HEBATNYA ini bukan usaha Perusahaan Listrik Negara (PLN)
-melainkan sepenuhnya usaha perorangan Desa Cimara di Kecamatan
Mandirancan, Kabupaten Kuningan (Ja-Bar), kini mandi cahaya.
Listrik memancar dari sebuah gardu yang dibangun di kaki tebing.
Dari atas mengalir sebuah parit. Ada sebuah bak penampung air
dan dilengkapi sebuah pintu. Kalau pintu ini dibuka, air akan
menderas dengan kekuatan 400-500 liter/detik. Air terjun inilah
yang menggerakkan turbin pada gardu pembangkit.
Turbin, karena tekanan air, lantas menggerakkan dinamo. Melalui
ban penghubung, dinamo ini menghasilkan daya 30 KVA. Gardu
sederhana sebagai pembargkit listrik tenaga air (PLTA) ini
kemudian disebut Pembangkit Listrik Cimara (PLC). "Seluruh
peralatan, kecuali dinamo, saya kerjakan sendiri bersama anak
saya," kata Soekartono, 60 tahun, pemilik PLC yang karyanya
dinikmati lebih separuh dari 1.500 penduduk Cimara.
Gagasan membangun PLC bermula ketika Soekartono mengunjungi
rumah mertuanya pada 1967. "Malam hari desa ini sangat sepi dan
gelap Penerangan hanya dari lampu patromaks atau lampu tempel,"
Soekartono memulai ceritanya. Hal itu menimbulkan keinginan
membikin listrik buat mertuanya. "Tapi para tetangga 'kan juga
memburuhkan listrik? "
Soekartono lantas keliling desa mencari tempat untuk mendirikan
gardu pembangkit listrik. Akhirnya ia menemukan aliran Sungai
Sipicung yang berasal dari sumber mata air Cipannas, 3 km dari
Cimara. Lalu ia mulai bekerja.
Dari mana biayanya? "Saya menjual rumah dan truk."
Tapi itu ternyata tidak mencukupi. Keuntungan dari pemborongan
bangunan, itulah profesi Soekartono sebelumnya, "seluruhnya saya
belikan peralatan PLC," tutur lelaki kelahiran Tegal yang
berperawakan kecil ini.
Sepuluh tahun kemudian, ia baru bisa membeli sebuah dinamo tua
buatan Cekoslowakia, dan membuat kipas dari plat baja untuk
turbin. "Saya memang terlalu berambisi untuk merampungkan
pekerjaan ini sampai melupakan urusan rumah tangga. Hampir dua
tahun bekerja sejak subuh sampai larut malam," katanya lagi.
Untung anak sulungnya, Indraretno, 28 tahun, membantunya.
Tamatan Akademi Teknik Industri Kimia di Semarang ini juga punya
minat di bidang listrik. "Terkadang kami bertengkar dalam
perhitungan teknis. Saya bekerja berdasarkan pengalaman, Indra
berdasarkan teori. Tapi buahnya menggembirakan," kata
Soekartono, pensiunan Serma TNI-AL dengan 3 anak dan 4 cucu ini.
Juli 1978, segala sesuatunya siap bak penampung dibuka, turbin
berputar dan listrik pun menyala. Kedua anak beranak itu pun
berjingkrak kegirangan. Mertua pun ikut mencucurkan air mata.
Dulu sang buyut pernah bilang: "Saya ingin menikmati listrik
sebelum meninggal."
Hitung punya hitung, biaya pembangunan pembangkit listrik itu
tak kurang dari Rp 17 juta. Kini PLC tersebut dikelola oleh CV
Indra, perusahaan milik keluarga Soekartono, yang mempekerjakan
2 karyawan. Seorang bertugas menyalakan listrik dan yang lain
mengurus administrasi.
Kini ada 160 rumah masing-masing berlangganan listrik antara 100
dan 200 watt. Selain itu PLC juga menyalurkan, penerangan untuk
bangunan umum eperti masjid, sejumlah surau dan beberapa jalan
desa. Menyala mulai jam 16.00 sampai jam 07.00. Setiap konsumen
ditarik iuran Rp 1.000 per bulan.
Tarif pemasangan Rp 67.000--sudah termasuk semua peralatan plus
bola lampu--diangsur selama 10 bulan. Menurut Kepala Cabang PLN
Cirebon, Soegito, proyek semacam itu memang harus komersial.
"Kalau tidak, bagaimana bisa jalan?" katanya. Tapi, tentu saja,
"Sepanjang tidak lebih mahal dari PLN," umbah Soegito, yang juga
menyatakan "angkat topi" terhadap usaha Soekartono. PLN memang
memberi izin bagi bisnis listrik Soekartono.
Dan dengan kredit BNI 1946, sebanyak Rp 9,5 juta, Soekartono
hendak memperluas jaringan listrik selanjutnya. Kini sudah dua
desa tetangga yang diincarnya. Yaitu Cidahu (1.700 jiwa) darl
Ciwiru (1.500 jiwa)--sekitar 2 km dari Cimara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini