Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI apartemennya di daerah Dan Shui, Taiwan, Danang Pamungkas sering pergi ke pantai. Biasanya menjelang malam, setelah seharian penuh digembleng di Cloud Gate Dance Theater of Taiwan pimpinan penari ternama Taiwan, Lin Hwai Min, sendiri ia menyusuri pasir putih. Hanya 20 menit ia berjalan kaki. Embusan angin pada jam-jam itu besar sekali. Ada perasaan mencekam dalam dirinya.
Perasaan-perasaan kesepian, keinginan untuk bertemu dengan entah siapa saat menyusuri pantai itu, diungkapkan penari lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo ini dalam sebuah karya berjudul Song of Body di Teater Salihara. Begitu masuk, penonton melihat seluruh permukaan panggung ditutupi pasir pantai dengan gundukan-gundukan kecil pasir. Tata cahaya remang-remang. Suasana samar-samar. Terasa kesan yang hendak ditonjolkan adalah suasana ”ngelangut”. Apalagi setelah musik yang masuk adalah suara cello dari Song and Poems for Solo Cello karya komponis minimalis Amerika, Philip Glass.
Penggunaan pasir pantai untuk set panggung bukan hal baru dalam khazanah tari modern kita. Penari senior Sulistyo Tirtokusumo pernah membuat gunungan pasir, dengan seorang penari terbenam di dalamnya, hanya kepala muncul di atas. Boy G. Sakti pernah membawa sepuluh kubik pasir Bangka ke panggung Graha Bhakti Budaya dan kemudian ada pasir dikucurkan dari atas. Pada kedua karya ini, pasir digunakan secara sadar sebagai unsur visual pengejut. Pada Danang, pasir tidak seberapa digunakan sebagai unsur rupa pengejut itu kecuali sebagai set yang indah dalam sorotan lampu temaram.
Mula-mula Danang sendiri muncul. Ia melakukan semacam gerak bebas, merespons pasir. Ia meraup-raup, lalu menyemburatkan pasir ke atas dan menendang gundukan. Kedua tangannya banyak melakukan gerak seolah menyalurkan energi ke atas. Cukup lama ia seorang diri, sebelum muncul penari laki-laki lain (Riyanto). Penari ini bergerak ke arah depan tak menoleh ke arah Danang. Mereka sama sekali tak melakukan kontak mata, meski ada keinginan mendekat. Bagian paling menarik, tiba-tiba, tanpa saling melihat, keduanya menyungkup bersama ke pasir.
Setelah itu, muncul penari ketiga (Luluk Ari Prasetyo). Penari ini berpembawaan tenang. Tapi gerakannya justru lebih menarik daripada Danang dan Riyanto. Saat ia menekuk punggungnya, melipat paha, mengangkat kaki sampai ke kepala di lingkaran cahaya, kehadirannya kuat. Ketiganya tidak membentuk sebuah konflik. Gerak mereka mulanya tanpa interaksi, terpisah-pisah, tapi kemudian menyatu.
Proses penggarapan Song of Body ini singkat. Di Taiwan, mulanya Danang berlatih sendiri di sebuah ruang biliar tak terpakai tak jauh dari apartemennya—menurut ceritanya, ruang itu begitu kotor dan harus dibersihkannya lebih dulu. Kemudian ia mengirim konsep karyanya melalui surat elektronik ke Riyanto dan Luluk. Lalu selama tujuh hari di Salihara ketiganya berproses. Danang membebaskan kedua rekannya itu merespons pasir, masing-masing dengan ekspresinya.
Kita melihat fokus pergerakan dari ketiga penari itu adalah sorot lampu yang membentuk sebuah lingkaran cahaya di atas pasir. Lingkaran itu membesar dan mengecil. Mereka lalu bergerak berdasarkan pola-pola bidang gelap dan redup yang tercipta akibat konsep cahaya penata lampu Sugeng Yeah yang bersuasana meditatif. Pada sebuah adegan, Danang berdiri di luar lingkaran. Ia berdiri di daerah yang gelap. Adegan ini cukup menarik karena Danang seolah menatap kedua rekannya dari kejauhan.
Danang menyatakan, dalam keseluruhan geraknya, ia ingin menampilkan suatu perasaan yang mengalir. Ia mengaku terinspirasi konsep waktu Jawa dan gerak taichi. Selama setahun di Cloud Gate Dance Company, ia diwajibkan mengikuti kelas taichi. Menurut dia, ada unsur kesamaan antara konsep waktu Jawa yang mengalir tanpa hambatan dan Tao yang melahirkan taichi. Pada pernapasan taichi, energi bertolak dari lubang dubur, ditahan di perut, keluar dalam gerak tangan yang pelan. Danang juga mengikuti kelas balet. Maka sesekali gerak balet ”mengangkat tubuh” dipakai dalam adegan duet.
Pada karya ini tampak sekali struktur musik Philip Glass dipakai untuk struktur pertunjukan. Danang tampak tidak mendesain sebuah struktur pengadeganan sendiri. Ia menyerahkan gerakannya kepada musik Glass yang minimalis dan repetitif itu. Tiap ada perubahan tempo dalam musik, terjadi perubahan adegan. ”Saat latihan, saya sering menari dengan memejamkan mata, untuk merasakan apakah mengalirnya suara cello sama dengan mengalirnya suara gamelan,” katanya.
Memang kemampuan menjaga kontinuitas adegan terlihat pada Danang. Tapi menyerahkan karya semata-semata pada respons perasaan atas musik bisa membuat gagasannya kabur. Itu terlihat ketika banyak adegan yang sama diulang-ulang. Adegan menaburkan atau mengucurkan pasir, misalnya, dilakukan para penarinya tanpa banyak variasi. Di sini kita melihat Danang susah mengembangkan tema yang dimilikinya. Ia mengartikulasikan gagasannya secara datar atawa flat.
Alhasil, keinginan Danang menampilkan sebuah nyanyian tubuh tidak menghasilkan suatu klimaks yang sugestif. Sepanjang kurang-lebih 50 menit kita melihat gerak-gerak elok para penari yang bertubuh bagus di atas tanah yang berpendar-pendar, tanpa menangkap suasana utama yang hendak disampaikan—apakah itu kengerian, kekhawatiran, atau kecemasan. Tak ada kesan kuat yang membekas terbawa pulang.
Pertunjukan ini belum terlalu menunjukkan Danang menyerap gagasan-gagasan baru selama setahun belajar di Cloud Gate Dance Theater of Taiwan. Danang tidak menampilkan cara pandang yang berbeda dalam menyodorkan stereotipe gagasan alam yang liris. Keheningan, suasana samar-samar, rembang petang yang muncul di panggung malam itu adalah cakrawala dan suasana batin yang umum ditampilkan penari kita, terutama penari yang berasal dari Solo.
Danang masih dalam kosmos estetis yang sama. Pertunjukan ini menjadi sedikit berbeda karena menggunakan musik Philip Glass. Bila katakanlah iringan musiknya gumaman vokal tembang-tembang Jawa yang menyayat, gesekan rebab, atau tabuhan gender yang bunyinya mengambang, pengalaman estetis yang kita resapi tentu serupa saat menonton banyak pertunjukan lain.
Tapi tak apa-apa, masih ada waktu dua tahun lagi bagi Danang di Taiwan, karena ia dikontrak selama tiga tahun di sekolah tari kesohor milik Lin Hwai Min itu. Siapa tahu nanti ia pulang dengan ide-ide pemanggungan yang lebih segar.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo