BERSAMA ini dipermaklumkan dengan hormat kepada para mustahik
pemilih, lelaki atau perempuan, supaya memahami betul-betul
perihal calon-calon, sehingga bisalah menyoblos dengan senang
hati, ikhlas serta plong, bukan dipaksa atau didorong-dorong,
tidak jadi menyesal di belakang hari, menggerutu atau
memaki-maki, ibarat orang membeli barang lancung. Dalam Pemilu
ini berlaku juga pepatah sehari-hari: "Sesal dahulu pendapatan,
sesal kemudian tiada berguna". Permakluman ini tentu tidak
berlaku bagi mereka yang asal coblos saja, seperti halnya
meludah di lantai. Juga tidak berlaku bagi mereka yang merasa
berhak untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Secara umum dapat dipastikan, mereka yang terdaftar dalam daftar
calon, lengkap dengan nomor urutnya, sesudah mengisi rupa-rupa
jenis formulir yang melelahkan, adalah orang orang yang sudah
berumur 21 tahun ke atas, lagipula warganegara, serta tergolong
yang bertaqwa kepada Tuhan Yan Maha Esa. Dan tentu saja, mereka
itu senantiasa setia kepada Pancasila, kepada UUD 1945, kepada
revolusi, kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 untuk mengemban
Amanat Penderitaan Rakyat. Kemudian daripada itu, mereka
tentulah dapat berbahasa Indonesia serta cakap menulis dan
membaca huruf Latin, karena tidak bisa tidak mereka yang jadi
calon itu paling sedikit tamatan SLP, atau pengetahuannya
dianggap sederajat dengan sekolah itu, atau pun punya pengalaman
di bidang kemasyarakatan atau kenegaraan. Dengan sendirinya
bukanlah calon-calon itu orang-orang yang terganggu jiwa maupun
ingatannya, karena penduduk tidak mungkin punya wakil-wakil
setengah gila. Berbahaya.
Bagaimala Bisa Tahu?
Bagaimana bisa tahu mereka itu sip? Jangan khawatir, ada Panitia
Peneliti yang sengaja dibentuk Mendagri/Ketua Lembaga Pemilu
lewat Keputusan No. 121/LPU/l976 tanggal 16 September. Di sini
berkumpul 16 orang (jadi bukan 17) yang berkeakhlian dalam soal
teliti-meneliti, satu pekerjaan yang tidak bisa dilakukan
sembarang orang: Sintel Kopkamtib, Ster Kopkamtib, Khusus Sospol
Kopkamtib, Kasub Bakin Intel Kejagung, Kehakiman. Bisa jadi,
daftar calon yang kelak tertempel di papan atau tembok, mulanya
tidaklah begitu melainkan sudah kena coret atau ganti, atau
nomor urutnya terputar balik. Entah karena dianggap kurang
Pancasilais. Entah kelewat ketus dan ekstrim mulutnya. Entah
karena alasan-alasan moril yang patokan-patohdnnya tergenggan
di tangan panitia. Maka dari itu, daftar calon final yang bakal
turun tanggal 2 Mei 1977, tak salah lagi berisi orang-orang
yang mulus dari segala sudut, bagaikan mobil dokter.
Ditilik dari jarak jauh calon-calon yang namanya tersusun rapi
dalam daftar tidaklah punya kelainan yang berarti, keuali nomor
urutnya. Tapi, kalau mau diperhatikan baik-baik seperti lazimnya
memperhatikan pelbagai jenis ikan di akuarium, akan terjumpai
puak-puak yang menyimpan keistimewaan-keistimewaan
sendiri-sendiri. Adanya puak-puak ini bukanlah cacad apalagi
aib, melainkan sepenuhnya akibat logis dari "sistim daftar",
yang tak akan terjadi pada "sistim distrik".
Ada puak "calon estimate". Istilah Inggeris ini merupakan
petunjuk bahwa si calon berada dalam kelompok yang kira-kira
bakal pasti jadinya. Apabila menurut estmate di propinsi
Bengkulu dapat 3 korsi, berdasar pengalaman Pemilu 1971, maka
calon urut nomor 1 sampai nomor 3 bolehlah berkemas-kemas,
sedangkan calon nomor selanjutnya dianjurkan berdoa
banyak-banyak. Namanya sudah berkira-kira, bisa benar dan bisa
juga tidak. Benar syukur, tidak benar tidak jadi apa. Pemilu
punya kuasa.
Ajaib Sedikit
Ada puak "calon dropping", bagaikan beras Korea berkadar air 5O
yang turun ke pasar. Calon-calon ini sedikit ajaib, muncul di
daftar daerah berkat kiriman dari pusat lewat cara ini atau cara
itu. Pada mulanya tentu menimbulkan rasa heran, barangkali juga
enggan, tapi sesudan dipikir-pikir satu dua minggu, kemudian
mengangguk-angguk. Tentu ada pula droppingan yang ditolak
daerah, maka akan duduklah ia termangu-mangu, tak tahu berbuat
apa. Begitu rupanya sudah jadi adat Pemilu, orang-orang pusat
sekali waktu turun merangkak ke daerah, karena memang suara yang
banyak ada di dusun-dusun, di bawah pucuk kelapa dan atap
rumbia.
Ada pula yang namanya "calon vote-getter", dipasang bukan karena
apa, melainkan dimaksud untuk pancing suara, terdiri dari
orang-orang kesohor punya pengaruh, bagai gula pemikat semut.
Permainan ini tentu ada unsur tipunya sedikit, seperti teknik
etalase toko, lain yang dipajang lain pula yang dijual. Tapi,
kemungkinan main-main jadi sungguhan pun ada, jikalau "calon
vote-getter" itu tiba-tiba berubah pikiran sesudah dapat suara,
memutuskan ambil korsi dalam arti yang sebenar-benarnya.
Kalau ada "calon estimate" tentu ada "calon sampingan", yang
nomor antriannya di belakang-belakang. Kecuali turun keajaiban,
mereka ini pasti tidak kebagian tempat duduk. Puak ini
membuktikan betapa berlebihnya jumlah orang yang merasa layak
jadi calon, dan punya keinginan besar ikut berpartisipasi dalam
pemilihan umum. Di samping itu arti praktisnya pun ada: siapa
tahu bisa dapat jatah MPR. Kemungkinan, betapa pun kecilnya,
jangan sekali-kali diabaikan.
Akan halnya ongkos mendudukkan mereka semua, resminya Rp 60
miliar. Mahal atau murah, tergantung cara memandang. Mau terasa
seperti gratis pun bisa juga, yaitu kalau kita kaitkan dengan
ilmu hitung Menteri Perdagangan Radius Prawiro: memindahkan
pabrik pupuk terapung dari perairan Kaltim ke-daerah Bontang 100
Km sebelah utara Samarinda berarti "menyelamatkan uang Negara
sebanyak Rp 89,64 miliar". Malahan masih ada untung Rp 29,64
miliar, paling sedikit di atas kertas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini