PERGANTIAN pemerintahan ternyata menelan korban hukum. Itulah yang menimpa delapan perwira menengah polisi, termasuk Komisaris Besar Alfons Loemau. Semasa Presiden Abdurrahman Wahid, mereka menentang mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Surojo Bimantoro. Namun, begitu Bimantoro dikukuhkan kembali sebagai Kapolri oleh Presiden Megawati Sukarnoputri, mereka dijadikan tersangka dan ditahan.
Rupanya, Alfons tak bisa menerima kesewenang-wenangan Bimantoro. Melalui 32 orang pengacara, Senin pekan lalu, ia mempraperadilankan pimpinannya itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ternyata, belum lagi praperadilan itu dijamah hakim, sore hari itu juga, enam perwira menengah tersangka dipindahkan penahanannya dari Markas Besar Kepolisian ke markas Brigade Mobil (Brimob) di Kelapadua. Hanya seorang perwira, dan Alfons, yang diboyong ke rumah sakit kepolisian di Kramatjati karena sakit maag.
Alfons dan tujuh rekannya disangka telah membangkang perintah atasan, melanggar disiplin polisi, dan melakukan tindak pidana militer. Itu gara-gara mereka menyampaikan pernyataan pers di Kafe Waroeng Menteng, Jakarta Pusat, pada Ahad, 22 Juli 2001. Dalam acara itu, mereka menganggap Jenderal Bimantoro bukan Kapolri dan Sidang Istimewa MPR tidak sah.
Selain itu, di depan sekitar 200 rekan sesama perwira menengah di Gedung Yudha Mabes Polri, mereka juga mengikrarkan "Pernyataan 9 Juli 2001". Pernyataan ini menandingi sikap 102 jenderal yang mendukung Bimantoro. Waktu itu, Presiden Abdurrahman Wahid sudah memberhentikan Bimantoro sebagai Kapolri. Belakangan Presiden juga melantik Jenderal Chaerudin Ismail, yang sebelumnya dijadikan Wakapolri, sebagai pemangku jabatan semen- tara Kapolri.
Persoalannya, kata salah seorang pengacara Alfons, Irfan Melayu, penangkapan Alfons pada 25 Juli 2001, Rabu dua pekan lalu, melanggar aturan. Saat itu sesungguhnya Alfons datang ke Mabes Polri untuk mengklarifikasi tuduhan bahwa dirinya buron. Ternyata, ia malah ditangkap dan kemudian diperiksa di markas Brimob.
Sudah begitu, sebenarnya pemeriksaan Alfons direncanakan pada 27 Juli 2001. Itu diketahui Alfons dari surat panggilan yang diterimanya pada Rabu dua pekan lalu.
Janggalnya pula, surat penangkapan Alfons dibuat berdasarkan perintah Kapolri tertanggal 22 Juli 2001 pukul 04.00. Kapolri memerintahkan agar Alfons diperiksa untuk kasus pertemuan di Waroeng Menteng. Padahal, acara di Waroeng Menteng berlangsung pada 22 Juli 2001 pukul 20.00. "Kok, nggak sinkron jam dan tanggal surat-suratnya. Ini kan konyol," ujar Irfan.
Irfan juga mempersoalkan wewenang Kapolri menahan dan menyidik Alfons. Sebab, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000, polisi tak lagi menjadi bagian dari TNI, sehingga harus tunduk pada peradilan umum, bukan ke jalur per- adilan militer.
Toh, Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Didi Widayadi, menganggap proses hukum terhadap Alfons dan tujuh rekannya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Mabes Polri juga mempersilakan Alfons menuntut keadilan melalui praperadilan.
Namun, Sekretaris Indonesian Police Watch, Slamet Siahaan, menganggap tuntutan hukum terhadap delapan perwira menengah itu ber- lebihan. Sebab, manuver Alfons dan rekan-rekannya tak lepas dari gonjang-ganjing politik lalu, baik menyangkut pertikaian antara kubu Bimantoro dan pihak Chaerudin maupun perang antara Presiden dan parlemen.
Seharusnya, untuk mendukung suasana demokrasi, "Dengan paradigma polisi yang bukan lagi militer, namun sudah sipil, perbedaan sikap begitu wajar saja," kata Slamet. Hal serupa juga pernah terjadi di TNI, yang akhirnya cuma berujung dengan peringatan terhadap Agus Wirahadikusumah dan Saurip Kadi. Jadi, Bimantoro, yang kini secara politik berada di atas angin, tak usah main gampang menimpakan balas dendam pada delapan perwira itu.
Justru masalah utamanya, tambah Slamet, bagaimana mengakhiri pertikaian di kepolisian. Memang, setelah Mahkamah Agung pada Selasa pekan lalu membatalkan keputusan presiden semasa Abdurrahman tentang organ Wakapolri, Presiden Megawati kemudian mencabut keputusan itu. Megawati juga mencabut keppres pemberhentian Bimantoro dan pengangkatan Chaerudin. Padahal, ada baiknya bila dipilih Kapolri baru yang ber-sikap netral—bukan Bimantoro ataupun Chaerudin.
Happy S., Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini