JAMINAN SOSIAL
Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia
Oleh: Sentanoe Kertonegoro
Penerbit: Mutiara, Jakarta, 1982, 312 halaman
BUKU ini mencakup lingkup yang luas. Dari soal konsep jaminan
sosial, sejarahnya, hingga pengaruhnya terhadap perekonomian.
Ternyata munculnya jaminan sosial erat hubungannya dengan
revolusi industri di Eropa. Di abad ke-19 itu, banyak sekali
petani yang meninggalkan tanahnya untuk bekerja di pabrik-pabrik
yang baru muncul. Dan masalah baru pun timbul. Keselamatan
buruh pabrik selalu terancam. Mesin-mesin yang berputar
sewaktu-waktu bisa menggilas tangan atau kaki mereka -- terutama
bagi yang lengah. Akibatnya banyak buruh itu yang tak bisa
bekerja lagi -- bahkan tidak jarang ada yang meninggal.
Lalu, siapakah yang harus menanggung keluarganya? Sebab, buruh
kecil dengan upah yang rendah ternyata tak mampu menyisihkan
sebagian penghasilannya. Andai mereka bisa menabung pun, belum
tentu ketika kecelakaan terjadi tabungannya telah cukup untuk
modal hidup selanjutnya.
Melihat kenyataan itu, maka muncullah gagasan, yang kemudian
dikukuhkan dengan undang-undang, bahwa pihak pengusahalah yang
harus memberikan semacam ganti rugi terhadap buruh yang
mengalami kecelakaan. Pikiran ini didasarkan pada teori bahwa
"pengusaha yang memberikan pekerjaan kepada buruh bertanggung
jawab penuh atas terjadinya risiko kecelakaan kerja."
Tentu saja pada awal abad ke-19 itu hal itu belum sempurna
benar. Selain itu, untuk perusahaan kecil, ganti rugi itu pun
kecil pula. Maka muncullah ide asuransi sosial, antara lain, di
Inggris dan Jerman. Asuransi yang di zaman kini ada lebih kurang
merupakan pengembangan dari asuransi pertama kali itu.
Jaminan sosial di Indonesia diwujudkan dengan Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) dan Asuransi Sosial ABRI
(Asabri). Untuk karyawan swasta, baru 1964 ada Dana Jaminan
Sosial. Dan DJS inilah yang kemudian mendorong lahirnya Perum
Astek (Asuransi Tenaga Kerja) pada 1977. Di luar itu tentu saja
ada badan-badan asuransi yang menerima karyawan perusahaan
swasta sebagai nasabahnya.
Buku ini agaknya memang penting. Tapi Sentanoe, yang rupanya
ingin mencakup masalah seluas mungkin, kurang sistematik
menuliskan masalah-masalahnya. Dan, yang membuat buku ini terasa
kering, kurang enak dibaca, ialah tak adanya contoh-contoh.
Hingga orang tak yakin benar, apa keuntungan masuk Astek,
misalnya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini