Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Topeng, setelah naik pangkat

Grup siswo among bekso mementaskan wayang topeng di tim. kelompok tari yang gigih mempertahankan tari klasik yogya itu berusaha menghidupkan kembali wayang topeng.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGATAN terhadap Topeng Cirebon belum juga memudar. Di Teater Arena TIM, 7 dan 9 September 1977, ditampilkan pula wayang gedog alias wayang topeng oleh grup Siswo Among Bekso dari Keraton Yogyakarta. Ini adalah kelompok tari yang gigih untuk mempertahankan tari klasik gaya Yogyakarta. Agak berbeda dari biasanya, kali ini Siswo Among Bekso sekaligus mengadakan pameran pakaian adat keraton (yang walaupun tak bisa dibilang jelek, lebih baik rasanya jika diselenggarakan terpisah). Nomor tari malam pertama adalah Wayang Topeng, dengan mengambil lakon Bancak Kromo, yang sebagaimana kebanyakan tontonan topeng ditimba dari siklus Panji. Ceritanya begini: Prabu Klana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin, meminang Dewi Tamioyi puteri Kediri - yang sebenarnya telah dipertunangkan dengan Raden Panji Asmarabangun dari Jenggala. Bahkan sebentar lagi pernikahan hendak dilaksanakan. Lalu, selagi di istana orang sibuk mempersiapkan segalanya, calon pengantin puteri menerima tamu gelap di keputerian - seorang perjaka yang halus dan tampan: Jatipitutur namanya. Tamioyi berhasil dibujuk tamunya dan jatuh cinta terperdaya. Dan setelah kedatangan tamu yang tak diundang itu dilaporkan kepada raja oleh emban, gegerlah seisi istana. Anehnya, tak seorang berhasil menangkap pencari ini. Bahkan Imaji, calon mempelai yang gagah perkasa itu pun, tak berdaya melawannya. Doyok, abdi Panji, rupanya tahu gelagat. Cepat ia merubah diri menjadi Pituturjati - yang seperti pinang dibelah dua dengan Jatipitutur. Setelah peperangan yang seru, akhirnya keduanyapun berubah menjadi wujud semula: Bancak dan Doyok, keduanya abdi Panji. Wasana cerita. Dewa memutuskan bahwa Dewi Tamioyi memang dijodohkan dengan Bancak. Dan kalau Dewa menghendaki, siapa yang berani melawan, 'kan? Sebagaimana lakon topeng yang lain, cerita diakhiri dengan perang antara Prabu Klana Sewandana bersama bala tentaranya melawan para pahlawan Jenggala dan Kadiri. Di Luar Istana Seperti halnya di Cirebon, tontonan topeng ini mulanya tontonan rakyat-khusus ditarikan oleh dalang-dalang. Di daerah Yogya. sejauh yang diingat orang, pada tahun 1850 telah terdapat tontonan topeng. Penarinya para dalang wayang kulit. Romhongan semacam ini ngamen keluar masuk desa untuk memeriahkan upacara setempat. Tapi lama-kelamaan ada langganan tetap, hanya karena tempat mainnya yang berpindah-pindah, tah banyak instrumen yang bisa dibawa: saron, gender, gong dan kendang cukuplah. Topeng biasanya dipentaskan hanya di siang hari. Dan sebagaimana tontonan rakyat di Jawa lainnya, ia cenderung tidak ekonomis dengan waktu. Kalau di Cirebon dibutuhkan sehari penuh untuk satu lakon, di Yogya bisa sampai tiga hari. Di beberapa tempat di Sala, orang benar-benar tak berani main topeng pada malam hari, takut tertimpa petaka kata mereka. Dalam pesta yang meriah biasanya siang hari orang menanggap topeng dan malam harinya wayang kulit. Tak jauh beda dengan rekannya di Cirebon, di Yogya pun seorang dalang (penari) topeng memerankan beberapa peranan dengan mengganti-ganti topeng yang dipakai. Tapi yang sangat unik adalah dandanannya yang masih sangat sederhana. Sebagai hiasan kepala hanya digunakan jamang, dari kartun atau kulit, dihiasi daun-daunan. Yang masih segar (berwarna hijau) untuk tokoh-tokoh dari Jenggala dan Kadiri, sedang untuk tokoh-tokoh dari seberang (Sabrang) digunakan daun-daun yang telah berwrna kuning kemerahan. Hanya khusus bagi Klana -- sang Raja - dipakai songkok. Tanpa Bibir Bawah Sudah sejak zaman Kerajaan-Kerajaan Kadiri, Majapahit, Kartasura, tontonan topeng ini diperhatikan, dilupakan, dan diangkat lagi ke lingkungan istana. Sekalipun demikian tak pernah ada bukti-bukti tertulis bahwa tontonan ini pernah ditangani secara tuntas oleh ahli-ahli dari istana. Lagi pula pembinaannya lebih bersifat tak langsung. Di Yogya pembinaan ini pernah dilakukan oleh Krida Beksa Wirama sehabis Perang Dunia II. Sayang sekali saat ini bekas-bekasnya tak menggores kentara. Barangkali memang tidak terlalu mudah untuk meng"halus"kan tontonan yang pada dasarnya dinamis dan penuh spontanitas ini. Ada beberapa hal yang terasa mengganggu dalam pentas Siswo Among Bekso. Pertama-tama masalah topeng itu sendiri, yang untuk menggaulinya dibutuhkan waktu yang tak sedikit. Pada seorang Ibu Suji (Cirebon) yang telah lebil dari setengah abad menjadi dalang (TEMPO 6 Agustus), topeng dan penari telah benar-benar menyatu. Dan kesan seperti itu belum nampak pada pentas Yogya di Teater Arena ini. Topeng yang seharusnya membantu sebaliknya justru lebih banyak mengganggu ekspresi gerak para penari. Nampak misalnya dalam adegan jaranan dan tarian kelompok lainnya: terasa mempersulit penari untuk mencari posisi, bahkan ada kalanya mengganggu stabilitas adeg dan angkatan kaki. Boleh jadi topeng nemang tidak cocok dengan adegan 'kelompok serempak' macam ini. Sebab, sebagai bandingan, adegan dengan jumlah penari lebih sedikit (percintaan antara Jatipitutur dan Tamioyi, serta adegan Lembuamiluhur Ragil Kuning dan Kudoreradi) nampak bersih, rapi dan mengesankan. Masalah kedua yang perlu diperhatikan adalah antawecana atau dialog. Agaknya bukan tanpa alasan jika penari topeng di luar Istana mengenakan topeng dengan menggigit sepotog kulit yang ditempel pada bagian dalam bibir topeng. Karena jika penari hendak melakukan dialog dengan mudah ia dapat mengangkat topengnya dan dialog dapat jelas didengar. Itulah makanya banyak juga topeng yang dibukanya separo muka, tanpa bibir bawah. Hasil ada lagi cara untuk menjaga dialog ini. Seperti yang lazim dilakukan di Bali: tugas ngomong-omong diserahkan kepada orang lain, baik dalang ataupun bonderes. Sebaliknya di lingkungan istana, saat ini, kebanyakan topeng dipakai dengan mengikatkannya ke irah-irahan. Kelihatannya praktis memang, tapi akibatnya dialog penari tak dapat terdengar jelas oleh penonton. Baik disebut bonderes (Bali), bodor (Cirebon) atau punakawan (Jawa), adegan dagelan mengambil peranan yang penting di dalam topeng. Adegan ini sangat digemari khalayak, sehingga tontonan bisa bertahan sehari penuh atau bahkan sampai tiga hari. Barangkali karena kecenderungan tontonan ningrat yang harus "apik" dan "halus", maka dianggap tidak pada tempatnya untuk menonjolkan adegan ini - padahal sangat perlu untuk mengendorkan ketegangan. Bayangkan saja kalau tontonan wayang kulit yang semalam suntuk itu tidak dilengkapi goro-goro. Kecenderungan lain, setelah "naik pangkat", topeng ini lebih diabadikan untuk menjelaskan cerita. Jika di luar istana adegan-adegan-adegan dapat dikembangkan dengan bebas dan hidup di kisah adegan berhenti sebagai penopang cerita semata-mata. Ini jelas bukan kesalahan Siswo Among Bekso sebab dalam keadaan semacam itulah ia mewarisinya. Secara keseluruhan wayang gedog ini kurang tuntas digeluti. Barangkali karean latihan yang cuma sebulan itu. "Ada beberapa hal yang menjadi penghambat," Dinusatomo BA - ketua rombongan menjelaskan "Wayang Topeng baru untuk pertama kalinya coba digarap oleh Siswo Among Bekso. Lagi pula tak cukup waktu." Memang, usaha menghidupkan kembali wayang topeng ini patut dihargai. Dengan penari-penari yang dipunyai, Siswo Among Bekso akan mampu tampil lebih mengesankan. Tontonan topeng telah naik pangkat, cuma lantaran wisudanya tidak dipersiapkan secara matang, ia jadi kikuk sendiri. Kurang sreg. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus