Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Situs petirtaan yang ditemukan di dasar sendang atau kolam air Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro, Jombang, Jawa Timur, diduga dibangun zaman Airlangga sebelum Majapahit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dugaan kami mengarah ke sana, bisa jadi situs petirtaan ini dibangun sebelum masa Majapahit dan masih direhab atau dirawat di zaman Majapahit,” kata arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur Wicaksono Dwi Nugroho yang memimpin ekskavasi situs petirtaan Sumberbeji, Senin, 28 Oktober 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, salah satu temuan di situs petirtaan Sumberbeji yang paling berkaitan dengan ketokohan Airlangga dalam sejarah kerajaan di Jawa adalah arca pancuran berupa Garuda hewan mitologi burung setengah manusia. “Sebagai penganut Hindu Syiwa, Airlangga sangat memuja Dewa Wisnu,” kata Wicaksono.
Cerita tentang Dewa Wisnu dalam mitologi Hindu tersebut digambarkan dalam kitab Mahabharata. Salah satu bagian cerita dalam kitab tersebut menceritakan tentang Garuda atau Garudeya. Garuda memiliki kepala, paruh, dan sayap burung namun badan dan kakinya berupa badan dan kaki manusia. “Garuda merupakan tokoh yang jadi tunggangan Dewa Wisnu,” kata Wicaksono.
Arca pancuran air Garuda di area Situs Petirtaan Sumberbeji, Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro, Jombang, Jawa Timur. Situs yang digali dan diteliti Agustus hingga Oktober 2019 ini diduga dibangun zaman raja Airlangga pendiri kerajaan Jenggolo dan Kadiri abad 11 sebelum Singhasari dan Majapahit. TEMPO/Ishomuddin
Arca Garuda yang ditemukan di situs petirtaan Sumberbeji masih menempel kuat di dinding pembatas petirtaan sebelah barat dari pancuran utama. Arca tersebut terbuat dari batu andesit yang menempel di dinding batu bata.
Bentuk dan ukiran arca Garuda tersebut relatif masih utuh dan bagus. Guratan ukiran masih tampak jelas dan terjaga karena arca beserta situs petirtaan terendam air dan tertimbun endapan lumpur atau tanah yang mengeras selama ratusan atau ribuan tahun.
Arca Garuda tersebut menghadap ke timur laut dengan kedua sayap terbentang dan kepala serta paruhnya menghadap ke kiri atau utara. “Tangan kirinya memegang kendi kecil dengan lubang air sebagai pancuran, kaki kirinya menginjak kepala ular, dan tangan kanannya memegang ekor ular,” kata Wicaksono.
Bukti lain yang mengindikasikan situs petirtaan Sumberbeji sudah ada sebelum zaman Majapahit adalah temuan pecahan benda yang terbuat dari keramik porselen diduga pecahan mangkok atau guci khas Tiongkok. “Berdasarkan kualitas bentuk dan warnanya, beberapa fragmen (pecahan) porselen yang ditemukan khas buatan zaman Dinasti Song dan Yuan,” kata Wicaksono.
Dinasti Song berkuasa sejak abad 10 hingga 13 masehi atau sudah ada sebelum Majapahit yang berkuasa di abad 12 hingga 15 masehi. Sedangkan Dinasti Yuan berkuasa di abad 13 sampai 14 masehi atau masih semasa Majapahit. Porselen zaman Dinasti Song dan Yuan sama-sama berwarna khas hijau seladon. “Namun buatan Dinasti Song lebih glossy (mengkilap),” ujarnya. Selain Tiongkok, pecahan benda berbahan keramik porselen juga ada yang terindikasi buatan Vietnam. “Buatan Vietnam biasanya lebih kasar dan kurang rapi,” katanya.
Selain arca Garuda dan pecahan benda berbahan keramik porselen, tim BPCB juga menemukan sejumlah batu bata yang ukurannya banyak digunakan sebelum zaman Majapahit. “Ukurannya lebih besar dari batu bata zaman Majapahit,” kata Wicaksono.
BPCB Jawa Timur telah meregister Situs Sumberbeji sebagai cagar budaya dan merekomendasikan ke Pemerintah Kabupaten Jombang agar ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat kabupaten. Kepala BPCB Jawa Timur Andi Muhammad Said mengatakan situs petirtaan Sumberbeji ini termasuk unik dan penting. “Melihat kondisinya, itu bukan petirtaan biasa, (tapi) petirtaan bangsawan,” katanya.
BPCB masih fokus pada penyelamatan struktur bangunan situs maupun penelusuran benda atau bagian bangunan yang terlepas dari struktur bangunan. Tim juga sedang mengkaji berbagai jenis benda, artefak, atau temuan yang masih menempel di area situs maupun benda yang terlepas dari struktur bangunan area petirtaan. “Dari situ bisa dikaji bangunan ini zaman siapa dibangun,” katanya.
Situs petirtaan Sumberbeji ditemukan di lahan tanah kas desa seluas kurang lebih 5 ribu meter persegi dimana di lahan tersebut terdapat sendang atau kolam air yang digunakan untuk irigasi pertanian. Setelah dilakukan penggalian, luas areal petirtaan yang sementara tampak dan tergali mencapai sekitar 400 meter persegi. Lokasi situs ini terpendam di dasar kolam dengan kedalaman sekitar 2-3 meter dari permukaan tanah atau bibir kolam. Ketinggian struktur bangunan situs bervariasi antara 1,2 hingga 1,5 meter.
Areal petirtaan terdiri dari parit saluran air sebagai hulu atau tempat air masuk sepanjang 14,1 meter dan tinggi 0,69 meter; dinding pembatas petirtaan berbentuk kotak ukuran 19,7 x 17,1 meter; pancuran utama berbentuk kotak ukuran 6 x 6 meter; dan parit saluran air sebagai hilir berbentuk melengkung mengarah timur laut dengan panjang sementara 11,95 meter. Di Pancuran utama berbentuk bujur sangkar tersebut terdapat beberapa lubang atau lorong kecil vertikal, horisontal, dan diagonal sebagai saluran pembagi air.
Sejak survei penyelamatan dan penggalian (ekskavasi) Juli hingga awal Oktober 2019 sementara sudah ditemukan 12 jaladwara atau arca pancuran atau saluran air yang sudah terlepas atau copot dari tempatnya menempel. Jaladwara tersebut memiliki motif ukiran bermacam-macam seperti bunga teratai, makara, dewa atau tokoh, binatang, dan lain-lain. Makara adalah makhluk mitologi Hindu berwujud binatang dengan bagian depan seperti gajah, buaya, atau rusa, dan memiliki ekor seperti ekor ikan atau ekor naga.
ISHOMUDDIN