Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Tim Tanggap Darurat Badan Geologi menyusuri jejak tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018. Hasilnya antara lain ketinggian tsunami yang terukur di Pantai Carita mencapai 5,26 meter. Sedangkan rendaman tsunami di darat yang tertinggi 3,9 meter di daerah Sumur, Sumberjaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim berjumlah tiga orang dipimpin Supartoyo dengan anggota Deden Junaedi dan Ayub Samsudin, menyusuri daerah pesisir Banten selama lima hari sejak 24-28 Desember 2018. Hasil pengamatan dan pengukuran dampak tsunami tercatat menjadi 36 titik lokasi.
Tim mendata empat komponen, yaitu flow depth (FD) atau ketinggian rendaman tsunami di darat. Tsunami height (TH) atau ketinggian tsunami di garis pantai. Kemudian run up distance (RD) atau jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat, serta run up height (RH) atau ketinggian tsunami di daratan. “Ketinggian tsunami di garis pantai dan daratan (TH dan RH) cukup sulit untuk diukur secara langsung di lapangan,” kata Supartoyo, Selasa, 1 Januari 2019.
Hasil pengukuran landaan tsunami di Kabupaten Pendeglang dan Serang.
Hasil pengukuran landaan tsunami di Kabupaten Pendeglang dan Serang.
FD : Flow Depth in cm
TH : Tsunami Height in cm
RD : Run up Distance in m
Karena itu menurutnya, tsunami tertinggi bisa jadi ada di titik lain selain Pantai Carita. Tim di lapangan hanya dapat mengukur langsung melalui pengamatan jejak tsunami seperti di pohon atau bangunan, water mark di dinding, juga ranting pohon yang patah. Petunjuk itu untuk mencatat ketinggian rendaman tsunami di darat dan jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat.
Nilai ketinggian rendaman tsunami di darat, dan ketinggian tsunami di garis pantai, serta jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat, kata Supartoyo, tergantung dari karakteristik pantai dan adanya bangunan penghalang ombak. “Pantai landai tanpa adanya dinding penahan pantai akan lebih jauh jarak landaan tsunaminya dibandingkan pantai dengan dinding penahan pantai atau pantai terjal,” ujarnya.
Data ketinggian tsunami di darat dan jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat, menurut Supartoyo, sangat penting untuk tahapan berikutnya, yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi. Juga dalam menentukan jalur hijau atau zona sempadan pantai, perencanaan pembuatan dinding penahan pantai (sea wall), perencanaan penataan ruang ke depan, dan penyusunan peta Kawasan Rawan Bencana Tsunami (KRBT) dengan sumber pembangkit longsoran akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.
Hasil data juga dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi dalam perencanaan mitigasi bencana tsunami ke depan.
Banyaknya korban dan dampak besar di Selat Sunda wilayah Banten, menurut Supartoyo, diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama adanya acara yang membuat berkumpulnya banyak orang seperti kegiatan gathering PT PLN dan Kemenpora di Resort Tanjung Lesung. Kemudian adanya kegiatan pasar malam di Kota Kecamatan Sumur.
Selain itu, menurut Supartoyo, bangunan penahan ombak tsunami seperti sea wall, retaining wall, vegetasi, terhitung minim. Faktor lain yaitu kedatangan tsunami yang seketika tanpa didahului oleh tanda-tanda, termasuk tidak ada peringatan dini, maupun tidak ada susut laut.
Banyaknya bangunan dan tempat aktivitas manusia di kawasan rawan bencana tsunami, penataan ruang di kawasan pantai Selat Sunda dinilainya tanpa mempertimbangkan potensi bencana tsunami. “Masyarakat juga tidak siap menghadapi bencana tsunami terutama bersumber longsoran akibat erupsi gunungapi Anak Krakatau.”
Pada 22 Desember 2018 pukul 21.30 WIB telah terjadi tsunami yang melanda daerah Selat Sunda. Kejadian tsunami tersebut mengakibatkan bencana di Provinsi Banten dan Lampung. Menurut data BNPB tanggal 29 Desember 2018, kejadian tsunami tersebut mengakibatkan 431 orang meninggal, 15 orang hilang, 7.200 orang luka-luka dan 46.646 orang mengungsi.