ANAK Agung Made Cakra (53 tahun) 14 tahun yang lalu masih
mengasuh orkes keroncong 'Fajar Baru' dan 'Uril' di Denpasar.
Tapi terlalu mustahil menyandarkan periuk nasi pada musik
beginian di rimba turis. Maka untuk terus menyambung hidup yang
menanggung 8 anak, musikus ini bekerja sebagai tukang cukur di
hulu hati Denpasar. Toh sembari kerja ia selalu ditemani sebuah
biola -- yang pernah dipinjam Idris Sardi waktu pembuatan film
Mama -- untuk hiburan. Berikut adalah wawancara Putu Setia
dengan tukang cukur yang lagi menanjak itu.
Tanya: Bagaimana masa datang lagu 'Pop Bali'?
Jawab: Sangat cerah. Kalau tahun 1966 ke bawah, lagu pop Bali
dicaci dan yang menyanyikannya dianggap orang gila. itu karena
perkembangan belaka. Saat itu ada anggapan lagu Bali tidak
pantas diiringi gitar. Karenanya lagu Kusir Dokar diambil oleh
Sekele Jangger dan musiknya mempergunakan gamelan. Dengan
masuknya lagu pop Jawa ke Bali yang dinyanyikan
penyanyi-penyanyi macam Koes Plus nasib lagu daerah mendapat
tempat di hati orang Bali. Mulanya mereka menyukai lagu itu
karena 'siapa yang menyanyikannya". Kemudian iramanya. Mereka
menemukan secara persis. walaupun tidak jelas tahu apa artinya.
Namun ada semacam pengakuan: lagu daerah ternyata berhak pula
diiringi band". Karena itu dikasetkannya lagu pop Bali cepat
diterima masyarakat, karena bahasanya mudah dimengerti. 1% saja
dari penduduk Bali yang membeli kaset itu, berarti sudah 25.000
buah laku. Belum lagi sasaran ke daerah-daerah transmigrasi atau
di mana ada orang Bali. Minimal membunuh rasa rindunya.
T: Bahasa Bali yang dipakai tingkatannya 'madya'.Pertimbangannya
apa?
J: Kalau bahasanya halus semua. anak muda sukar menerimanya
lihat saja dalam pergaulan sehari-hari, orang sukar berbahasa
halus lagi. Kepada bangsawan lebih mudah berbahasa Indonesia
daripada berbahasa Bali halus. Tetapi untuk memakai bahasa
kepara atau kasar, tentu amat janggal. Ingat ini hasil seni,
jadi tidak enak dibuat dalam bahasa kasar. Namun begitu tidak
semuanya tingkatan madia. Ada juga kita pakai bahasa Bali
halus.
T: Ada rencana-rencana dalam waktu dekat?
J: Tentu. Penyanyi-penyanyi yang pernah memenangkan festival
lagu pop tahun 1974 sudah mulai saya hubungi. Sambutan cukup
baik. jelas suatu bukti mereka tidah lagi minder membawakan
lagu pop Bali. Ada maksud lain pula: menutupi kekurangan alat
musik yang dimiliki.
T: Tidak ada maksud memberi warna lokal pada musiknya?
J: Memang begitu. Selain dengan suling lagu Kusir Dokar
didahului oleh lagu Jaran yang diambil dari Drama Gong.
T: Volume I anda tidak selincah pop Jawa kata orang. Anda
sendiri puas?
J: Saya sendiri tidak puas. Itu rekamannya jelek. Alat di
studionya tidak lengkap, instrumen yang saya pakai juga
pantasnya masuk museum. Volume II akan direkam di Surabaya dan
kalau masih jelek akan langsung ke Jakarta.
T: Berapa banyak volume I dicetak?
J: Wah, persisnya saya tidak tahu. Tapi ada 3 kali pergantian
sampul, itu sudah menandakan lebih dari 5 ribu. (Sampul pertama
bergambar Pan Bleseng, itu kusir dokar yang main dalam film
Balas Dendam. Sampul dua Cakra sendiri dengan dokar, sampul
ketiga darurat. Bali Stereo sendiri menerangkan, setiap sampul
dicetak 2000 buah ) .
T: Di Singaraja ada Gde Dharma dengan grupnya, juga
menyanyikan lagu pop Bali . Merasa tersaing tidak ?
J: Tidak apa kan? Memang sejak zaman kerajaan,Denpasar bersaing
dengan Singaraja. Warna musik Gde Dharma lain ia menyukai lagu
perjuangan. Lagu-lagu saya kocak. Mari kita beramai-ramai bikin
pop Bali.
T: Masih jadi tukang cukur?
J: Wah sibuk latihan. Volume I dibayar Rp 100 ribu dan diberi
persen karena kasetnya laris. Itu cukup untuk hidup 3 bulan.
Kalau volume II (direkam akhir Juli) dibayar sama, saya sudah
punya simpanan untuk hidup setengah tahun. Apalagi sekarang
sering pula diundang manggung untuk penggalian dana di
desa-desa. Yah. praktek cukur ditutup dulu saja,ya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini