biaya pembangunan pembangkit listrik itu tak kurang dari Rp 17 juta. Kini PLC tersebut dikelola oleh CV Indra, perusahaan milik keluarga Soekartono, yang mempekerjakan 2 karyawan. Seorang bertugas menyalakan listrik dan yang lain mengurus administrasi. Kini ada 160 rumah masing-masing berlangganan listrik antara 100 dan 200 watt. Selain itu PLC juga menyalurkan, penerangan untuk bangunan umum eperti masjid, sejumlah surau dan beberapa jalan desa. Menyala mulai jam 16.00 sampai jam 07.00. Setiap konsumen ditarik iuran Rp 1.000 per bulan. Tarif pemasangan Rp 67.000--sudah termasuk semua peralatan plus bola lampu--diangsur selama 10 bulan. Menurut Kepala Cabang PLN Cirebon, Soegito, proyek semacam itu memang harus komersial. "Kalau tidak, bagaimana bisa jalan?" katanya. Tapi, tentu saja, "Sepanjang tidak lebih mahal dari PLN," umbah Soegito, yang juga menyatakan "angkat topi" terhadap usaha Soekartono. PLN memang memberi izin bagi bisnis listrik Soekartono. Dan dengan kredit BNI 1946, sebanyak Rp 9,5 juta, Soekartono hendak memperluas jaringan listrik selanjutnya. Kini sudah dua desa tetangga yang diincarnya. Yaitu Cidahu (1.700 jiwa) darl Ciwiru (1.500 jiwa)--sekitar 2 km dari Cimara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus