Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Duka carita dalam duka

Studiklub teater bandung mementaskan lakon jayaprana di tim. para pemain dianggap kurang berhasil menghidupkan peran, karena penyutradaraan suyatna anirun tak jelas.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan pertama kalinya, naskah Jayaprana karya Jef Last --terjemahan H. Rosihan Anwar - dimainkan di TIM. Jakarta. Pertama kali dahulu dilakukan oleh Teater Populer. Kini di tangan Studiklub Teater Bandung dengan sutradara Suyatna Anirun. Kedua-duanya mengambil tempat di Teater Arena. Kedua-duanya juga mencoba memanfaatkan unsur-unsur Bali lewat kostum, tetabuhan - meskipun hasilnya berbeda. Dengan kunjungan penonton yang tipis, tontonan yang berlangsung 34 September itu ditandai oleh beberapa hal yang agaknya khas STB. Ada terasa keinginan untuk mengontrol pertunjukan supaya berlangsung dengan manis dan halus - sebagaimana dahulu mereka pernah berhasil dengan naskah Moliere. Pada dasarnya Jayaprana adalah lakon cinta yang didasarkan atas sebuah cerita yang dianggap pernah benar-benar terjadi di Buleleng, Bali. Sampai saat ini kuburan Jayaprana misalnya masih dapat diketemukan. Dalam kehidupan teater tradisionil Bali yang disebut arja - Jayaprana merupakan lakon dua cerita yang semata-mata bersumber pada hawa nafsu. Tetapi Jef Last telah membuatnya bergeser menjadi lakon perjuangan klas. Aslinya, Jayaprana adalah seorang anak yang dipungut Raja di sebuah desa yang ludas dilahap wabah. Setelah besar anak itu diberi kesempatan memilih jodob. Tetapi gadis pilihannya, Layonsari, ternyata begitu cantiknya sehingga menggugurkan iman Raja. Dengan maksud ambil oper, Jayaprana dikirim ke Teluk Terima untuk memadamkan kerusuhan di sana. Tapi kemudian ia dibunuh oleh Sawunggaling. Tidak otomatis Layonsari pindah ke tangan kaja, tentunya. Wanita itu justru bunuh diri setelah mendengar kematian jagoannya. Maka Raja pun mengamuk edan karena peristiwa ini. Kemudian ia sendiri terbunuh oleh rakyat. Sebaliknya dalam lakon Jef Last, Jayaprana adalah seorang panglima. Ia menolak anugerah raja, karena merasa kemenangan- kemenangannya dalam pertempuran tak lain karena jasa tentaranya. Ia pun berharap rakyat dibebaskan dari pajak yang berat. Muncul pula tokoh "Paman Raja" yang iri pada kedudukan anak muda itu. Dengan berbagai akal ia berusaha menjatuhkannya. Selanjutnya cerita berjalan sama -- meskipun jelas arah pergolakan adalah rongrongan terhadap status quo, perlawanan terhadap feodalisme yang angkara. Tersipu-sipu Setting, yang memangku pementasan anak-anak Bandung ini, dibalut oleh kain hitam. Dekat tembok belakang berderet seperangkat gamelan. Kemudian ada 3 bidang level yang berusaha menolong mengangkat para pemain - tetapi tidak berhasil menggarap ruang. Hanya level mati, yang bahkan mengunci kemungkinan gerak pemain. Kostum yang mengambil dasar warna coklat tampak dikerjakan dengan bersungguh-sungguh. Juga ada perhatian yang teliti pada peralatan pentas. Hanya malihat ketelitian tersebut tidak muncul karena arus permainan yang tertahan-tahan. Kedua badut (para pesuruh) yang hakekatnya menggenggam jiwa lakon mengikuti struktur teater Bali berada di tangan pemain yang lemah. Mereka yang seharusnya memberi komentar irama serta memadatkan jarak antara banyolan dan fikiran-fikiran pengarang serta fikiran-fikiran para tokoh, bermain tersipu-sipu. Dialog dilontarkan sedemikian sederhananya, seningga jangankan keintiman karena dapat mereka garap. Muncul pun tidak. Ini menyebabkan adegan menjadi lamban: letupan-letupannya seperti terbungkus oleh filter. A. Sudrajat misalnya, yang memainkan Wijil sangat lemah dialognya, sementara Bodin S (pesuruh Raja) pada dasamya memiliki potensi yang baik, tapi tergencet oleh ketidakmampuan Wijil. Eka Gandara WK (Raja), Tjetje Raksa Muhammad (Paman Raja) serta Yessy Anwar (Jayaprana), juga tak berhasil menghidupkan peran. Terutama karena garis penyutradaraan Suyatna Anirun tak jelas. Jayaprana Jef Last, kendatipun menjadi drama sosial, sesungguhnya tak lepas dari jiwa teater Bali yang penuh improvisasi di mana kelantangan ekspresi, merupakan mata lembing yang utama. Dan bukan kemulusan dan kecantikan. Diskusi-diskusi, yang melupakan kesibukan penting dalam lakon jadi lebih merupakan perdebatan orang-orang di sekitar meja daripada sebuah peristiwa yang berakar di bumi. Barangkali dengan visualisasi yang lebih kaya, duka carita ini tidak akan menjadi seduka yang kita saksikan di arena itu. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus