Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menunggu Wynton Marsalis

Java Jazz 2008 cukup bermutu. Menyajikan musik dengan tingkat variasi tinggi. Penonton ikut memilih siapa bintang jazz yang bakal tampil tahun depan.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frank Sinatra malam itu seolah bangkit dari kubur. Mengajak semua penggemar jazz di Jakarta mengalunkan New York… New York.

Dan tak tertahankan, penonton yang begitu padat, melebihi daya tampung Ruang Assembly Jakarta Hall Convention Center (JHCC), serentak berdiri, ikut menyanyi. Itulah penampilan Gary Anthony, yang kini disebut-sebut seorang penghibur, vokalis, peniru (impersonator) Frank Sinatra paling persis—baik tampangnya, gayanya, maupun suaranya—di Amerika.

Dengan iringan big band pimpinan Ron King, Anthony berhasil membuat suasana seperti era kejayaan big band di Amerika tahun 1950-an. ”Seperti di film-film,” bisik seorang penonton.

Sosok Gary Anthony mencuat lantaran terpilih memerankan sosok Frank Sinatra dalam iklan promosi National Basketball Association. Dalam iklan itu ia menembang lagu Sinatra I’ve Got You Under My Skin. Wajahnya mirip Sinatra. Malam itu ia mengenakan jas hitam, dasi kupu-kupu. Simak bagaimana ia mengangkat topi, menyanyi sembari memasukkan tangan kanannya ke saku. Lihat bagaimana ia melemparkan kaki kanan, kiri, ketika memeragakan dansa. Ia menembangkan tak kurang dari 20 lagu Sinatra: Fly Me to the Moon, My Way, I Get a Kick Out of You, You are The Sunshine of My Life, Let Me Try Again….

”Thank You, Frank.…” Tangannya menebar ciuman ke atas, seolah memberi hormat ke almarhum Frank Sinatra.

Inilah salah satu sajian Java Jazz yang paling membekas, walau festival ini telah lewat seminggu. Sebuah festival kerap diselingi unsur nostalgia. Dan penampilan big band dengan seksi tiup yang meriah mengisi itu. Selain mengiringi ”Sinatra”, Ron King dan kawan-kawan juga mendampingi penyanyi Renee Olstead, yang masih sangat muda, 18 tahun. Olstead, yang pada umur 15 tahun sudah memproduki album jazz, oleh para kritikus dianggap memiliki kemampuan vokal luar biasa. ”Hari ini saya ingin menyanyikan lagu Ella Fitzgerald, Billie Holiday.…”

Seperti tahun lalu, Java Jazz kedatangan tokoh-tokoh gaek. Penonton Java Jazz tahun 2005 masih ingat bagaimana James Brown manggung. Umurnya saat itu 71 tahun. Ia masih dengan energetik melantunkan lagu pusakanya: Sex Machine. Pada Desember 2006 kita mendengar kabar ia meninggal. Dan kini datang George Clinton, salah satu bapak funk. Usianya 67 tahun. Jalannya sudah tertatih-tatih.

Bila para rapper kita seperti Iwa K. atau Ras Muhammad dalam kesempatan Java Jazz kali ini berusaha memadukan hip hop dengan jazz, George Clinton agaknya bisa menjadi referensi yang baik. Clinton pernah bekerja sama dengan almarhum Tupac Shakur—musisi hip hop yang lagu-lagunya penuh persoalan ras dan tewas tertembak pada 1996 di Amerika. Malam itu Clinton, dengan rambut gimbal, telanjang dada, bermain gitar, tampak tak mau tua. Funk-nya bergaya pemberontak.

Vokalis muda yang menggebrak adalah Kenneth ”Baby Face” Edmond. Aksi panggung anak ini berusaha romantis. Ia membuka penampilannya dengan lagu populer Knockin’on Heaven’s Door. Ia memainkan gitar akustik, bertutur bagaimana tatkala kecil ia begitu antusias mendengarkan lagu-lagu Bob Dylan, juga James Taylor, di radio. Ia bercerita bagaimana lagu pertamanya yang menggunakan gitar akustik tercipta ketika pertama kali ia berciuman.

Dan muncullah Manhattan Transfer. Kuartet yang terdiri Tim Hauser, Cheryl Bentyne, Janis Siegel, dan Alan Paul ini masih belum tertandingi. Penampilan mereka mengingatkan bahwa mereka memiliki hit tentang kopi Jawa.

I love coffee, I love tea…. I love the java jive and it loves me. Coffee and tea and the java and me… a cup, cup, cup, cup.... Dan suasana tambah segar ketika malam itu mereka memelesetkan lirik menjadi: Coffee and tea and Jakarta and me....

Kemampuan harmoni yang tinggi membuat kelompok ini bisa bertahan lebih dari 35 tahun. Para pengamat melihat kekuatan Manhattan adalah kemampuan mereka menampilkan suatu close harmony—kekompakan bernyanyi yang jarak nadanya begitu rapat. Dan malam itu kita melihat memang kemampuan mereka mengeksplorasi nada-nada yang sangat variatif: dari swing, bebop, boogie-woogie, sampai soul. Masing-masing terlihat memiliki kemampuan scat singing, menirukan bunyi-bunyian tanpa kata. Aksi demikian yang tidak muncul pada pentas Boby Cadlwell dan James Ingram, sehingga pertunjukan keduanya agak membosankan.

Veteran jazz lain yang tetap mempesona adalah Joe Sample dan The Crusader. Joe Sample dikenal sebagai pemain keyboard jazz tangguh. Pada 1960 di Houston Texas, ia membentuk The Crusader. Ke Jakarta ini ia didampingi Wilton Ferder, peniup saksofon The Crusader formasi awal itu. Untuk drum, ia menggaet drumer kawakan Steve Gadd, dan gitar dimainkan Ray Parker Jr. Penampilan Joe Sample rileks. Seperti pernah dikatakan Wilton Ferder, The Crusader tumbuh dari jalanan, bukan dari studio. Mereka menyerap jazz yang berkumandang dari restoran sampai rumah-rumah dan kemudian membalutkannya dengan jazz yang avant garde. Maka itu komposisi mereka tetap enak dicerna di kuping.

Java Jazz juga memberi ruang bagi gaya jazz yang lain. Omar Sossa, yang tahun lalu datang, kembali hadir. Masih dengan sorban putihnya. Gayanya mengentak-entak. Ia membalurkan jazz dengan spirit perkusi etnik Kuba. Dari Brasil hadir Gabriel Grossi dan Daniel Santiago. Mereka membawakan duet harmonika-gitar.

Grossi seniman harmonika. Lagu-lagunya bertolak dari spirit jazz Brasil, namun beat-nya tidak mencolok menampilkan samba, bosanova, seperti Sergio Mendez tahun lalu. Tiupan harmonikanya tidak melodius, tidak membuat bergoyang, tapi menyentuh, baluran nada-nada tradisi dan smoky jazz. Dua album yang dikeluarkan Grossi, Arapuca dan Afinidade, yang dijual pada saat pergelaran, menunjukkan hal itu. Menurut dia, harmonika dapat mengeluarkan bebunyian perpaduan antara akordeon dan drum.

Penampilan Chico & the Gypsies juga membuat Java Jazz kali ini segar. Kita ingat, di Java Jazz tahun 2005, seorang lelaki gypsy gondrong bernama Harri Stojka asal Austria menenteng gitar. Permainannya begitu memukau. Ia mewarisi gaya Gypsy Swing trubadur Django Reinhardt. Meski tidak berpentas di panggung utama Java Jazz—hanya di lobi dekat pintu masuk JHCC— permainan Stojka meninggalkan bekas mendalam.

Dan sekarang, begitu penonton melihat para anggota Chico & the Gypsies memainkan lagu, kaki mereka tak bisa diam. Lagu-lagu mereka begitu akrab. Chico Bouchiki ternyata adalah pendiri The Gypsy King. Lelaki keturunan Maroko ini pada 1970-an dikenal akrab bersama anak-anak keluarga Jose Reyes, penyanyi gypsy yang pernah manggung sampai Carnegie Hall, Amerika. Keluarga Reyes kala itu tinggal di karavan, sering ”memarkir” karavannya di kawasan tanah milik keluarga Bouchiki di Arles, Prancis Selatan. Chico bersama anak-anak Reyes membentuk Los Reyes. Pada 1983 mereka membentuk The Gypsy King. Pada 1992 ia keluar membentuk Chico & the Gypsies. Penonton yang akrab dengan lagu Gypsy King tak berkuasa berjingkrak-jingkrak, ikut bergoyang mengikuti Bem Bem Maria, Bamboleo, Djobi... Djoba....

Tahun depan, seyogianya diperbanyak variasi musik seperti ini. Adalah menarik, pihak Java Jazz ingin ikut melibatkan penggemar jazz untuk memilih siapa saja yang bakal datang, lewat email resmi mereka. Mau BB King? Michael Frank? Al Dimeola? Pat Metheny?

Dalam daftar, misalnya, disebut gitaris John McLaughlin—pendiri kelompok Mahavisnu Orchestra. ”John McLaughlin itu harus datang,” kata pengamat musik Deny Sakrie. Tahun lalu John McLaughlin, bersama pemain tabla Zakir Hussein, diundang komunitas masyarakat India di Malaysia untuk pentas. Sayang, ia tak mampir ke Jakarta.

Tapi konfirmasi yang sudah pasti bisa hadir nanti adalah pemain terompet terkemuka dan kontroversial Wynton Marsalis. Seperti disebut Music, majalah resmi untuk Java Jazz, ia akan datang bersama Lincoln Centre Jazz Orchestra. Itu sudah menjadi daya tarik sendiri, bagi Java Jazz tahun depan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus