Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bangku pemeriksaan gigi di Klinik Oratio, Bandung, Mahira Mujahida membuka mulutnya. Dalam hitungan menit, expansion plate di tangan pengelola klinik, drg Asri Arumsari, pun terpasang pada rahang atas bocah sembilan tahun itu.
Kejadian pada pertengahan bulan lalu ini mengawali terapi panjang—sembilan tahun—yang bakal dijalani Mahira. Expansion plate adalah alat seperti gusi palsu untuk membantu pertumbuhan rahang atas Mahira yang perlahan-lahan menyempit. Dan biang keladi penyempitan ini terletak pada rahang bawah Mahira yang abnormal: berukuran mini, jauh di bawah normal. Rahang atasnya ikut-ikutan menyempit mengikuti rahang bawah yang kecil.
"Alat ini untuk memperlebar tulang rahang bagian atas," ujar Asri, spesialis bedah mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menjelaskan cara kerja alat yang baru dipasangkan pada rahang Mahira. Akibatnya cukup signifikan. Dengan tulang rahang atas yang makin lebar, ruang untuk lidah Mahira makin luas, juga cukup luas bagi pertumbuhan-perkembangan giginya kelak.
Kasus Mahira menyedot perhatian publik setelah ayahnya, Mufti Ali, menuliskan deritanya di dunia maya. Dosen Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, Serang, Banten, itu antara lain berkisah, Mahira menderita retrognasia, yakni tulang rahang bawah terlalu kecil sehingga mengganggu pernapasannya. Buntutnya, selama bertahun-tahun Mahira tidak pernah tidur lelap.
Berdasarkan pemeriksaan drg Asri, pemimpin tim medis yang menangani Mahira, pasiennya juga menderita Pierre Robin syndrome. Penderita penyakit itu memperlihatkan gejala glosoptosis: pangkal lidah seakan-akan turun ke belakang, sehingga menyumbat saluran napas di kerongkongan, bentuk rahangnya kecil, dan langit-langit mulut tinggi. Sindrom Pierre Robin merupakan kelainan bawaan, meski kadang-kadang dipicu oleh patahnya sendi rahang bawah, misalnya akibat anak terjatuh, sehingga pertumbuhan rahang bawah bermasalah. "Mahira adalah kasus kelima yang kami tangani," kata Asri.
Pertumbuhan tak normal itu dialami Mahira sejak berusia dua tahun hingga mencapai sembilan tahun. Mufti Ali, warga Pandeglang, Banten, mengaku sudah membawa Mahira ke 150 dokter di berbagai tempat di Tanah Air. "Tapi hasilnya tidak ada yang signifikan," ujarnya.
Pada April-Juni lalu, Mahira sempat dibawa ke Dental Centre, National University Hospital of Singapore. Setelah mendapati gejala retrognasia, tim dokter di sana berencana melakukan operasi untuk menormalkan rahang bawah Mahira pada November depan. Mendengar biaya operasi dan tetek-bengeknya diperkirakan mencapai Rp 309 juta, Mufti pun bingung. Harta bendanya sejauh ini sudah terkuras untuk biaya pengobatan anak keduanya itu. Akhirnya, ia memilih dunia maya untuk curhat.
Melalui media itu, Mufti menemukan nama Asri Arumsari di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Pada pertengahan Juli lalu, Mufti bertemu dengan Asri. Pada kesempatan itu, ia juga dipertemukan dengan tiga keluarga penderita retrognasia yang ditangani Asri, termasuk keluarga Siti Rahmi. Selanjutnya, pada akhir Juli, Mahira menjalani pemeriksaan awal di Poliklinik Bagian Bedah Mulut Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Rangkaian terapi telah disiapkan. Untuk menormalkan rahang Mahira, Asri menyiapkan jurus yang sudah diterapkan pada pasien lain. Bersama timnya, ia akan melakukan distraksi osteogenesis pada rahang bawah Mahira. Ini adalah operasi pemotongan tulang rahang dengan teknik khusus sehingga terjadi perenggangan di titik potong. Berikutnya, di lokasi tersebut bakal tumbuh tulang baru sehingga rahang bawah jadi lebih panjang.
Asri merencanakan penambahan 2,5 sentimeter pada rahang bawah Mahira—penambahan ini akan membuat rahang atas "mendarat" pada rahang bawah dengan pas. Untuk itu, distraktor akan dipasang di dalam rahang kanan dan kiri Mahira (intra oral). Alat perenggang ini akan disetel dengan penambahan panjang satu millimeter sehari sehingga dibutuhkan waktu 25 hari untuk mencapai target. Distraktor tetap akan berada di rahang Mahira hingga empat bulan berikutnya sampai akhirnya tulang rahang yang baru terbentuk menjadi matang. Kalau hal itu sudah beres, barulah dokter ortodontis turun tangan untuk merapikan gigi Mahira yang tumbuhnya berantakan.
Untuk membiayai operasi ini, PT Pertamina turun tangan. Bujetnya, menurut Asri, sedang diajukan ke bagian keuangan rumah sakit, tapi diperkirakan bisa lebih dari Rp 100 juta. Sebab, untuk pemesanan alat saja, sudah habis lebih dari Rp 70 juta. Rencananya, jika alat sudah datang, operasi dilakukan selepas Lebaran. "Semoga semuanya lancar," kata Mufti Ali, penuh harap. Melalui rangkaian tindakan medis itu semua, praktis berbagai keluhan Mahira—seperti susah tidur karena jalan napasnya terganggu—akan hilang.
"Memang prosesnya panjang dan lama," ujar Asri, yang mempelajari teknik distraksi osteogenesis di Universitas Hong Kong. Ia optimistis Mahira bakal bisa tampil dengan wajah baru laiknya anak kebanyakan.
Dwi Wiyana, Angga Sukma
Rahmi Lebih Percaya Diri
Gayanya pede abis. Tak terlihat sedikit pun rasa minder. Itulah penampilan Siti Rahmi, warga Jalan Komodor Udara Supadio, Bandung, setelah menjalani serangkaian operasi sejak 2005 untuk menangani bentuk rahangnya yang abnormal. Kini di wajah dara 16 tahun itu tak ada lagi rahang atas yang terlihat menjorok ke depan lantaran rahang bawahnya terlampau kecil, laiknya penderita sindrom Pierre Robin.
Operasi dengan biaya sekitar Rp 80 juta di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, telah membuat kedua rahang Rahmi mengatup sempurna.
"Dulu, sebelum operasi, aku suka minder karena beda dengan anak-anak lain," kata Rahmi saat ditemui di Helmy Yahya Broadcasting Academy, Bandung, Senin dua pekan lalu. Saat itu, bersama teman-temannya, anak sulung pasangan Yanti Mulyantini-Adang Santang Yudiastara ini tengah mempersiapkan tarian modern untuk pementasan di Istana Plaza, Bandung, sehari kemudian.
Menurut Yanti, gejala abnormalitas pertumbuhan rahang bawah Rahmi sudah terlihat sejak ia berusia dua tahun. Menyitir pendapat drg Asri Arumsari, spesialis bedah mulut yang mengoperasi Rahmi, pertumbuhan tersebut makin tidak beres setelah Rahmi jatuh dari ayunan pada usia lima tahun.
Rupanya, di luar urusan dagu yang terluka, kepala sendi rahang Rahmi patah. Nah, di lokasi ini kemudian tumbuh jaringan dan penulangan. Itu sebabnya, lama-kelamaan, rahang Rahmi menjadi susah dibuka. Puncaknya, pada 2004, rahangnya sama sekali terkatup. Untuk mengganjal lapar, makanan harus dijejalkan lewat lubang mulut di sela-sela rahang bawah dan atas.
Kondisi berubah setelah Asri dan timnya turun tangan. Pada 2005, penulangan di kepala sendi rahang Rahmi dipotong dan posisinya dibetulkan. Dua tahun kemudian, gigi-gigi Rahmi dipasangi behel agar rapi. Pada tahun yang sama, distraktor dipasang di kanan-kiri rahang bawah Rahmi. Alat khusus yang menembus kulit luar ke dalam rahang ini bisa disetel untuk menarik rahang bawah sehingga bentuknya sama dengan rahang atas.
Untuk menutupi keberadaan alat yang terlihat aneh bagi orang kebanyakan itu, Rahmi kerap memakai kerudung. Ia mengakui repotnya tampil dengan alat yang "menancap" di rahangnya itu. Tapi semangatnya untuk memiliki rahang yang normal mengalahkan kerepotan tersebut.
Setelah sekitar empat bulan dipasang—dan rahang bawah sudah bisa ketemu rahang atas—alat itu pun dilepas. Untuk memantau hasil operasi, saban bulan siswi kelas II sekolah menengah atas itu masih harus menjalani kontrol. Namun ia tak berkeberatan. Sebab, penampilan baru itu membuat Rahmi percaya diri. "Aku tak minder lagi," katanya sumringah.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo