Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - SB-1 Defiant, satu di antara kandidat pengganti Helikopter Black Hawk dan Apache Amerika Serikat mencapai rekor kecepatan terbang 205 knot atau 238 mil per jam. Helikopter jenis baru produksi Sikorsky-Boeing ini menggunakan konfigurasi baling-baling yang tidak biasa untuk bisa membawa personel ke medan perang jauh lebih cepat daripada yang bisa dilakukan generasi helikopter transport tempur saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji terbang yang membukukan kecepatan itu dijalani SB-1 Defiant di Pusat Uji Pengembangan Penerbangan Sikorsky di West Palm Beach, Florida, Amerika Serikat, pada 9 Juni 2020. Dalam uji itu pilot dari Sikorsky Bill Fell dan pilot uji dari Boeing Ed Henderscheid memaksa SB-1 hingga 205 knot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecepatan itu melampaui kemampuan helikopter UH-60 Black Hawk, helikopter transport tempur kelas medium yang saat ini digunakan militer Amerika Serikat. Dengan desain daya angkut setara—empat awak dan hingga 12 penumpang--kecepatan terbang maksimal Black Hawk disebut tak pernah melebihi 194 knot.
“Kami memahami kalau kecepatan dan kemampuan manuver di ketinggian rendah sangat penting terhadap kemampuan bertahan secara keseluruhan dalam sebuah lingkungan future vertical lift,” kata Jay Macklin, direktur pengembangan bisnis future vertical lift di Sikorsky kepada wartawan pada 16 Juni 2020.
Defiant adalah satu dari dua kandidat akhir yang berkompetisi dalam program Future Long Range Assault Aircraft (FLRAA) milik militer Amerika Serikat. Kandidat lainnya adalah sebuah tiltrotor Bell V-280 Valor. Nantinya FLRAA akan menentukan satu plaform pesawat ukuran medium terpilih yang akan menggantikan barisan UH-60M Black Hawk juga helikopter serang AH-64E Apache.
Amerika telah menggunakan Black Hawk dan Apache sejak awal 1980-an. Setelah 40 tahun, Amerika berusaha mencari gantinya. Per 2019 lalu, Amerika tercatat memiliki 2.279 helikopter Black Hawk dan 744 Apache. Itu membuat program FLRAA yang akan digulirkan 2022 itu bakal seharga produksi sekitar 3.000 pesawat baru antara 2030 dan 2050.
Helikopter UH-60 Black Hawk membawa penasehat AS dan peserta pelatihan Afganistan saat berangkat dari lapangan udara Kandahar, Afghanistan, 19 Maret 2018. AS berencana untuk memasok total 159 Black Hawks ke Afghanistan di tahun-tahun berikutnya. AP
Dua spesifikasi utama yang disertakan dalam program FLRAA, yakni kecepatan yang lebih tinggi dan daya jelajah melampaui dari yang ada saat ini. Keduanya bisa diterjemahkan kepada kemampuan helikopter transport dan serang untuk lebih cepat dan terbang lebih jauh dalam sebuah medan perang, merespons cepat terhadap ancaman dan perkembangan situasi yang baru.
Sikorsky-Boeing dan Bell merespons program tersebut dengan menawarkan desain yang benar-benar baru. Keduanya tak lagi menggunakan konfigurasi baling-baling utama dan ekor seperti yang umum ada pada helikopter saat ini.
Helikopter Apachee Amerika Serikat ikut ambil bagian dalam latihan Noble Jump 2017 di Cincu, Romania, 14 Juni 2017. Sebanyak 4.000 lebih pasukan dari delapan negara NATO terlibat dalam latihan itu. Inquam Photos/Octav Ganea via REUTERS
Sikorsky-Boeing, misalnya, membuat SB-1 menggunakan sepasang baling-baling utama yang berputar saling berlawanan (co-axial). Sistem ini dilengkapi oleh baling-baling yang memberi daya dorong pada ekor.
Sedang desain yang ditawarkan Bell adalah sebuah tiltrotor mirip V-22 Osprey. Dalam desainnya, helikopter ini mampu merotasi sayap dan baling-balingnya lurus ke atas untuk kebutuhan tinggal landas maupun mendarat secara vertikal, dan mengubahnya menghadap ke depan untuk terbang.
Menurut Defense News, SB-1 Defiant dalam uji terbangnya 9 Juni lalu menyentuh kecepatan 205 knot hanya separuh kekuatan baling-baling utamanya. Jika keduanya digunakan penuh diyakini helikopter bisa dibawa melesat 288 knot. “Kami akan bisa mencapai kecepatan itu dalam beberapa bulan ke depan,” kata Fell, sang pilot uji.
FERDINAND ANDRE | ZW