Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Under Suprematism I understand the supremacy of pure feeling in creative art. To the Suprematist the visual phenomena of the objective world are, in themselves, meaningless; the significant thing is feeling….”
Manifesto itu berumur 95 tahun—hampir satu abad. Pada 1915, Kazimir Malevich, perupa Rusia, menulis manifesto lahirnya gerakan bernama Suprematism. Malevich ingin membebaskan lukisan dari tendensi sosial dan mengembalikan kanvas ke ekspresi perasaan paling murni.
Itu dimulai pada 1913, saat Malevich bereksperimen dengan pensil menggambar kubus kubus hitam di bidang kertas putih. Selama enam tahun Malevich bergulat dengan bentuk bentuk segitiga, lingkaran, dan garis di atas bidang kosong. Ia tertarik pada teosofi yang mengajarkan bagaimana rohani mengatasi materi. Maka bidang hitam atau putih baginya bukan sesuatu yang melompong melainkan sebuah sensasi non obyektif, yang menampilkan ketakterbatasan.
Pada 1919, Malevich mendeklarasikan Suprematism telah selesai. Sungguh sebuah periode yang singkat. Dihentikannya eksperimen Suprematism mungkin karena Rusia berubah. Revolusi Bolshevik kita tahu terjadi pada 1917. Dan visi realisme sosialis mendominasi Rusia kemudian.
Tapi sejarah seni rupa mencatat eksperimen Malevich mendahului gerakan abstrak Jackson Pollock di New York. Dan berbarengan dengan kubisme di Eropa yang disekondani Pablo Picasso dan Georges Braque. Maka ketika di Galeri Nasional kita dapat menyaksikan lukisan lukisan Malevich dari periode itu, sungguh berharga. Pameran ini bertajuk Avant Garde & Architecture of Consciousness. Pameran ini diselenggarakan untuk pertemuan APEC 2012 di Vladivostok. Indonesia mendapat kehormatan: tempat pertama pameran, sebelum dikelilingkan ke negara negara anggota APEC lain.
Selain menyaksikan karya Malevich, kita bisa melihat karya para tokoh abstrak dan kubisme Rusia, seperti Wassily Kandinsky, Alexander Rodchenko, Lyubov Popova, Alexei Morgunov, dan Alexandra Exter.
Mereka memiliki cara melihat yang berbeda terhadap realitas. Yang tampil pada kanvas mereka bukan penampakan luar, melainkan gerak gerak murni dari alam. Kanvas mereka banyak menampilkan bentuk geometri sederhana, yang ditempatkan dalam komposisi tak terduga di ruang ruang kosong.
Rodchenko, misalnya, pernah memproklamasikan matinya seni rupa dan menyajikan karya karya hanya dengan warna monokrom. Akan halnya Kandinsky, yang kita tahu juga tertarik pada ajaran teosofi saat mengajar desain di sekolah Bauhaus Jerman (1922 1933), memunculkan karya karya yang mengeksplorasi unsur unsur geometris.
Penggagas proyek pameran ini adalah Sergey Zhemaitis. Yang provokatif adalah dasar kuratorialnya. Ia mengemukakan, selain membuka kemungkinan baru dalam seni rupa dan arsitektur, sesungguhnya ia ingin membuktikan bagaimana karya karya Suprematism Rusia ini relevan dengan sains mutakhir. Banyak unsur gambar mereka klop dengan kode kode gadget telekomunikasi seperti telepon seluler dan Internet yang kita gunakan sekarang. Mereka, katanya, adalah ”nabi nabi” karena mampu membaca penemuan penemuan teknologi masa kini.
Entah ini berlebihan entah tidak. Mungkin lebih aman sesungguhnya membaca bahwa karya mereka mempengaruhi bidang seni lain seperti teater. Malevich dan Rodchenko, misalnya, terkenal sebagai perancang set panggung teater. Karya karya mereka melahirkan gerakan konstruktivisme gerakan yang membebaskan tata panggung teater dari set konvensional berbentuk auditorium.
Tapi baiklah tak usah berdebat. Kita coba saja memasuki argumentasi Zhemaitis. Zhemaitis meyakini bahwa kubisme adalah prinsip yang dipakai dalam teknologi telekomunikasi modern. Katakanlah layar televisi. Gambar yang muncul dalam layar televisi adalah kumpulan kubus dan kotak yang tak berbatas. Dan ia melihat komposisi gambar dalam formasi suprematis yang diciptakan Malevich dan pengikutnya menggunakan prinsip prinsip itu.
Zhemaitis, misalnya, melihat beberapa perupa mengkomunikasikan karyanya tak ubahnya sandi. Seperti The Colours Construction (1917) karya Olga Rozanova. Jelas terlihat banyak pengulangan bentuk, simbol, dan tanda. Kombinasi seperti garis lurus, titik, persegi, lingkaran, dan segitiga secara konstan dibubuhkan. Lalu tengok karya Alexandra Exter: Costume for Romeo and Juliet (1921), yang terdiri atas kode kode membentuk obyek nyata.
Ilustrasi kode yang konstan dan repetitif semacam itu diyakini Zhemaitis sebagai dasar dari metode digital saat ini, bahwa seni digital tersusun oleh sekian banyak kode yang seragam. Tak kalah menarik ketika Zhemaitis membahas pengelompokan model. Karya Alexander Rodchenko berjudul Black on Black (1918) menampilkan hal itu.
Tengok pula sketsa Kandinsky: ”Free” cement tissue in a rat, yang membuat gambar abstrak tentang struktur biologi. Menurut Zhemaitis, karya ini mirip foto mikrobiologi sebuah kerja saraf.
Bagi Zhemaitis, struktur yang ia temukan dalam beberapa karya seniman juga memiliki struktur holografis. Misalnya karya Mikhail Larionov: Radial Lines (1911). Atau Natalia Goncharova dengan Radial Lilies (1913). Keduanya menganut aliran rayonisme. Efek cahaya yang ditimbulkan dalam kanvas sangat mirip dengan hologram yang tertimpa cahaya meski pada lukisan tampak lebih sederhana.
Bisa jadi karya karya avant garde Rusia ini memang dapat membaca masa depan manusia. Bukankah Mikhail Matiushin, perupa Rusia, mengatakan perupa yang mengarungi genre kubisme dan futurisme dapat melihat apa yang tak bisa dilihat dan dipahami mata pada umumnya?
Tapi mungkin kita tak perlu berpusing pusing dengan detail argumentasi Zhemaitis yang pelik dan pseudo ilmiah itu. Cukup, selepas pulang dari Galeri Nasional, kita mendapat sebuah spekulasi bahwa apa yang paling radikal dari Rusia ternyata bukan hanya realisme sosialis, tapi juga Suprematism, karena terus relevan sampai kini.
Seno Joko Suyono, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo