INDONESIA sudah dikenal sebagai penghasil minyak bumi, kendati minyaknya kian tipis. Masalahnya, pengolahan minyak bumi dari minyak kasar menjadi bahan bakar minyak selalu menghasilkan pula limbah berupa lumpur sangat kental (sludge). Ampas ini mencapai 10 persen dari hasil bahan bakar minyak. Sampai kini, sludge di berbagai kilang minyak mencapai sekitar 150 ribu metrik ton.
Tentu jumlah ini cukup besar. Selain itu, sludge dianggap sebagai bahan beracun dan berbahaya bagi lingkungan. Namun, teknik pengolahan limbah tersebut agar bisa dimanfaatkan dan menjadi ramah lingkungan hingga sekarang belum ada yang memuaskan.
Selama ini, teknik yang dikenal adalah cara pembakaran (insenerasi). Tapi cara ini butuh biaya besar. Instalasi pembakarannya bisa seharga Rp 2 miliar. Belum lagi ongkos operasionalnya, antara lain karena menggunakan tenaga listrik sebesar 100 kilowatt per jam. Sebelum pembakaran pun limbah harus dicampur dengan bahan-bahan kimia agar nantinya tak lagi beracun.
Dengan latar belakang itulah, tiga ahli biologi di Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni I Nyoman P. Aryantha, Noorsalam R. Nganro, dan Sukrasno, berupaya meneliti teknik pengolahan sludge yang efektif. Hasilnya, mereka menemukan salah satu jenis mikroba yang mampu menetralisasi berbagai unsur racun dalam sludge, misalnya timbal, perak, zinc, Hg, fenol, sulfida, dan nitrit.
Adapun proses pengolahan sludge dilakukan dengan memasukkan bahan racikan mikroba ke dalam lumpur limbah itu di mesin pengolahan. Dosis racikan mikro-organisme itu sekitar 10 persen dari volume limbah. Mesin pengolahnya berukuran 5 x 5 x 3,5 meter, berdaya tampung 15 ribu liter, juga buatan ITB. Setelah pengolahan selama tiga bulan, sludge dari hasil penjinakan itu ternyata aman buat lingkungan.
Sludge olahan yang ramah lingkungan itu diperoleh tiga peneliti di atas setelah melampaui serangkaian penelitian di laboratorium sejak April 2001. Mereka juga mengonkretkannya melalui uji coba di lapangan, yakni di kilang minyak Cilacap, Jawa Tengah, sejak Mei sampai Agustus 2001. Hasilnya tak beda dengan uji laboratorium sebelumnya.
Untuk lebih meyakinkan, mereka melakukan pula uji biologis terhadap tanaman dan hewan. Lewat pelbagai perlakuan, mereka menggunakan sludge hasil olahan pada tanaman tomat, jagung, cabai, bloemkool, dan jarak. Adapun hewan yang digunakan adalah tikus, udang, dan ikan.
Ternyata, setelah diberi limbah hasil olahan, "Tanaman tidak hanya tetap bisa tumbuh, tapi juga tumbuh pesat," ujar Nyoman. Tanda-tandanya antara lain tanaman lebih sehat, warna lebih hijau, dan batang lebih besar ketimbang tanaman tanpa perlakuan sludge olahan. Hal itu, kata Nyoman, lantaran sludge hasil olahan mengandung senyawa nitrogen dan fosfat layaknya pupuk anorganik yang biasa digunakan petani.
Keadaan serupa juga terjadi pada hewan percobaan. Itu menunjukkan bahwa sifat toksin pada sludge benar-benar lenyap akibat proses pengolahan dengan mikroba.
Persoalannya, bisakah tanaman yang terkena perlakuan sludge olahan itu dikonsumsi, katakanlah buahnya? Untuk soal ini, Nyoman minta agar buah tersebut jangan dulu dikonsumsi. Sementara ini, ia dan dua rekannya baru menyarankan penggunaan sludge olahan untuk tanaman nonkonsumsi. Misalnya tanaman jarak, yang buahnya nanti masih harus diolah lagi untuk memperoleh minyak jarak.
Yang jelas, kolega Nyoman, Noorsalam, meyakinkan bahwa teknik pengolahan sludge dengan mikroba lebih baik ketimbang teknik insenerasi. Biaya teknik mikroba hanya sekitar Rp 200 juta, atau paling tinggi seperlima dari biaya cara pembakaran. Selain itu, teknik mikroba menghasilkan sludge olahan yang ramah lingkungan.
Menurut Nyoman, teknik mikroba untuk mengolah limbah minyak di kilang-kilang minyak ini tergolong baru. Selama ini teknik serupa hanya diterapkan untuk limbah minyak yang tumpah ke laut atau yang dibuang ke lingkungan.
Indonesia pernah mengimpor dua jenis mikroba semacam itu dari Jepang untuk me-netralisasi tumpahan minyak di laut. Namun, mikroba ini sulit beradaptasi dengan iklim dan kondisi lingkungan Indonesia.
Sayangnya, Nyoman serta dua koleganya enggan menyebutkan jenis mikroba temuan mereka. Demikian pula formula racikan mikrobanya. Kata mereka, hal itu berkaitan dengan rahasia hasil penemuan yang kini sedang diproses hak patennya. Mereka hanya mengatakan bahwa agen hayati itu berupa mikroba lokal yang diambil dari tanah, air, dan minyak di sekitar kilang minyak. Mereka menamai formula mikroba itu "Petroba".
Happy S., Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini