Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"kalau semua orang jual kembang gula"

Wawancara tempo dengan nyo han siang yang ingin membuat film yang bertema patriotisme & agama dan teguh karya yang bertujuan mengisahkan pengorbanan keluarga yang ditimpa malapetaka. (fl)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

"kalau semua orang jual kembang gula"
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
FILM November 1828 bisa dibuat terutama berkat kerja sama dua orang, Nyohansiang dan Teguh Karya. Yang pertama memiliki modal dan ingin membuat film "lain dari pada yang lain," sedang yang satunya sutradara yang selalu tampil dengan film-film terkenal. Karya terbaru Teguh Karya itu nampaknya harus dicatat sebagai film Indonesia terlama dalam pembuatan dan termahal dalam pembiayaan. Terhadap film yang dibuat dengan ambisi besar itu, berikut ini petikan komentar Nyohansiang dan Teguh Karya yang dipetik dari percakapan mereka dengan wartawan TEMPO, Salim Said. Nyohansiang Saya mula-mula tertarik membuat November 1828 terutama sebagai orang bisnis. Saya dari dulu ingin membuat film yang lain dari yang lain. Bukan ranjang dan bukan sadis. Ini mungkin pengalaman saya membuat film Chicha. Ini betul-betul pengalaman seorang bisnis. Kalau di satu jalan semua orang jual kembang gula, kalau saya mau buka toko di sana mestinya jangan jual kembang gula. Jual roti atau makanan lainnya. Ide cerita dari Teguh Karya. Dia lebih berat pada aspek seninya, saya segi bisnis. Pembicaraan lama. Beberapa bulan. Akhirnya akur. Saya mau karena yakin bisa untung. Pengalaman film Chicha guru yang baik. Dari modal 80 juta rupiah, bisa kembali jadi 150 juta. Tadi sudah saya katakan film ini temanya lain dari yang lain. Tapi yang lebih penting lagi, menurut saya rakyat Indonesia sekarang ini bimbang. Mau ke mana? Ekonomi maju, pembangunan jalan. Tapi segi mental? Dalam film ini dicoba kemukakan unsur patriotisme yang agak realis di tengah-tengah ramainya soal ranjang dan kekerasan. Dalam film ini unsur agama juga penting. Saya ini kadang-kadang bingung. Dulu itu agama Islam selalu berada di depan, seperti di Aceh, dalam melawan penjajah. Sebagai orang Jawa Tengah, saya ini mengamati dan berkesimpulan Islam itu bisa membawakan aspirasi orang-orang tertindas. Tapi sekarang ini kok agama ini banyak kali hanya diomongkan, tidak diamalkan. Saya ingin menggugah orang Islam lewat film ini. Teguh Karya Suatu kali saya menengok adik saya yang sekolah pendeta di Malang. Anak itu tadinya penjudi besar. Hanya dengan pengorbanan besarlah akhirnya yang menjadikan ia pendeta. Pengorbanan adik, pengorbanan ibu. Ini sama saja dengan pengorbanan keluarga Kromoludiro dalam November 1828. Saya tertarik membuat film tentang pengorbanan. Saya suka sejarah dan selalu berfikir kalau orang dulu bisa bikin Borobudur, saya tidak percaya sekarang kita tidak bisa bikin sesuatu yang besar. Kebetulan saya mendapat buku-buku mengenai Diponegoro. Saya kagum, ternyata pasukan kita hebat. Saya ingin kisahkan ini, tapi tidak tentang Diponegoro, karena saya tidak punya ide epis tentang pahlawan ini. Persamaan dengan lakon Monserrat? Saya tidak cuma dipengaruhi Emmanuel Robles itu, tapi juga Gandhi, Rizal, kepahlawanan Cut Nyak Din dll. Kalau secara fisik film saya dikatakan mirip ceritera Monserrat, itu tidak terlalu penting. Fisik tidak penting. Lagi pula mungkin hal itu dari bawah sadar saya. Tak bisa saya elakkan. Film ini memang diselesaikan sedikit tergesa-gesa. Mengejar FFI Palembang. Tapi kelambanan yang kau katakan itu bukan tanpa konsep. Kita tidak mau berkiblat pada nilai dramatik Barat. Dramaturgi itu ada macam-macam. Ada dramaturgi wayang, randai, ketoprak. Dramaturgi yang cocok bagi film Indonesia hingga kini masih terus dicari. Dalam film ini konflik Van Aken (El Manik) dan de Borst (Slamet Rahardjo) itu cuma cerita sampingan. Dan sebenarnya cuma untuk membangun nilai dramatis film ini. Film ini memang multi plot (mengandung banyak alur cerita), tapi tujuan utama menceritakan tentang keluarga yang mendapat malapetaka. Kalau konflik Van Aken dan de Borst diterang-jelaskan, jadinya sebuah cerita baru lahir. Itu tidak saya kehendaki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus