Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Pada salah satu sesi di rangkaian Tempo Media Week 2018, novelis Ahmad Fuadi menuturkan kisah fiksi yang baik bisa terasa seperti fakta, cerita fakta yang asyik bisa terasa seperti fiksi. Dua hal bertolak belakang ini bisa saling memberi nuansa sesuai porsinya masing-masing.
Artinya, karya fiksi yang semata-mata imajinatif jika dikemas dengan pas bisa mempengaruhi pembaca dan menganggap apa yang dibeberkan di dalamnya seolah nyata. Sebaliknya, sebuah kisah nyata yang juga asyik dikemas bisa membuat pembaca seolah sedang menikmati karya fiksi.
Ahmad Fuadi tak memungkiri betapa sulitnya mengubah sesuatu yang objektif menjasi subjektif. Dalam konteks penulisan kreatif hal ini kerap membuat seorang penulis bingung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sesi kelas Adaptasi Fakta Tempo Media Week 2018 yang berlangsung Sabtu, 15 Desember 2018 di Gedung Tempo, penulis Negeri Lima Menara itu membagikan pengalamannya. Menurut Fuadi, peran fakta dalam karya fiksi bisa dijadikan bahan utama penulisan. “Pencarian fakta bisa dijadikan bahan yang selanjutnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan karya fiksi,” tutur Fuadi.
Peristiwa personal, sejarah, bisa dijadikan bahan penceritaan. Saat masuk ke medium fiksi, bahan-bahan nyata tersebut dapat mengalami perubahan sesuai kebutuhan. Fuadi mencontokan misalnya ada peristiwa seorang murid yang cemas akan dimarahi guru karena ia lupa mengerjakan PR. Suasana detik-detik guru masuk kelas misal lewat langkah kakinya, atau suara penggaris kayu yang diketuk ke tembok kian terdengar bisa menjadi bumbu sebuah kisah fiksi agar kian dramatis. Padahal kenyataannya tidak sampai ada peristiwa sedramatis itu. Di situlah hadir unsur yang membuat sebuah fakta bergeser menjadi fiksi.
Dalam karya-karyanya, Fuadi kerap berpijak pada fakta. Mantan wartawan Tempo ini sempat bercerita soal prosesnya membiasakan diri menciptakan dunia ‘fiksi’ dari fakta-fakta yang ia kumpulkan untuk karya-karyanya. Ia juga mengenang bagaimana di awal-awal menulis novel karyanya sempat disebut sebagai laporan seorang wartawan yang dipanjang-panjangkan, lantaran begitu terasa seperti jurnal alih-alih karya fiksi. Perlahan Fuadi menemukan ritme dan formula tersendiri untuk bisa menyajikan fakta menjadi bacaan fiktif yang lebih meyakinkan.
Sebagai langkah awal bagi penulis pemula, Fuadi menyarankan siapa pun untuk coba menggali fakta-fakta atas memori yang kuat diingat, ia menyebutnya sebagai inner journey. Bisa memori masa kecil, atau pada masa kapan saja. Berangkat dari situ, menurutnya seseorang bisa mencatat hal-hal penting sembari mengerahkan seluruh indra untuk mengingat lagi seperti apa rasanya, warnanya, baunya, terdengarnya, dan seterusnya.
Inner journey ini bagi Fuadi menjadi bagian penting dalam proses kreatifnya selama ini. Hal ini bisa dijadikan pijakan awal saat mau menulis sebelum masuk ke dalam hal-hal yang lebih teknis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah ide cerita utama didapat, proses riset selanjutnya dapat dilakukan untuk memperkuat gagasan kisah. Bahan-bahan yang diperoleh dari riset ini kemudian bisa diolah sedemikian rupa. Dalam fiksi menurut Fuadi hal yang penting adalah kuatnya sebab-akibat dalam cerita, demikian halnya dengan plot yang rapi. Soal berapa besar porsi fakta dan fiksi dalam karya urusannya sudah lain. Tak ada standar bakunya, semua sesuai dengan kebutuhan dan keinginan si penulis.
Satu hal lagi yang juga penting menurutnya adalah adanya alasan personal yang kuat mengapa cerita itu dipilih dan harus dituliskan untuk menjadi motivasi agar karya bisa selesai dikerjakan. “Nulis aja dulu, editnya setelah itu,” ujar Fuadi. Kelas yang berlangsung dua jam lebih ini ramai oleh beragam pertanyaan dari peserta. Ditambah lagi ada sesi para peserta untuk menuliskan fakta kemudian coba mengubahnya menjadi cerita fiksi.
Tempo Media Week 2018 digelar di Gedung Tempo, Jalan Palmerah Barat 8, Jakarta pada Jumat-Minggu, 14-16 Desember 2018. Perhelatan tahun ini menyusul kesuksesan tahun lalu yang digelar di Gedung Perpustakaan Nasional. Tahun ini kegiatan TMW mengusung tema Hand in Hand for A Better Digital Society. Direktur Eksekutif Tempo Institute Mardiyah Chamim yang menjadi ketua panitia Tempo Media Week 2018 menuturkan, revolusi digital telah mengubah zaman.
"Menjadi kreatif dan orisinal adalah kunci untuk menghadapi perkembangan digital," ujar Mardiyah. Ia menegaskan kemampuan literasi adalah skill yang melatih daya kreativitas. Tempo Media Week menggelar berbagai kegiatan literasi yang mengasah kreativitas.