Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Komik-komik <font color=#FF9900>Penjara Anak </font>

Sebuah pameran komik karya anak-anak lembaga pemasyarakatan digelar di Senayan City untuk meramaikan Jakarta Biennale 2009. Ada ekspresi yang tak ada dalam industri komik.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK jalanan itu bernama Ajie. Ia tengah nongkrong di bawah jalan layang ketika mendapat pesanan ”barang” alias ganja. ”Tanpa pikir panjang, aku langsung cabut ke rumah, ngambil barang, karena pikiran aku hanya duit dan duit,” ucapnya. Apes, saat transaksi berlangsung, Ajie dicokok polisi. ”Jembatan layang menjadi saksi saat aku tertangkap,” ujarnya.

Kisah seru ini dituangkan Ajie dalam sebuah komik yang terpajang di pusat belanja Senayan City, Jakarta, sepanjang 1-7 Februari lalu. Kisah Ajie bukan fiktif. Ia satu dari ratusan anak yang sekarang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Komik karya Ajie bersanding dengan puluhan komik lainnya karya anak-anak lembaga pemasyarakatan yang tergabung dalam Komunitas Komik Lapas (Kolaps).

Lain lagi kisah Yuga, 19 tahun. Ia ditahan selama tujuh tahun karena membunuh orang dalam tawuran pemuda antarkampung. Ia menggambarkan secara detail proses keterlibatannya dalam tawuran di komiknya: dari diajak kawan sampai tertangkap polisi. Kini Yuga telah mereguk udara kebebasan setelah menjalani separuh hukumannya. Berkat kegiatan Kolaps, segala amarah Yuga dapat diredam dan tersalurkan dengan membuat komik.

Pameran karya mereka mengawali perhelatan akbar seni rupa dua tahunan, Jakarta Biennale 2009. Kehadiran mereka sesuai dengan esensi Jakarta Biennale untuk menghadirkan praktek seni rupa yang lebih luas. ”Sehingga publik juga dapat melihat karya seni rupa di luar arus utama,” kata Direktur Program Jakarta Biennale 2009 Ade Darmawan.

Bagi Kolaps, inilah pameran mereka yang keempat. Semula Ade hendak menampilkan karya-karya Kolaps dari pameran terdahulu. Namun koordinator Kolaps, Abdurrahman Saleh, menampik permintaan ini. Pria yang biasa disapa Maman ini mengusulkan karya-karya baru melalui sebuah workshop yang melibatkan anak-anak di luar lembaga pemasyarakatan.

Gayung bersambut. Melalui Lembaga Pendidikan Inspiratif Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat, terkumpul sepuluh anak dari sekolah-sekolah marginal, seperti SMP gratis, komunitas homeschooling, dan sekolah swasta menengah-bawah. Kesepuluh anak ini kemudian bergabung dalam sebuah workshop empat hari bersama sepuluh anak Kolaps.

Dalam lokakarya itu kedua kelompok yang berasal dari latar belakang berbeda dilebur jadi satu. Kemudian mereka dibagi menjadi empat kelompok untuk bekerja sama. Komik yang mereka hasilkan memang unik, karena komik ini merupakan komik ”curhat”, sehingga setiap karya yang mereka hasilkan merupakan perwujudan perasaan mereka.

Tengok saja karya Nadina Sabina Amany dari Sekolah Menengah Pertama 92 Jakarta. Nadina menggambarkan bagaimana dirinya membutuhkan ruang privat bagi dia sendiri. ”Aku butuh ruangku sendiri,” teriaknya. Rupanya, komik ini membuka impian terpendam Nadina. ”Ibu Nadina baru tahu dia ingin ruang setelah melihat komik ini,” kata Maman kepada Tempo.

Karya mereka segar dan unik. Berbeda dengan dalam komik industri khas Jepang, manga, setiap anak memiliki karakternya sendiri. Medium seni rupa menjadi cair. ”Tiba-tiba ada bahasa yang tak akan kita temukan dalam industri komik,” kata Ade. Sebagai bentuk komik, karya mereka menarik dikaji.

Karya-karya komik para remaja ini terbagi dalam empat tema besar. Tema utama yang juga berkaitan dengan tema Jakarta Biennale kali ini adalah tentang ruang. Ide-ide segar muncul dari anak-anak lembaga pemasyarakatan. Salah satu yang progresif adalah komik karya Okhan, 19 tahun. Dalam komiknya, Okhan menggambar dirinya lengkap dengan kacamata. Ruang, dalam komik Okhan, adalah kata yang memiliki banyak sekali makna. ”Ruang tak hanya sesuatu yang berbentuk, tapi juga ruang maya yang tak terlihat,” ujarnya.

Ruang dalam bentuk paradoks muncul pada karya Herpian ”Pay”, 17 tahun. Remaja tanggung ini menggambarkan dua ruang yang bertolak belakang. Ruang pertama adalah antariksa, sedangkan ruang kedua adalah sel isolasi bagi anak-anak pelanggar aturan lembaga pemasyarakatan. Sebuah ruang kebebasan bersanding dengan ruang yang menyesakkan.

Problematika Jakarta menjadi tema menarik lainnya. Urbanisasi menjadi pilihan Asiah Mujahidatul Haq dari Sekolah Menengah Atas Islam Darussalam, Jakarta. Ia menggambarkan seorang gadis desa dengan dua kepang di rambutnya. Rupanya, daya tarik Jakarta menjadi magnet untuk hijrah. Sayang, sesampai si gadis di Ibu Kota, barangnya hilang dicuri. ”Emak, aku ingin pulang,” tangisnya.

Selain komik, para peserta workshop secara berkelompok membuat maket kamar atau sel impian. Andi ”Black” dan dua rekannya dari lembaga pemasyarakatan membuat miniatur blok mereka dari kertas koran. Selama sepekan penuh mereka bekerja membuat maket ini. ”Bahkan mereka harus diisolasi karena dalam pekerjaan ini digunakan alat tajam seperti cutter atau pisau,” Maman menjelaskan.

Pameran ini juga menampilkan majalah tembok anak lembaga pemasyarakatan bertajuk Mabok. Dalam Mabok, pengunjung yang menikmati pameran dapat memperkaya kosakata dari dalam bui, seperti mop-mopan yang berarti adu bicara kasar, nyadong yang berarti waktu makan, bergaul yang artinya memberikan sesuatu, dan peloran yang berarti uang yang dibentuk menjadi pelor.

Pengunjung juga dapat menyaksikan gambar alat makan khas bui yang mereka sebut tembor. Kekerasan khas remaja atau bullying juga muncul dalam komik bertajuk Mop-mopan. Suasana makan di dalam bui pun dapat disaksikan melalui komik acara makan. Meski bahasa yang ditulis kasar, toh sebelum makan mereka tak lupa mendaraskan doa.

Tempat pameran yang berada di pusat belanja menengah-atas juga memberikan pengalaman unik, baik bagi anak lembaga pemasyarakatan maupun pengunjung. Berton, seorang profesional muda yang tengah mengikuti meeting di tempat itu, bahkan sampai dua kali berkunjung. Matanya bahkan memerah tatkala melihat komik anak-anak lembaga pemasyarakatan tentang sosok ibu. ”Saya jadi teringat ibu saya sendiri,” ucapnya lirih.

Sita Planasari Aquadini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus