Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bang, Bung

29 November 2010 | 00.00 WIB

Bang, Bung
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Marco Kusumawijaya
  • Arsitek

    Anda perhatikan jika terbang dengan pesawat Garuda. Kini penumpang akan disapa dengan kalimat ”Bapak dan Ibu yang terhormat”. Di masa lalu, kita sempat mendengar kalimat ”Para pelanggan yang terhormat”, yang membuat kita merasa diperlakukan sebagai subyek pasar semata. Sebe­lumnya, seingat saya pernah pula digunakan ”Tuan tuan dan Puan puan”. Kini kadang kadang juga ”Para penumpang yang ­terhormat”. Tentu saja itu hanya kalau mereka bicara lewat mikrofon. Ketika pramugarinya bertemu penumpang di pintu pesawat, mereka akan menyapa dengan ”Pak” dan ”Bu”.

    Ternyata menyapa orang memang tidak mudah, bisa bikin kikuk. Se­seorang berkebangsaan Amerika meminta maaf kepada saya karena selama ini menyapa saya dengan ”Mas”, setelah ia tahu bahwa saya bukan dari Jawa. Sebenarnya tidak jelas yang dia tahu itu apatah saya ”bukan etnis Jawa” atau ”bukan dari Jawa”. Lalu dia tanya sebaiknya ia menyapa saya dengan apa selanjutnya. Saya bingung: apakah ada sapaan yang netral?

    Seorang perempuan berkebangsaan  Indonesia keturunan Batak tapi kelahiran Jakarta juga merasa tidak enak menyapa saya dengan ”Mas”, setelah ia tahu saya berasal dari Sumatera. Tapi dia merasa janggal juga menyapa saya dengan ”Bang”, karena dia tahu saya keturunan ”non pri”. Akhirnya kami sepakat agar dia memanggil saya ”Bung”. Apakah saya memanggilnya ”Bung” juga? Sedianya begitu, tapi kata bung ber­asal dari orang Maluku yang menggubahnya dari broer (bahasa Belanda yang berarti saudara laki laki).

    Kata bro dan boz kini banyak dipakai di antara sesama laki laki (saya tekankan, ”di antara sesama laki laki”, karena tidak pernah terdengar digunakan oleh perempuan). Apakah kata zus atau ses digunakan di antara sesama perempuan? Mungkin pada generasi tertentu. Saling menyapa ”Mbak” rupanya lebih lazim di antara sesama perempuan sekarang. Secara bergurau beberapa kalangan saling menyebut ”Tante”. Saya pernah mendengar Gubernur Fauzi Bowo menyapa pembantu dekatnya dengan ”Non”.

    Orang Sumatera, misalnya Aceh, Medan, atau Riau, biasa menggunakan kata ”Bang” untuk laki laki dan ”Kakak” atau ”Kak” saja untuk perem­puan. Tapi, kalau mereka menyapa orang yang dikiranya bukan dari Sumatera, kata yang cenderung digunakan adalah ”Pak” dan ”Bu” atau ”Mas” dan ”Mbak”. Sedangkan orang Jawa menggunakan kata ”Kak” atau ”Kakak” hanya untuk saudara laki laki, bukan untuk pe­rempuan.

    Memang, dalam kebudayaan kita ini, menyapa orang berarti dengan sendirinya memposisikan diri dan orang yang disapa secara sosial. Dan itu repot, karena posisi sosial itu setiap saat berubah tergantung pergayutan usia, senioritas (dalam profesi, kadang tidak berhubungan dengan usia), gender, dan keakraban. Seorang mantan aktivis 1960 an yang menjadi menteri Orde Baru, dan biasanya akrab disapa dan menyapa dengan ”Bung”, pernah berbisik kepada sahabatnya, ”Kalau di hadapan staf saya jangan menyapa saya de­ngan ’Bung’ ya!”

    Sutan Takdir Alisjahbana dulu mau memperkenalkan jenis kelamin pada kata benda. Maka jadilah ”saudara saudari”, ”wartawan wartawati”. Untunglah itu tidak perlu kita hiraukan sekarang. Kata ”saudara” sudah mengandung kesetaraan yang bagus. Tapi ada kesan formal sekali memang, mungkin karena menjadi bagian dari pro­tokol kenegaraan di sidang parlemen misalnya. Seolah olah kesetaraan itu hanya di forum penting dan politik formal.

    Di luar ruang parlemen, berla­ku ruang sosial dengan stratifikasi. Yang lebih tua terasa lebih nyaman menyapa yang muda dengan ”saudara”, sedangkan yang lebih muda merasa rikuh menyapa ”saudara” kepada yang lebih tua. Ini cukup aneh karena kalau seseorang bersaudara dengan yang lain, pasti itu berlaku timbal balik, sekalipun berbeda usia tentu saja! Kalau orang menganggap saya saudara, saya seharusnya tidak menganggap dia ”Bapak”, dan tidak membalas sapaannya dengan ”Pak” atau ”bapak”, melainkan  dengan ”Saudara”. Di tengah tengah ”bahasa gaul”, pemakaian sapaan ”Saudara” makin saja terasa ganjil.

    Sapaan mana yang harus dipertahankan? Mungkin pertanyaan lebih penting: apa yang harus diperkenalkan kembali? Yang hendaknya dipertahankan adalah ke­ragaman. 

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus