AMUK Amerika Serikat jadi kenyataan. Hampir empat minggu setelah bencana Selasa hitam di Amerika, negara adidaya itu, dibantu Inggris, mewujudkan pembalasan terhadap Afganistan, negara yang menurut Amerika didiami para teroris yang juga diduga sebagai pelaku tragedi Selasa, 11 September 2001.
Buat Amerika, penyerangan sejak Ahad pekan lalu itu mungkin sekaligus menjadi ajang pengujian secara langsung dan nyata pelbagai sarana dan sistem teknologi militer mereka yang tercanggih. Aneka persenjataan generasi terakhir digelar Amerika dalam perang ciptaan mereka itu.
Dalam perang ini, yang sepertinya dibuat menjadi tiga tahap, tak satu tahap pun luput dari kehadiran mesin perang terkini. Pada tahap pertama, yang berupa pengintaian, misalnya, mesin-mesin canggih berperan mengumpulkan data militer. "Untuk menentukan sasaran, militer Amerika menggunakan peranti teknologi terbarunya," kata analis dan konsultan militer ABCNews, Anthony Cordesman, pada media itu, Rabu pekan lalu.
Sebelum serangan yang menewaskan banyak warga sipil itu, seabrek data tentang situasi Afganistan dari waktu ke waktu direkam oleh satelit yang nongkrong di ketinggian 320 hingga 19.300 kilometer di atas bumi. Agar data lebih akurat dan rinci, pesawat mata-mata U-2 selama 24 jam penuh juga mondar-mandir di ketinggian 21 kilometer dari bumi Afganistan.
Tak cuma itu. Pesawat tanpa awak Predator, yang terbang lebih rendah, ikut pula men-dukung. Pesawat ini nantinya juga memandu penyerangan, dengan dilengkapi radar dan koneksi ke satelit, kapal induk, dan pesawat AWACS (Airborne Warning and Control System). Semua itu bisa berlangsung dengan komunikasi data seketika (real time data communication).
Himpunan data yang telah diperoleh lantas dikunci dan dimasukkan ke dalam bom-bom jenis JDAM (joint direct attack munitions). Bom-bom berpenuntun satelit ini kelak berperan pada aksi tahap kedua, yakni serangan udara. Pada tahap ini, bom JDAM diangkut pesawat tempur F/A-18C Hornet, yang lepas landas dari kapal induk USS Enterprise—kapal ini bolak-balik di Laut Arab.
Segera setelah dilepaskan, bom JDAM yang dilengkapi komputer mini ini akan dituntun oleh satelit GPS (Global Positioning System) menuju sasaran. Selama menuju target, komputer mengatur sirip pengendali di ujung bom. Secara teoretis, kemungkinan luputnya bom jenis ini dari sasaran hanya satu-dua meter.
Serangan pekan lalu juga dibantu dengan sepuluh pesawat pengebom B-52 dan B-1, yang lepas landas dari pangkalannya di Diego Garcia. Pesawat-pesawat ini menebarkan bom curah jenis CBU-89 Gators. Alhasil, bom-bom bermuatan setengah ton amunisi menyapu kekuatan Taliban. Menurut seorang pejabat militer yang bertugas di satu kapal induk Amerika, rencananya, pesawat pengebom B-2 serta rudal penjelajah tak akan digunakan dalam perang ini.
Episode ketiga adalah operasi darat yang didukung kekuatan penuh serangan udara. Inilah perang yang sesungguhnya—mungkin sedang terjadi saat ini. Kala inilah, udara Afganistan akan dipenuhi raungan bermacam pesawat tempur, mulai dari pesawat tempur AC-130 Spectre, F-14 Tomcats, F/A 18C Hornet, EA-6B Prowlers, sampai helikopter jenis SH/HH 60 Seahawk, E-2C Hawkeyes, dan heli untuk terbang rendah, MH-53J Pave Lows, akan berlomba membombardir Afganistan.
Sementara itu, di daratan, ribuan anggota pasukan elite angkatan darat, laut, dan udara Amerika, dibantu unit antiteroris Delta Force, akan menggempur kekuatan Taliban. Selain memakai rompi antipeluru, pasukan ini dibekali senapan berpelontar granat M4, satu senapan M5, dan pistol 9 mm.
Agaknya, waktu penyerbuan dipilih malam hari. Mungkin karena pasukan Amerika punya kelebihan, yakni berbekal teropong solo jenis AN/PVS-7B. Teropong berinfra merah ini mampu melihat musuh di kegelapan malam. Sasaran cukup dibidik dengan sejenis senjata sinar laser. Ke arah sinar ini pula berbagai bom pintar dari aneka pesawat tadi akan dihantamkan.
Semua itu dikerahkan untuk menggempur unit-unit Taliban yang hanya bersenjatakan peralatan peninggalan akhir abad lalu. Paling banter, mesin perang Taliban hanyalah pesawat tempur tua jenis MiG buatan Soviet. Selebihnya, Amerika hanya jeri pada kenekatan pasukan Taliban ketimbang takut pada rudal darat ke udara (Stingers), Scud, ataupun pelontar roket pasukan santri itu.
Jelas, di atas kertas kemenangan digenggam Amerika. Memang, masih mungkin terjadi kekeliruan. Contohnya, pekan lalu, ketika pesawat dan bom-bom pintar Amerika malah menggempur sebuah kantor lembaga swadaya masyarakat yang didanai PBB.
Persoalannya tinggallah, di mana PBB dan mahkamah internasional, yang sudah disepakati negara-negara di dunia sebagai lembaga penyelesaian kejahatan internasional, termasuk terorisme, ketika Amerika semakin garang menghancurkan negara lain?
Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini