Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny Likumahuwa, 62 tahun, menepuk-nepuk kedua belah pipinya, mengeluarkan suara seperti perkusi. Setelah solo itu, ia membalikkan tubuhnya lagi, menghadap ke 20-an pemusik. Mantan peniup trompet The Rollies itu tengah memimpin Salamander Big Band—sebuah big band dari Bandung. Lalu mengalirlah lagu-lagu, dari Samba de Gringo sampai medley-nya Miles Davis.
Kelompok big band yang tampil dalam Java Jazz bukan hanya Ron King Big Band. Selain Salamander Big Band itu, dari Yogya ada The Kirana Big Band, dari Jakarta ada Jazzmint Big Band dan Hypersax. Juga The Galaxy Big Band.
Anggota grup yang disebut terakhir itu semuanya ekspatriat asal Jepang yang bekerja di Jakarta. Mereka mendirikan big band pada 1992 dan dikenal telah banyak tampil di berbagai kafe Jakarta.
Benny mengakui, munculnya berbagai kelompok big band di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogya merupakan kecenderungan baru dalam belantika musik Tanah Air. ”Harus diakui bahwa festival seperti Java Jazz ini merangsang munculnya big band,” katanya.
”Zaman saya di Rollies, sama sekali tak ada big band,” ujarnya. Di antara generasi awal Rollies tahun 1968, hanya dia dan gitaris Tengku Zulian Iskandar yang masih hidup. Deddy Stanzah, Iwan Krisnawan, Delly Djoko Alipin, dan terakhir Bangun Sugito sudah meninggal. Sebelum bergabung dengan Rollies, pada 1960-an itu Benny adalah anggota band jazz dari Bandung bernama Crescendo.
Dialah yang mengajari anggota Rollies memainkan instrumen tiup trompet, trombon, dan saksofon. Kemudian ia malang-melintang di dunia jazz, termasuk mendirikan Benny Likumahuwa Big Band pada 1996. Sekarang ia konsultan sekolah musik GladiResik Music Lab di Jalan Hang Lekiu, Jakarta. Di usia tuanya, Benny masih memimpikan dapat menghimpun anak asuhnya dalam sebuah big band. ”Paling sedikit anggota big band harus 18 orang,” kata Benny. Ada 15 pemain alat tiup: ”Lima pemain saksofon, 5 pemain trompet, 5 pemain trombon,” serta seorang pianis dan gitaris sebagai tambahan.
Mendirikan sebuah big band di Jakarta cukup susah. Mengumpulkan pemain musik sebanyak itu untuk latihan rutin—selain harus mencari tempat—tak bisa gratis. ”Semua pasti minta dibayar,” ungkapnya. Maka ia girang ketika berkenalan dengan Salamander Big Band dari Bandung. Kelompok ini mau sukarela berlatih dengannya. ”Mereka mau tak dibayar,” ungkapnya. Menurut Devy Ferdianto, Direktur Salamander Big Band, kelompoknya merupakan satu-satunya big band di Bandung yang berlatih rutin seminggu sekali. Lulusan seni rupa Institut Teknologi Bandung itu mendirikan kelompok ini baru pada 2004. Mula-mula banyak anggotanya yang tak lancar membaca not balok. ”Seluruh aransemen lagu dari Benny,” katanya. Ia mengaku senang kelompoknya disentuh oleh musisi kawakan seperti Benny. ”Kini tinggal jam terbang saja,” katanya.
Akan halnya The Kirana Big Band, yang datang dari Yogya, malam itu memainkan lagu Mas Que Na Da. Agung Prasetyo, lulusan Jurusan Musik Klasik Institut Seni Indonesia, menjadi konduktornya. Mereka datang dengan 4 pemain trompet, 4 pemain trombon, 5 pemain saksofon, serta 4 pemain drum dan perkusi. Musisinya campuran dari mahasiswa Institut Seni Indonesia dan masyarakat umum.
”Semua anggota saya belajar big band secara otodidak.” kata Agung. Dia sendiri mulanya adalah pembetot bas The Kirana Big Band. Sewaktu awal didirikan, kelompok ini tanpa konduktor. ”Ternyata itu kacau,” katanya.
Sedangkan Hypersax saat pentas menghadirkan penyanyi Bertha melantunkan Highway Star dari Deep Purple. Lagu yang dipilih masing-masing big band itu memang variatif. Jazzmint Big Band, misalnya, dikenal sering mengaransemen lagu populer Indonesia, seperti komposisi Kopral Jono Ismail Marzuki atau Semua Bisa Bilang Charles Hutagalung, dengan nada swing.
Tidak semua kelompok big band di Jakarta dan Bandung hadir dalam perhelatan Java Jazz 2008 ini. Pada 2007, di ITB misalnya diselenggarakan ITB Big Band Festival. Kelompok big band yang tampil kala itu antara lain Zefa & Uncles Big Band dan Bina Bakti Big Band. Mereka tak dihadirkan di Java Jazz. Padahal yang disebut terakhir itu menarik, karena pemainnya rata-rata anak-anak dan remaja, dari SD sampai SMA.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo