KABAR suram dari negeri tetangga. Sudah lebih dari 1300 acres
(520 Ha) sawah di sekitar Kuala Selangor di pantai barat
Semenanjung Melayu hancur terserang wereng coklat. Di antaranya
sekitar 400 Ha baru akan dituai bulan ini. Sisanya baru, saja
ditanam, dan hanya sedikit yang tertolong karena sudah siap
panen. Lebih dari 400 keluarga tani terancam kelestarian
perutnya.
Menurut harian New Straits Times yang melansir berita itu 18
Agustus lalu, itu baru pertama kalinya wereng melanda Malaysia.
Tak disebutkan dari mana asalnya. Tapi ada kemungkinan, serangga
itu tiba di Kuala Selangor menyeberangi Selat Malaka dengan
menumpang kapal atau perahu nelayan dari Sumatera Utara.
Maklumlah, serangga biasanya tertarik cahaya lampu kapal atau
petromaks nelayan Dan memang begitu pulalah cara wereng coklat
dari Banyuwangi, Jawa Timur, menyeberangi Selat Bali dan
kemudian Selat Lombok, dua tahun lalu (TEMPO, 7 Juni 1975).
Tapi betulkah musibah yang terjadi hanya 60 Km dari Kuala Lumpur
itu perkenalan pertama antara petani Malaysia dengan hama padi
ini? Masih bisa diragukan. Menurut laporan Centre for Overseas
Pest Research (COPR) yang berkedudukan di Londom semenjak awal
1970-an sudah ribuan hektar pada diganyang wereng di Indonesia,
Filipina, Muangthai, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka, India,
Taiwan, Korea, Jepang dan bahkan juga Kepulauan Solomon di
timur Irian. Jadi boleh dianggap sudah jadi keprihatinan
internasional. Khususnya buat negeri-negeri penghasil padi. Baik
untuk pengganjel perut, mampu pundi-pundi devisa.
Bukan Baru, Pak Thoyib
Meskipun Inggeris bukan negeri pemakan nasi, ekspansi wereng
coklat pembawa virus penyakit kerdil rumput itu tak luput dari
perhatian COPR. Lembaga yang bernaung di bawah Kementerian
Kerjasama Pembangunan Internasional Inggeris itu telah meneliti
daya adaptasi wereng coklat dengan bantuan Universitas Cardiff
di Wales. Terutama masalah peremajaan wereng coklat menjadi
biotypes yang lebih ganas dari pada nenek moyangnya. Untuk itu
Dr Mike Claridge, yang memimpin riset itu, mencomot wereng
percobaan dari Asia Timur. Ia bekerja sama dengan Internasional
Rice Research Institute di Los Banos, dekat Manila.
Masalah biotype wereng ini - yang dibeberkan dengan dramatis
oleh menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya awal bulan lalu -
ternyata bukan masalah baru. Menurut laporan COPR yang disiarkan
London Press Service baru-baru ini, akhir 1974 di Kepulauan
Solomon dan negara bagian Kerala di India wereng coklat telah
mulai mengganyang habis padi unggul IR-26. Setelah diteliti
temyata jenis wereng coklat yang sama telah beradaptasi terhadap
varitas padi unggul tahan wereng (v.u.t.w.) itu. Dari situ
timbullah kesibukan melahirkan generasi v.u.t.w. baru, berpacu
dengan kecepatan adaptasi wereng coklat, yang tiap 12 generasi
berkembang jadi biotype baru. Dan semakin sulit ditumpas.
COPR juga meneliti cara penggunaan insektisida yang paling
efektif. Cara penyemprotan weren selama ini, menurut para ahli
kimia COPR tak banyak gunanya. Sebab serangga itu senang
bercokol di pangkal batang dan daun padi, dekat air. Di situ dia
terlindung dari cipratan insektisida yang disemprotkan dari
pesawat terbang atau pompa semprot pikulan. Sedang obat semprot
yang toh turun ke pangkal batang, sebentar saja sudah habis
terbasuh air irigasi atau hujan. Karena itu, mereka mengusulkan
penyelipan butir-butir insektisida ke akar padi.
Dari situ, insektisida terserap masuk ke sari pati batang, dan
membunuh wereng yang mengisap sari batang padi itu. Racun
serangga yang diselundupkan lewat akar padi itu disebut systemic
insecticides. Sedang yang disemprotkan untuk mematikan serangga
secara langsung disebut contact insecticides.
Slow Release....
"Pil anti hama" yang diselundupkan lewat akar memang sangat
menolong tanaman yang twnbuh di tanah kering. Namun untuk padi
yang terendam dalam air sawah, masih ada kelemahannya. Sebab zat
kimia yang terkandung dalam lumpur di sekitar air dapat
mengurangi daya punah insektisida. Dan menanam pil anti hama itu
di antara akar rumpun padi terang saja makan waktu jauh lebih
lama dari pada menyemprot insektisida kontak dari darat atau
udara. Juga bekerjanya lebih lambat. Makanya disebut slow
release pellets.
Penelitian di Cardiff sudah dimanfaatkan hasiinya di Malaysia.
Seperti dijelaskan Zahari Awang, Kepala Pertanian Pantai Utara:
"Mula-mula sawah yang diserang wereng coklat itu disemproti
insektisida kontak jenis carvaryl dan dieldrin." Tanpa
penyemprotan udara, sebab dia takut meracuni perairan di daerah
itu. Cukup dengan mesin penyemprot dan pengabut yang beroperasi
dari darat.
Ternyata cara itu tak seberapa efektif. Baru Dinas Pertanian
membagi-bagikan 60 ribu Kg systemic insecticides jenis furadan 3
C. Kendati demikian, masih ada juga petani yang mengeluh karena
sudah 3 kali menyebarkan racun serangga di sawahnya, tapi sang
wereng tetap masih sanggup bertahan. Makanya di malam hari
serangga hama itu dicoba dijebak pula dengan lampu. Seluruh
operasi anti wereng itu dikordinasi oleh 31 orang yang terbagi
dalam 9 tim dan tersebar di 22 lokasi. Merekalah yang menentukan
daerah mana yang harus disemprot, dikabuti, atau dipasangi lampu
penjebak, serta saat yang teat.
Namun selain cara-cara represif tersebut, Encik Awang tak
melupakan cara-cara alamiah. Katanya: "Populasi wereng dapat
ditekan, bilamana jumlah pemangsa (predator)-nya meningkat
kembali. Makanya kami mengharapkan musuh-musuh alamiah wereng
ini -- seperti ladybirds dan syrtorhinus -- meningkat lagi,
sehingga hama itu dapat dibatasi secara biologis."
Jangan Obral Semprot
Kedengarannya memang gampang. Namun dalam jangka panjang, tak
cukup hanya dengan melepas burung ladybird atau kumbang
syrtorhinus di persawahan yang terserang wereng. Secara
ekologis, perlu ditegakkan kembali keseimbangan antara areal
pertanian sebagai lingkungan hidup (habitat) serangga hama,
dengan hutan di sekelilingnya yang merupakan habitat serangga
pemangsanya. Sebab di tepi hutan itulah tumbuh aneka ragam
bunga liar yang dihuni serangga parasit dan pemangsa, yang
bertindak sebagai alat 'KB' alamiah terhadap serangga hama di
kawasan pertanian. Dengan kata lain: hutan yang masih tersisa di
sela sawah dan ladang jangan dibabat habis. Malah di mana bisa
dihijaukan kembali. Sebab itulah 'benteng alamiah' petani untuk
membendung gelombang serbuan hama serangga.
Juga penyemprotan pestisida secara besar-besaran seyogyanya
dibatasi. Salah-salah, bukan hanya hamanya yang mati (untuk
sementara). Tapi juga musuh-musuh alamiahnya. Dua faktor itulah
- pembabatan hutan di dekat kawasan pertanian, serta obral
pestisida -- diperkirakan ikut merintis eksplosi wereng di Asia
dan Pasifik semenjak Revolusi Hijau dicanangkan di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini