SASTRA INDONESIA SEBAGAI WARGA SASTRA DUNIA
Oleh: H.B. Jassin
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 280 halaman.
MESKIPUN bagi kaum terpelajar H.B. Jassin tidak perlu
diperkenalkan lagi, ada baiknya kalau kita ingat sejenak apa
yang telah dikerjakannya selama ini. Jassin sudah memulai
kegiatannya di bidang kesusastraan sejak sebelum Perang Dunia
II, antara lain, dengan menyiarkan cerita pendek di majalah
Pujangga Baru. Namanya di bidang itu menjadi sangat menonjol
ketika ia, sejak tahun 1950-an bahkan sampai sekarang, secara
bersungguh-sungguh dan tak putus-putus menunjukkan perhatiannya
terhadap sastra Indonesia modern.
Awal 1950-an buku-buku Jassin terbit. Buku-buku tersebut selain
menunjukkan penguasaannya yang baik atas konsep-konsep dasar
kesusastraan, juga memamerkan ketajaman pandangannya tentang
beberapa masalah penting dalam perkembangan sastra kita. Dari
segi tertentu bahkan bisa dikatakan bahwa Jassinlah yang menjadi
sumber, atau musabab, masalah-masalah tersebut. Pada kurun yang
sama ia juga menjadi redaksi pelbagai majalah yang besar
sumbangannya terhadap sejarah sastra Indonesia.
Di samping itu, Jassin sejak masih bekerja untuk Balai Pustaka,
di tahun 1940, telah merintis usaha dokumentasi yang kini
dikenal sebagai Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Minat,
kesempatan, dan dokumentasi telah menjadikan Jassin seorang yang
"paling" berpengaruh dalam perjalanan sastra kita. Dan bukan
kebetulan kalau ia mendapat julukan Paus di bidang sastra
Indonesia -- meskipun tidak jarang julukan tersebut dipakai juga
untuk mengejeknya.
Ada beberapa hal menarik yang harus dicatat tentang kegiatan
Jassin selama ini. Pertama, perhatiannya terhadap sastra tidak
semakin menyempit, tapi semakin meluas. Sebagai kritikus ia
banyak membaca dan mempelajari disiplin lain. Karena ia
berkeyakinan bahwa sastra bisa berkaitan dengan disiplin apa
pun.
Kedua, tampaknya H.B. Jassin mencapai puncak-puncak kegiatannya
apabila ia mendapat semacam "tekanan". Pada tahun 1950-an ia
menulis karangan-karangan yang padat dan penuh keyakinan tentang
Chairil Anwar, krisis sastra, dan humanisme universal. Dasa
warsa berikutnya ia membela Tenggelamnya Kapal van der Wijk
(Hamka) dari tuduhan jiplakan, dan membela Langit Makin Mendung
(Kipanjikusmin) -- dalam pelbagai karangan dan di pengadilan --
terhadap tuduhan merendahkan Tuhan, Nabi Muhammad, dan
sendi-sendi Islam.
Pada saat-saat "tertekan" itu Jassin cenderung menunjukkan
kualitasnya yang tinggi sebagai pemikir: penalaran, pembuktian,
dan keyakinan yang sangat kuat. Itu semua ditunjang oleh
pengalaman, bacaan, dan dokumentasi yang baik.
Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia adalah kumpulan
karangan yang menunjukkan dua hal yang sudah disinggung itu.
Karangan dalam buku ini, jumlahnya 24 buah, yang dikelompokkan
menjadi lima bagian, mencakup pelbagai ragam karangan: "Beberapa
Penyair di Depan Forum" adalah tentang puisi mutakhir,
"Pengalaman Menerjemahkan Al Quran Secara Puitis" adalah tentang
terjemahan, dan "Dokumentasi Sastra H.B. Jassin menjadi Yayasan
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin" menjelaskan perkembangan sebuah
usaha pribadi yang menjadi lembaga. Karangan-karangan itu
ditulis dalam waktu lebih dari 10 tahun -- mulai tahun 1966.
Dibandingkan dengan karya yang ditulis tahun-tahun sebelumnya,
tentu ada beberapa karangan dalam buku ini yang tidak
menunjukkan keistimewaan Jassin. Bahkan dalam karangan yang
dijadikan judul buku ini terasa ada sesuatu yang agak
"berlebihan", meskipun karangan itu berasal dari pidato
penerimaan gelar Doctor Honoris Causa. Dalam karangan pendek
yang diambil dari "Catatan Kebudayaan" majalah Horison Jassin
berusaha membela pendiriannya tentang Angkatan '66 terhadap
kritik Harry Aveling.
Meskipun sudah sejak tahun 1940-an Jassin suka menerjemahkan,
baru tiga dekade kemudian ia menuliskan pengalaman dan
pandangannya yang tajam tentang terjemahan. Keempat karangannya
tentang terjemahan menunjukkan kecermatan dan keluasan
pandangannya. Jassin telah menerjemahkan Max Havelaar
(Multatuli) dan Quran -- untuk yang pertama ia mendapatkan
Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds, sedang untuk
yang kedua ia sempat mendapat caci maki dari beberapa orang dan
kalangan. Jassin ternyata bukan hanya penerjemah yang baik,
tetapi teoritisi terjemahan yang penting diperhatikan.
Bagian terpenting bunga rampai ini adalah bagian ketiga,
"Imajinasi di depan Pengadilan", yang berisi delapan tulisan,
secara langsung atau tidak, berkaitan dengan heboh cerpen Langit
Makin Mendung. Cerpen Kipanjikusmin itu disiarkan lewat majalah
Sastra pada tahun 1968. Rupanya saat itu suasana begitu sensitif
sehingga tidak menguntungkan penyiarannya. Dimulai dengan
penyitaan majalah tersebut oleh Kejaksaan Tinggi di Medan,
masalah Langit Makin Mendung sempat menjadi perhatian nasional.
Ia menyangkut hal-hal dasar dalam kehidupan budaya kita.
Cerpen tersebut telah menyebabkan Jassin menjadi tertuduh di
pengadilan, karena pengarangnya tetap berlindung di balik nama
samaran. Dalam keadaan "tertekan" sebelum dan selama proses
pengadilan itulah H.B. Jassin menulis beberapa karangan yang
menunjukkan kualitasnya yang tinggi sebagai pemikir. Dalam
karangan-karangan itu ia berusaha menuangkan pandangan dan
keyakinannya sepenuh-penuhnya dan sejauh-jauhnya, tanpa emosi
berlebihan dan tanpa takut-takut. Di depan pengadilan ia, antara
lain, mengatakan:
Yang Saudara adili di sini bukanlah H.B Jassin, bukan
Kipanjikusmin, bukan "Langit Makin Mendung" Yang Saudara adili
di sini adalah Imajinasi ....
Saya tidak mengelus-elus diri akan mendapat hukuman yang
ringan atau dibebaskan sama sekali... Bagi saya hanya ada dua
alternatif. Atau memang bersalah dan mendapat hukuman yang
paling berat karena telah menghina Tuhan, atau tidak bersalah
dan bebas. Jalan tengah tidak ada.
Keberanian dan ketegasan itu sendiri merupakan kualitas
istimewa. Tapi yang lebih penting dan berharga bagi kita dalam
karangan-karangan tersebut adalah usaha yang bernilai untuk
menjelaskan hubungan antara imajinasi manusia, kebebasan
mencipta, Tuhan, dan kehidupan modern. Di sinilah Jassin
memamerkan keunggulannya. Penalaran, pembuktian, bacaan, dan
pengalaman telah menunjang usaha tersebut.
Tentu harus diakui bahwa konsep yang disodorkannya sehubungan
dengan masalah Langit Makin Mendung tidak mudah ditangkap oleh
orang kebanyakan -- atau oleh orang terpelajar yang memang
tidak berkehendak menangkapnya. Namun karangan itu, bagi yang
bisa membacanya secara tenang, akan mampu mengingatkan kita semua
bahwa ada hal yang sangat sensitif dalam masyarakat kita yang
bisa menimbulkan ketegangan dan kekacauan.
Bunga rampai ini diedit dan diberi pengantar oleh Pamusuk
Eneste. Buku ini menyadarkan kita bahwa ternyata masih banyak
karangan Jassin yang penting dibukukan. Untuk seorang seperti
Jassin, yang telah selama 40 tahun bersungguh-sungguh terhadap
kesusastraan kita, tidak perlulah dikenakan kriteria baik-buruk
bagi karangannya. Semua pantas dikumpulkan untuk dibaca oleh
para peminat sastra. Apalagi kalau diingat bahwa Jassin, dari
kaca mata tertentu, sebenarnya merupakan musabab pelbagai
masalah penting dalam kesusastraan kita. Dan untuk kejelian
Pamusuk dalam memandang Jassin ini, kita pun patut memberi
selamat.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini