Persidangan kasus Hotel Chitra diwarnai atraksi Kaligis. Saksi pelapor hampir menjadi terdakwa. PERSIDANGAN kasus Hotel Chitra berubah bak panggung sandiwara. Para terdakwa -- pengacara populer O.C. Kaligis, istri bekas Wagub DKI Nyonya Rhumanahwaty Manaf, dua orang dosen senior FH UI (Azhary dan Luay Abdurachman), serta seorang eksekutif Hotel Chitra Anas Mappe Siri, juga pembelanya- rame-rame "menginterogasi" saksi pelapor, Rahmat Sadeli. Malah Anas Mappe Siri berkali-kali menyapa saksi dengan kata "terdakwa". Sampai hakim mengingatkan Anas bahwa ia yang terdakwa, bukan Rahmat. Sedangkan Kaligis- seperti dalam sidang ala negara anglo saxon dengan sistem juri saja -- mondar-mandir di depan meja hijau, melontarkan berbagai "dakwaan" kepada saksi. Menghadapi "akting" Kaligis itu, ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nyonya Kerstijani Doellah, di sidang Kamis dua pekan lalu, memperingatkan, "Saudara terdakwa tidak sopan," seru Kerstijani, sembari berkali-kali mengetuk palu meski sidang sudah ditutup. Kepada TEMPO, Kerstijani menyatakan, jika Kaligis aneh-aneh lagi, ia akan membidikkan tuduhan contempt of court (menghina peradilan). Kaligis, rupanya, tahu gelagat buruk. Pada per- sidangan Kamis pekan lalu, ia tampak "sopan". Kelima terdakwa dituduh mengambil alih pengurusan dan pengelolaan Hotel Chitra secara paksa, dari pemilik yang sah, Rahmat Sadeli- yang mengaku pemilik tunggal. Jaksa A. Hasan Ketaren juga menuduh mereka memalsukan akta rapat umum pemegang saham, menganiaya karyawan, dan merusak hotel di kawasan perdagangan Glodok, Jakarta Barat itu. Persidangan meriah ketika Rahmat Sadeli diajukan sebagai saksi- kedua pihak sudah lama perang di media massa. Semua terdakwa mengeroyok Rahmat dengan pertanyaan "jebakan". Rahmat pun tegang. Sampai-sampai ia perlu meminta minum kepada majelis hakim. Tiap kali Rahmat meneguk air minum, seakan-akan menunjukkan "persamaan di mata hukum", Kaligis juga minum Aqua, yang rupanya sudah dipersiapkan di bawah bangkunya. Pada sidang berikutnya, Kaligis lebih atraktif lagi. Sambil berjalan mendekati Rahmat, ia menunjukkan kertas bukti, berisi persetujuan Luay Abdurachman selaku komisaris PT Citra Lestari (pengelola Hotel Chitra) terhadap permohonan kredit ke BBD, yang pernah diajukan Rahmat sebagai direktur PT Citra Lestari. Sewaktu Rahmat meminta bukti, Kaligis cuma tersenyum lebar. Dengan memutarkan badan, ia mendekap erat-erat bukti tersebut. "Kalau saya tak mau?" ujarnya. Tinggallah Rahmat melongo. Kepada majelis hakim, Kaligis memohon agar Rahmat ditahan karena memberikan keterangan palsu. Buktinya, persetujuan Luay tadi. Jadi, tak benar permohonan kredit itu diajukan Rahmat secara pribadi. Selain itu, menurut Kaligis, laporan keuangan Hotel Chitra pada semester I tahun 1985 tak hanya ditujukan ke BBD, sebagaimana keterangan Rahmat. Tapi juga disampaikan kepada para pemegang saham PT Citra Lestari (Rahmat 48% saham, Rhumanahwaty 48%, dan Luay 4%). Dengan begitu, kata Kaligis, jelaslah Hotel Chitra milik ketiga orang itu -- bukan hanya milik Rahmat. Toh permintaan pihak Kaligis itu tak diindahkan majelis. Sebaliknya Kaligis ditegur agar tetap bersikap sebagai terdakwa, bukan penasihat hukum. Pada sidang selanjutnya, ketika Kaligis minta agar Jaksa Soeryadi selalu menghadiri persidangan (kasus itu ditangani sampai empat jaksa bergantian), Hakim Kerstijani lebih keras. Ia menuding Kaligis tak sopan di persidangan. Jaksa Soeryadi menganggap persidangan kasus itu tak lebih dari teror mental, yang dilancarkan pihak Kaligis terhadap saksi Rahmat. "Pokok perkaranya sendiri malah belum tersentuh," katanya. Dan Rahmat berucap, "Ini sih bukan sidang penyerobotan Hotel Chitra, tapi malah mencari-cari kesalahan saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini