Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini adalah salah satu cuplikan adegan film Laskar Pelangi karya Riri Riza yang paling merobek hati, yang sama sekali tidak melibatkan dialog apa-apa, kecuali sebuah gambar yang sederhana, namun memberi efek ledakan dalam jiwa.
Bagi mereka yang sudah membaca novel karya Andrea Hirata dengan judul yang sama, adegan yang diutarakan dalam beberapa halaman itu cukup diberi satu gambar yang efektif. Sebuah perpisahan antara Lintang dan kawan-kawannya yang menyesakkan dada.
Film sepanjang 2 jam 5 menit yang memakan ongkos Rp 8 miliar, melibatkan belasan pemain asli Belitung dan belasan aktor dan aktris terkemuka, akan bisa dinikmati di bioskop mulai pekan ini. Setelah sutradara Riri Riza dihinggapi puluhan sariawan karena senewen, dan produser Mira Lesmana digenjot migrain tak berkesudahan, film yang baru saja diproses di Bangkok, Thailand, ini akhirnya aman tiba di Jakarta.
”Terus terang, saya rada senewen,” kata Mira, ”para pembaca fanatik novel Andrea Hirata pasti akan membanding-bandingkan film ini dengan novelnya.” Itu memang sebuah risiko mengangkat sebuah film dari novel yang sudah dibaca ratusan ribu orang. Sebetulnya Mira (maupun Riri) tak perlu senewen jika penonton memang paham bahwa novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama seni bertutur dengan kata, sedangkan Riri bertutur dengan gambar dan bunyi.
Novel Laskar Pelangi—yang oleh pengarangnya disebut sebagai memoar—bertutur tentang sekelompok anak Belitung yang berjuang untuk mempertahankan sekolahnya yang hampir tutup karena kekurangan murid. Pada babak awal novel ini, Andrea Hirata cenderung pedantik, sibuk mendidik dan memperkenalkan pembaca tentang Belitung, tentang perbedaan kelas antarwarganya. Kebanggaan dan kecintaan sang penulis terhadap Belitung dan kepada tokoh-tokohnya begitu dalam dan luar biasa, hingga kosa kata hiperbolik yang digunakannya menjadi kelemahan sekaligus kelebihannya. Misalnya:
”Superb! Anak pesisir, superb!” puji Bu Mus.
Atau ini:
”Filicium decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim... lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri (Elaecarpus sphaericus schum).
(hlm. 64)
Atau ini:
”... Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yang jauh lebih tinggi di tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal perguruan tinggi seperti implikasi, biimplikasi, filosofi Pascal, binomial Newton, limit, diferensial, integral, teori-teori peluang dan vektor....”
(hlm. 118)
Andrea memiliki daya imajinasi yang menarik dan sangat pandai menaklukkan kata-kata, namun dia juga cinta pada hiperbolisme. Seandainya ada editor yang berani memangkas sebagian saja dari keasyikan penggunaan segala yang superlatif itu, mungkin akan terasa lebih pas.
Tetapi, dengan memaafkan segala kecenderungan hiperbolik itu, dan mencoba bersabar untuk meneruskan bab-bab berikutnya, ternyata novel ini memiliki sebuah potensi yang jarang dimiliki novel lain: semangat. Novel Laskar Pelangi, dengan kemahiran Andrea menggelitik dan menertawakan diri sendiri, memberikan inspirasi bahwa di balik segala kemelaratan dan kemiskinan itu, selalu ada cahaya—sekecil apa pun—yang bisa menumbuhkan manusia. Di balik hujan deras atau malapetaka sedahsyat apa pun, akan selalu lahir pelangi. Andrea tak bersedia larut dalam melodrama. Dia berhasil melucu dalam banyak adegan, meski humor itu lahir dari berbagai kepedihan penduduk Belitung yang sehari-hari hidupnya serba kekurangan. Tokoh Ikal, alter ego Andrea Hirata, digambarkan sebagai anak yang memiliki kemampuan observasi; sensitif (bahkan cenderung romantis luar biasa), dan sangat mengagumi kedua kawannya, Lintang si jenius dan Mahar si seniman. Andrea juga mengisahkan dengan rinci anggota Laskar Pelangi lainnya yang gemar kongko di bawah pohon Filicium itu: Trapani yang tampan, harum, dan terlalu tergantung ibunya; Kucai yang ”memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan sok tahu”; Sahara yang luar biasa jujur, paling taat agama, dan kalau marah ”alisnya bertemu”; Flo yang ingin menjadi lelaki dan tertarik pada kebatinan; Harun, anak Down syndrome yang manis; A Kiong yang berwajah ”horor” tetapi berhati baik luar biasa; Borek alias Samson yang obsesif untuk membesarkan otot tubuhnya.
Tetapi, di layar perak, sutradara Riri Riza harus memilih. Dia—bersama produser Mira Lesmana dan penulis skenario Salman Aristo—memfokuskan cerita pada tiga nama: Ikal (Zulfany), Lintang (Ferdian), dan Mahar (Verrys Yamarno). ”Tak mungkin kami menceritakan semua karakter dengan rinci seperti yang tertuang dalam novel,” kata Riri. Dia bercerita bahwa setelah membaca novel itu, dia sengaja membuka pikiran seluas-luasnya. Mondar-mandir enam kali ke Belitung bersama timnya, Riri dan Mira bahkan kemudian menemukan beberapa sosok yang kemudian memberikan inspirasi untuk menambahkan tiga tokoh baru untuk mengentalkan drama dalam film. Tokoh tambahan itu adalah Pak Bakri (Rifnu T. Wikana), guru SD Muhammadiyah yang tergoda pindah ke SD lain di Bangka; Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo), pejabat PN Timah yang sangat bersimpati pada sekolah SD Muhammadiyah karena dia sendiri lulusan Muhammadiyah Yogyakarta; dan Pak Mahmud (Tora Sudiro), guru SD PN yang menaruh hati pada Ibu Muslimah.
”Kami mendapatkan ide Pak Zul yang sering mengirim beras itu ketika kami bertemu Ibu Muslimah asli,” kata Riri. ”Dari situlah kami merasa perlu menambahkan sosok Pak Zulkarnaen untuk menggambarkan bahwa ada juga kelompok kaya yang membela sekolah yang sudah mau roboh itu,” kata Riri.
”Sebagai film maker, Riri tak hanya telling the story, dia juga showing the story,” kata Slamet Rahardjo. ”Nah, untuk itu Riri membutuhkan Zulkarnaen untuk memberikan raga suatu imaji dalam sastra, yang terbaca tapi tidak tergambarkan. Nah, saya tokoh yang dihadirkan untuk menggambarkan itu.”
Tokoh Pak Zulkarnaen, yang diperankan oleh Slamet Rahardjo dengan baik, digambarkan mengendarai mobil tua dan rajin mengirim beras. Adalah Pak Zul yang meniupkan semangat kepada Ibu Muslimah, ketika akhirnya Pak Harfan, sang kepala sekolah yang budiman itu, wafat dan tokoh ini juga yang dengan semangat membela murid SD Muhammadiyah saat lomba cerdas cermat. Namun tak ada adegan selezat adegan dialog Zulkarnaen dengan Pak Harfan. Bukan hanya karena itu pertemuan dua aktor senior seperti Slamet Rahardjo dan Ikranagara, tapi adegan itu hampir seperti dua teman lama yang asyik ngobrol tanpa koreografi apa-apa, berbincang tentang pentingnya mempertahankan ”sekula” yang mengajarkan jiwa yang teguh. Mengalir, menyentuh. Tak ada duanya.
Tokoh Pak Mahmud yang ditampilkan oleh Tora Sudiro—yang menghapus seluruh tato di tangannya dengan ”dempul” make-up, agar terlihat sebagai guru daerah yang jatuh hati pada Bu Muslimah, adalah sosok tambahan yang tampaknya ingin memperlihatkan romantisisme di kalangan orang dewasa (yang memang absen dalam novel). ”Ini peran agak serius walaupun bukan antagonis,” kata Tora kepada Tempo. ”Mahmud adalah tipe orang yang terlalu lurus menghadapi hidup, dia naif.…”
Sedangkan tokoh Pak Bakri juga muncul sebagai sosok manusiawi yang berdiri di tepi keputusasaan akan idealisme SD Muhammadiyah yang serba kekurangan.
Dengan kata lain, Riri Riza seolah mengambil novel itu sebagai sebuah inspirasi; kemudian setelah bergumul dengan Belitung dan berdiskusi dengan para tokohnya, dia mengolah kembali memoar Andrea Hirata itu menjadi kisah dengan napas sosial yang lebih kental.
Harus diakui, jika kita membaca novel ini, keistimewaan Andrea menggunakan metafora ciptaannya yang jenaka. Tengok ini: ”... sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan” (hlm. 18).
Dan keistimewaan Andrea ini memang tertuang di beberapa dialog dalam film. Tetapi Riri adalah Riri. Mata sinematiknya tertarik pada persoalan perbedaan sosial dan pengaruhnya pada kehidupan tokoh-tokohnya. Kejenakaan novel Andrea mengalami transformasi menjadi sebuah prosa liris dengan persoalan sosial yang sangat kental (baca: Tafsir Liris dari Belitung). Sementara Andrea tersenyum dan tertawa pada keserakahan manusia; Riri melawan dan menentang ketidakadilan melalui gambar. Sementara Andrea bertutur tentang kemiskinan dengan jenaka (”Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepresentasikan setiap jenis sandang yang dikenakannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan raut mukanya yang penuh sinar kekayaan...” hlm. 357), Riri menggambarkan sebuah adegan baru. Syahdan, sebuah lemari kaca bekas yang dikirim ke sekolah itu untuk menampung sebiji piala. Semua murid dan Bu Mus menatap sang piala di lemari kaca itu tanpa suara; lalu pintu kaca yang reot terbuka sendiri, karena sudah kendur. Bu Mus menutup. Terbuka lagi, lalu ditutup. Kemudian terbuka lagi menyenggol meja Bu Mus, dan akhirnya Lintang maju menyisipkan ganjalan kertas agar pintu bandel itu bisa kukuh diam. Gambaran adegan ini adalah tafsir Riri tentang kemiskinan dan humor di dalam hidup serba kekurangan itu. Gambaran yang jenaka sekaligus mengiris.
Akan halnya Ibu Muslimah, tokoh sentral yang menjadi inspirasi Andrea menulis novel ini, dalam film akhirnya berubah menjadi pemeran utama. Meski film ini diambil dari sudut pandang Ikal (Lukman Sardi sebagai Ikal dewasa bertutur sejak awal film dengan suara yang penuh wibawa), Ibu Muslimah berubah menjadi fokus dan roh dari seluruh film ini. Keputusan Riri untuk menambah porsi tokoh-tokoh dewasa, persoalan sekolah yang dilanda ancaman akan ditutup; persoalan guru yang tergoda pindah ke sekolah lain, hingga romansa Mahmud-Muslimah yang tak terwujud adalah sebuah risiko yang diambil untuk memberikan sebuah gambaran yang lebih gamblang tentang Belitung tahun 1970-an. Cut Mini bersama trio Ikal, Mahar, dan Lintang menampilkan pesta peran yang kuat. Bercahaya.
Namun tak ada adegan yang paling dinanti selain peristiwa kuku-kuku cantik yang membuat Ikal yang bandel itu dimabuk asmara. Ikal yang jatuh cinta pada A Ling, si gadis kecil anak pemilik warung tempat mereka membeli kapur tulis. Andrea menggambarkan pandangan pertamanya dengan A Ling dengan paragraf yang tak terlupakan: ”... saat itu aku merasa jarum detik seluruh jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!!” (hlm. 209). Riri menampilkan pandangan pertama itu dengan sebuah adegan slow motion yang unik: dua wajah remaja kecil bertemu, dan jatuhlah bunga-bunga (bayangan tentu saja) di sekeliling Ikal yang tengah dilanda asmara....
Novel Sang Pemimpi dan Edensor (sekuel dari Laskar Pelangi) sesungguhnya dua karya yang jauh lebih rapi dan tertata—dari segi bahasa dan penyuntingan—dibanding pendahulunya. Jika novel Sang Pemimpi diangkat ke layar lebar, problem struktur akan lebih tergilas dibanding novel Laskar Pelangi, yang ditulis seperti sebuah memoar yang sporadis.
Novel Sang Pemimpi yang lebih memfokuskan tokoh Ikal di masa remaja dan hubungannya dengan sepupunya, Arai dan Jimbron, yang obsesif dengan kuda. Hubungan Ikal dengan ayahnya jauh digali lebih dalam dan menyentuh. Adegan sang ayah yang dengan santun selalu mengambil rapor anaknya dengan tertib (meski angka rapor anaknya anjlok memalukan) adalah sebuah adegan sinematik yang sukar dicari tandingannya. Sedangkan novel Edensor—yang terbaik dari ketiga novel karya Andrea Hirata dan menjadi nomine Khatulistiwa Literary Award 2007—adalah petualangan Ikal selama menempuh pendidikan di Prancis. ”Tentu saja kami tertarik mengangkat novel kedua ini menjadi film,” kata Riri Riza dengan penuh semangat. Riri menambahkan, tentu segalanya tergantung sambutan penonton terhadap film Laskar Pelangi. ”Kita belum bisa seperti Peter Jackson, yang langsung membuat trilogi The Lord of the Rings, tanpa mengetahui hasil pasar...,” katanya mencoba bijaksana. ”Mungkin, suatu hari perfilman kita memungkinkan itu,” kata Riri lagi dengan penuh semangat. Semangat yang dia tularkan melalui film Laskar Pelangi.
Leila S. Chudori, Yugha Erlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo