Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam euforia reformasi pada detik-detik kampanye pemilihan umum (pemilu) oleh 48 partai politik, saat pencoblosan tanda gambar, dan pascapemilu, Sunaryo bernapas untuk bangun kembali. Rupanya, ia telah melepaskan baju hitam berkabung itu. Ia memamerkan Batu Melangkah Waktu, yang terdiri atas 40 patung batu, di selasarnya yang apik, jernih, dan komplet di Bukitpakar Timur, Bandung, 16 Mei-30 Juni 1999. Semula ia tak sengaja (sesungguhnya seni lahir dari main-main). Kala berolahraga pagi, di jalan yang menanjak dan menurun yang dilaluinya, ia iseng memungut sekepal batu. Ia juga biasa memungut batu saat main ke sungai tempat ia dulu, ketika mahasiswa, biasa ciblon (bermain air) di air yang jernih bersama Sanento Juliman dan T. Soetanto, yang kemudian bareng menjadi dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung, kritikus, dan perupa terkenal yang menghiasi langit seni rupa Tanah Air.
Patung batu itu kecil-kecil, berukuran dua kepalan tangan, diatur dengan sederhana di ruang pamer yang kecil. Sungguh mencuatkan suasana yang subtil. Ada 32 kepal patung batunya, yang diberi judul Batu 1 sampai Batu 32. Karya-karya lainnya Menyatu 1, Menyatu 2, Torehan 1, Torehan 2, Dialog?, Aus, Embun, dan Refleksi. Sunaryo, yang tidak menulis puisi dalam tata cara sastrawan, ternyata seorang penyair seni rupa. Demikianlah lukisan-lukisannya yang abstrak di atas kanvas dengan berbagai bahan itu, pula patung-patung batunya. Bahkan, selasar seni rupanya dengan kaca-kaca penyekat besar dan saluran air yang mengalir tampak memenuhi syarat-syarat sebagai puisi tersebut: indah, resep, dan jernih.
Di tangan Sunaryo, batu-batu itu berbeda dari bahan-bahan seni rupa lainnya. Sementara kanvas dan tube cat merupakan alat baginya, batu-batu calon patungnya ini sudah membentuk dirinya sendiri sebagai karya seni rupa. Dari sini tebersit ketegangan. Ada penerimaan sekaligus penolakan. Ada pula dialog. Sama halnya ketika ia membangun selasar seni rupanya pada tamannya yang berisi batu-batu besar yang digerenda dan dipahat. Dalam pameran kali ini, ia juga menggerenda dan memahat patung-patung batu kecilnya itu. Sering ia menciumi potongan penampang batunya itu, yang menurut dia meruapkan aroma sejarah batu yang khas, yang sangat boleh jadi lebih tua umurnya dari usia pematungnya sendiri.
Sunaryo mengenal bahan-bahan karyanya dengan baik. Setiap bahan punya karakter sendiri-sendiri. Karakter kanvas dan cat berbeda dengan karakter batu. Karakter batu berbeda dengan karakter logam. Karakter logam berbeda dengan karakter bambu. Karakter bambu berbeda dengan karakter air, api, atau tanah. Pada patung Aus, ia menyisipkan beberapa lapis cuatan potongan logam kuningan dalam patung batu itu. Meski sangat kecil, patung ini termasuk satu di antara karya yang paling baik. Berbicara tentang waktu yang menerpa usia, seseorang bertahan meski meranggas dan penuh luka. Karya ini seperti sedang mengingatkan bahwa pada saatnya kita sampai pada batas dan kemudian kembali ke ketiadaan.
Memadukan batu dengan bahan-bahan lain merupakan upaya lamanya untuk mencari kontras yang mengagetkan, semacam semangat bermain.
Perpaduan batu dengan kayu. De-ngan keramik. Dengan kuningan. Juga dengan tembaga, tali rami, stainless, kaca, atau kristal. Bahan-bahan itu, ketika bertemu, menyatu dan saling berdialog dengan caranya sendiri. Bahkan, konflik bisa timbul di antara bahan-bahan itu, seperti pada Batu 8 (batu dengan kayu dan kuningan) dan Refleksi (batu dengan kristal). Ia menggerenda dan memahat batu itusekali lagimeski batu-batu itu kecil saja, melahirkan taman Zen dari segala keelokan yang dimiliki oleh puisi haiku, pada Riak Batu dan Torehan.
Akhir dari seluruh daya kreativitas adalah sejauh mana karya itu dapat ditafsirkan ketika hasil kerja itu dianggap bagus. Sunaryo meyakini bahwa spontanitas adalah segala-galanya, penafsiran sebuah karya merupakan kawasan yang lapang. Penikmatnya dituntun untuk bisa menyaksikan keragaman yang dia kembangkan. Ia seorang perfeksionis. Perpaduan dari berbagai bahan itu melukiskan situasi jiwanya: suatu wawasan yang luas, kecil itu elok, dan menggetarkan. Karya-karyanya bagai piala, sesuatu yang jangan sampai jatuh dan pecah, fosil yang tak ternilai, andesit dari semangat, kekayaan museum, arzak, napas kita, artifak dari ciptaan Tuhan: nyawa.
Sewaktu kecil, Sunaryo biasa berenang di Sungai Banjaran, di belakang rumahnya, di Purwokerto, Jawa Tengah, yang penuh batu. Di situlah agaknya ia mulai mengenal benda-benda keras hasil tempaan alam itu. Ia bermain batu. Dibawanya pulang. Ditimang-timang. Ditaruh di atas meja belajarnya. Ditatapnya. Diajaknya berdialog? Mengapa batu yang dipungutnya sembarangan itu menarik? Apanya yang menarik? Bentuknya? Barik-bariknya? Kerasnya? Diamnya? Apakah ia juga melihat bahwa di dalamnya tebersit kondisi sosial bangsanyakeras itu mudah pula hancur laksana krisis yang tak teratasi. Menyatu 1batu telah menjadi bagian integral pengucapan keseniannya, seperti pernah mengisi masa kanak-kanaknya dulu.
Di Bandung, di Sukabumi, di sungai-sungai di Puncak yang sejuk, ia bisa berhenti di setiap tempat, memungut batu sekenanya. Ia tidak memilih-milih. Ia telah mengenal betul benda-benda itu.
Ada peristiwa menarik dalam kaitan dengan pamerannya kali ini, sebuah kisah nyata. Seorang kolektor membeli Batu 6, dua kepal batu yang disatukan oleh tali sepuhan tembaga yang ditaruh di atas potongan kayu. Patung itu sebagai kado untuk putri Tionghoanya yang dikawini jejaka Jawa. Sebelumnya, terjadi dialog antara si ibu dan si putri.
"Mama, bolehkah saya kawin dengan pria Jawa?"
"Kamu sudah dewasa, Sayang. Kamu bisa memutuskannya sendiri."
"Mama, bolehkah saya ikut agama suami saya?"
"Kamu sudah dewasa, Sayang. Kamu bisa memutuskannya sendiri."
Sang mama dan papa ini kadang muncul di ruang pameran Sunaryo untuk menatap kado perkawinan putrinya itu, yang belum bisa diambil karena waktu pameran belum usai. Ada kebahagiaan di sana karena dua kepal batu itu mempunyai barik dan warna yang berbeda. Bagi pasangan orang tua itu, dua kepal batu yang berbeda itu menggambarkan jati diri putri dan menantunya yang kemudian diikat dalam tali perkawinan. Mama-papa meneteskan air mata karena bisa memberikan kado yang dianggapnya begitu pas. Dan mereka terharu menatap patung itu.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo